Terorisme
dan Agenda Presiden Mendatang
Hasibullah
Satrawi ; Direktur
Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Mei 2014
HINGGA saat ini, para calon
presiden (capres) dan segenap kekuatan politik yang mendukungnya lebih
tertarik membahas upaya-upaya politik untuk memenangkan pemilihan presiden (pilpres)
yang sudah di depan mata. Apa yang akan mereka lakukan bilamana menjadi presiden
kelak? Pertanyaan itu hampir tak terbahas. Intensitas pembahasan program
kerja presiden mendatang tampak kalah jauh jika dibandingkan dengan
pembahasan figur cawapres dan koalisi.
Sejatinya para capres mulai memperkenalkan
program-program kerja kepada khalayak luas. Semakin awal program kerja
dikenalkan kepada publik akan semakin baik, hingga masyarakat mendapatkan gambaran
program para capres secara utuh dan menyeluruh. Di antara program kerja yang
mendesak disampaikan kepada publik ialah terkait dengan upaya membangun Indonesia
damai, khususnya dari ancaman terorisme dan kekerasan ekstremis. Hal itu sangat
penting mengingat terorisme masih menjadi persoalan serius bagi bangsa ini.
Tidak lama ini, contohnya, Densus
88 kembali menangkap pihak-pihak yang diduga terkait dengan jaringan
terorisme di banyak daerah, seperti di Klaten, Jawa tengah (15/5), di Indramayu,
Jawa Barat (12/5), dan Lamongan, Jawa Timur (13/5). Semua itu menunjukkan bahwa
terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi segenap masyarakat.
Balas dendam teroris
Setidaknya ada empat agenda utama
bagi presiden terpilih ke depan terkait dengan persoalan terorisme. Pertama, pola
serangan kelompok teroris terhadap aparat keamanan. Perubahan pola serangan
terhadap aparat keamanan menunjukkan bahwa terorisme di negeri ini masih jauh
dari kata selesai. Alih-alih, aparat keamanan yang kerap berhasil menangkap
dan menembak mati para tokoh utama terorisme di negeri ini justru menjadi
target balas dendam mereka dalam beberapa waktu terakhir.
Semua itu menunjukkan bahwa
pemberantasan terorisme melalui pendekatan keamanan dan senjata tidaklah memadai
untuk menyelesaikan persoalan terorisme hingga ke akar-akarnya mengingat
banyak akar masalah terorisme yang tak dapat diselesaikan dengan pendekatan
senjata, seperti pembenaran secara teologis, persoalan ketidakadilan global,
kemiskinan, atau bahkan persoalan keluarga.
Di hadapan akar-akar persoalan seperti
di atas, pendekatan senjata tak jarang justru membuat jaringan terorisme
lebih kuat, persis seperti film-film Terminator
yang menampilkan sosok terbuat dari timah; semakin ditembak sosok tersebut justru
semakin kuat.
Pada beberapa bagian, pendekatan
senjata yang selama ini digunakan untuk ‘membersihkan’ Republik dari jaringan
terorisme mengalami kondisi seperti dalam cerita film Terminator di atas. Alih-alih menyelesaikan terorisme, pendekatan
senjata justru menimbulkan semangat balas dendam di kalangan para teroris
terhadap aparat keamanan dengan semangat mati satu tumbuh seribu.
Regenerasi muda
Inilah agenda kedua dalam upaya menghadapi
persoalan terorisme, yaitu persoalan regenerasi kelompok teroris. Apalagi
regenerasi jaringan terorisme belakangan justru membidik anak-anak muda yang
sejatinya akan menjadi pemangku masa depan bangsa. Berdasarkan pengalaman
penulis mengisi banyak acara di kalangan anak-anak muda, tidaklah susah
menemukan pikiran-pikiran bercorak radikal seperti keyakinan kelompok teroris
ataupun kelompok radikal secara umum yang anti terhadap Pancasila, anti-NKRI,
dan cenderung menggunakan kekerasan dalam perjuangan keagamaan dan yang
lainnya.
Hal yang harus ditegaskan ialah
bahwa anak-anak muda yang terjerumus ke jaringan terorisme sesungguhnya
hanyalah korban. Mereka ialah korban dari jaringan terorisme yang kerap
mengincar mereka untuk dijadikan sebagai generasi penerus. Mereka ialah
korban dari para orangtua yang sibuk dengan urusan karier sembari menyerahkan
masa depan anak sepenuhnya kepada pihak sekolah.
Mereka korban dari para guru
yang sejatinya juga menjadi sahabat, tak sekadar mengajar dan menghukum mereka.
Mereka juga korban dari sistem pendidikan kita yang gagal membangun semangat kebangsaan
di kalangan anak-anak itu.
Oleh karenanya, anak-anak muda
yang terlibat jaringan terorisme ataupun kelompok radikal tidak sepantasnya dijadikan
sebagai pihak ‘tertuduh’ dalam persoalan terorisme. Sebaliknya, semua pihak
sejatinya berempati, merangkul, dan mengembalikan mereka ke pelukan Ibu Pertiwi.
Penanganan korban
Ketiga, penanganan korban terorisme.
Berdasar pengalaman program-program pendampingan yang dilakukan Aliansi
Indonesia Damai (Aida) terhadap para korban, penanganan korban terorisme
sangat tidak maksimal. Hal itu berlaku dari hulu sampai hilir.
Di tingkat hulu, contohnya, banyak
korban kerap bercerita tentang kelambanan pemerintah dalam menangani korban
terorisme pascaterjadinya sebuah aksi terorisme. Sebagian dari mereka harus
menunggu berjam-jam untuk mendapatkan penanganan medis karena lambatnya
jaminan dari pemerintah.
Sementara itu, di tingkat hilir,
persoalannya justru lebih ironis lagi. Program-program pencegahan terorisme,
contohnya, lebih memberikan peran kepada aparat, pejabat, pengamat, atau
mantan pelaku terorisme. Hal itu bisa dilihat dari pelbagai macam program pencegahan
terorisme, baik yang dilakukan pemerintah ataupun swasta, termasuk di dalamnya
media. Sangatlah jarang media menampilkan perspektif para korban. Justru yang
kerap hadir ialah perspektif pengamat, aparat, pejabat, atau mantan pelaku terorisme.
Padahal, secara teori, sejatinya
perspektif korban harus dikedepankan (setidaknya sejajar) jika dibandingkan
dengan perspektif-perspektif ‘tak langsung’ seperti di atas. Hal itu terjadi
karena korbanlah yang mengalami, merasakan, dan benar-benar mengetahui dampak
kejahatan terorisme. Korban ialah cermin besar kejahatan terorisme. Siapa pun
yang ingin mengetahui kejahatan terorisme, sejatinya melalui perspektif para
korban.
Dengan semua keterbatasan yang
ada, selama ini Aida memberikan peran kepada para korban bom melalui
program-program pemberdayaan dan pendampingan. Hal itu dilakukan mengingat
tidak semua korban siap mengambil peranan dalam upaya membangun Indonesia
damai yang jauh dari persoalan kekerasan bersifat ekstremis, baik karena
faktor psikis ataupun latar belakang sosial yang berbeda-beda. Padahal, semua
korban terorisme mempunyai pengalaman yang unik dan sangat berharga bagi
upaya membangun Indonesia damai.
Oleh karenanya, sejatinya presiden
terpilih memberikan perhatian yang besar terhadap para korban terorisme ke depan,
baik terkait biaya pengobatan dan bantuan-bantuan lainnya ataupun dalam konteks
upaya menghadapi persoalan terorisme. Hingga upaya menghadapi persoalan terorisme
berjalan secara lebih sejati dan komprehensif.
Keempat, dukungan secara struktural.
Diakui atau tidak, upaya pemberantasan terorisme selama ini masih bersifat setengah
hati. Hal itu bisa dilihat dari dukungan struktural yang kurang memadai. Apa yang
dialami para korban bisa dijadikan sebagai contoh dari kurangnya dukungan struktural
dalam upaya menghadapi persoalan terorisme. Setahu penulis, tidak ada
peraturan apa pun dari pemerintah yang bisa dijadikan sebagai pegangan khusus
manakala terjadi aksi terorisme, khususnya untuk penanganan para korban
terorisme secara medis pada masa-masa darurat.
Padahal, dengan belajar dari kejadian-kejadian
sebelumnya, adanya peraturan seperti itu sangat dibutuhkan. Setidaknya untuk
memastikan para korban langsung mendapatkan penanganan secara medis, tanpa
menunggu hal-hal yang bersifat birokratis. Inilah agenda penting bagi
presiden terpilih mendatang dan sejatinya dijelaskan oleh para calon presiden
dan wakil presiden sedini mungkin. Sangat disayangkan karena agenda penting
seperti ini justru acap terlupakan di tengah ingar-bingar pembahasan tentang
koalisi, cawapres, dan seterusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar