Kamis, 22 Mei 2014

Martir Demokrasi

Martir Demokrasi

Willy Aditya ;  Direktur Eksekutif Populis Institute
MEDIA INDONESIA,  22 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PERHELATAN pemilu legislatif telah sebulan dibelakang kita. Namun, melihat dari begitu ramainya pemberitaan di media massa, waktu sebulan ini berlalu dalam nuansa getir. Betapa tidak, sembari menunggu hasil penetapan dari KPU yang berjalan dramatis di beberapa daerah, kita juga dihadapkan pada kenyataan bahwa praktik berdemokrasi yang tengah berlaku di Indonesia belum seperti yang dimitoskan; negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Apa pasal? Laporan kecurangan bertaburan di meja pengawas pemilu hingga pihak kepolisian.

Kecurangan Pemilu 2014 ini terjadi dari yang tampak di depan mata hingga yang tidak kasatmata, pun telah dimulai semenjak sebelum pemilu digelar, dan kemudian semakin tinggi jumlah temuannya setelah hari pencoblosan. Praktik politik yang sesungguhnya mensyaratkan aturan main yang fair dan demokratis bak jauh panggang dari api. Sebaliknya, yang kita temui ialah demokrasi dengan ekspresi yang brutal bahkan cenderung barbar. Berapa banyak temuan yang memperlihatkan kecurangan dalam penghitungan suara, permainan belakang layar memperjualbelikan suara warga negara, bahkan pihak penyelenggara pemilu sebagai wasit pun terseret dalam pusaran arus. Masyarakat diberi tontonan tentang bagaimana manusia yang memiliki kecenderungan homo homini lupus; manusia ibarat serigala bagi manusia lain yang tak segan memakan satu sama lain. Sebuah kenyataan brutalisme yang dipraktikkan oleh pelaku-pelaku yang mengaku sebagai penegak demokrasi.

Apa yang terjadi?

Kondisi yang karut-marut ini sesungguhnya telah diprediksi oleh banyak pihak, berangkat dari hal yang paling mendasar seperti kisruh DPT yang pengumumannya diundur sampai tiga kali. Bahkan data dari e-KTP juga tidak membantu, padahal sejatinya itulah tujuan dari proyek tersebut dilaksanakan. Jumlah masyarakat yang tidak memiliki NIK (nomor induk kependudukan) mencapai lebih dari 10 juta jiwa. Jumlah itu belum terhitung temuan pemilih ganda, pemilih yang telah meninggal, dsb. Maka, meningkatnya persentase jumlah kertas suara cadangan menjadi sebuah keniscayaan sekaligus menyisakan tanda tanya besar. Sungguh bak komedi satire, jika pada kenyataannya selepas pemilu tercatat partisipasi dari DPT menurun, sedangkan angka partisipasi nasional justru naik 72%, bahkan ada yang mencapai 80%.

Kita perlu mengamati satu per satu kekurangan pelaksanaan pemilu kali ini, apakah itu surat suara yang tertukar, kotak suara dari kardus, atau banyaknya kasus formulir C1 yang ganda, antara salinan yang dipegang saksi dan yang diunggah oleh KPU, juga yang dimiliki Panwaslu. Dapatlah kita berkesimpulan bahwa sedari awal, praktik yang terkesan sistematis yang berujung pada keabsahan rekapitulasi. Maka, penggelembungan suara memang menjadi indikasi yang marak terjadi. Padahal dari sistematika yang dirancang, pemilu tahun ini lebih baik daripada sebelumnya.

Lemahnya struktur KPU sebagai penyelenggara pemilu mendorong suatu penciptaan kondisi menguatnya suatu operasi bawah tanah dan dominannya aktor-aktor di luar partai politik dan masyarakat sipil. Indikasi-indikasi kecurangan yang disengaja mulai bermunculan seiring dengan banyaknya kejanggalan dalam rilis dari pihak penyelenggara pemilu berbeda dengan di lapangan.

Jika kita melihat dengan saksama dan menganalisis beberapa temuan di atas, dengan memakai pendekatan Gramscian tentang perang posisi (war of position) dan hegemoni tandingan (counter-hegemony), maka terdapat relasi antaraktor yang bekerja dalam Pemilu Legislatif 2014 ini. Dalam perang posisi, upaya yang dilakukan untuk mencapai kekuasaan supremasi politik hanya bisa dicapai dengan perubahan mendasar, yaitu menentukan perimbangan kekuatan dalam masyarakat sipil. Indonesia memiliki tradisi perang posisi yang hebat di masa Orde Baru, ketika dalam pemilu, para pemilih merasa dalam situasi intimidatif untuk memilih Golkar, sehingga kekuasaan akan selalu berada di tangan Golkar. Perang posisi ini merupakan operasi teritorial yang dilakoni secara sistematis oleh pihak yang mengendalikan kekuasaan formal dengan legitimasi hukum yang kuat.

Selain itu, dengan pendekatan hegemoni tandingan, yang menjadi tandingan bagi supremasi sipil yang tengah berjalan, di dalam proses pergantian kekuasaan yang menjadi syarat demokrasi. Praktik ini merupakan upaya mengusik psikologis publik dan menggoyang keyakinan atas kedamaian dalam proses pemilu dan keabsahannya. Dalam hal ini, ada dua pihak yang paling dominan, yaitu media dan intelijen. Media berperan dalam membentuk opini secara langsung, sementara intelijen berperan secara sembunyisembunyi (klandestin) untuk suatu tujuan.

Lalu apa tujuan dari perang posisi dan hegemoni tandingan ini dalam kehidupan demokrasi? Relevansi utama dari dua hal tersebut berkaitan langsung dengan pelemahan agen-agen demokrasi (disfunction), sehingga partai politik dan masyarakat sipil sebagai pilar demokrasi tidak berarti, bahkan mengalami kegagalan dalam tugasnya. Inilah yang menjadi titik kontemplasi bagi partai politik beserta elitenya yang bertarung dalam kontestasi April lalu. Bahwa ada kondisi yang menanti masa depan demokrasi Indonesia, kondisi yang compang-camping. Bahkan bukan tidak mungkin sulit mempertahankan eksistensinya.

Martir bagi demokrasi

Demokrasi sesungguhnya adalah ruang pertarungan ide dan aktor. Maka, demokrasi adalah tentang politik gagasan mana yang lebih didukung atau siapa yang lebih dipilih untuk dijadikan pemimpin. Oleh karenanya, ruang demokrasi memang tidak pernah statis atau berjalan di tempat. Kadang kala kecenderungannya bergerak ke arah yang progresif, tumbuhnya semangat partisipasi dan deliberatif. Namun juga terkadang ia bergerak ke arah ekstrem lain, yang melahirkan fasisme dan politik dinasti yang feodal.

Lalu apakah dalam melihat kenyataan kualitas pemilu dan hasilnya ini, kita hanya berdiam diri menerima? Ada hal besar yang dikorbankan jika demikian pilihan kita; masa depan Republik Indonesia. Masyarakat Indonesia akan semakin terjebak dan jauh terjerumus pada praktik politik kotor (dirty war), dan dari sanalah pemimpin yang akan memimpin bangsa ini berasal. Tak bisa ditawar lagi, demi masa depan Indonesia dan demi mewujudkan demokrasi yang hakiki, kita memerlukan martir untuk berkorban.

Ya, kita memerlukan sebuah lompatan besar, sebuah pengorbanan yang besar, karena masa depan Indonesia bukanlah hal yang bisa dipertaruhkan dalam transaksi politik. Bangsa ini membutuhkan keberanian untuk mendobrak kebobrokan yang semakin berakar ini. Dalam perjuangan mewujudkan kesetaraan, sistem bernegara yang egaliter, bermartabat, dan demokratis, tak asing kita temukan martir sebagai pemacu untuk meningkatkan kualitasnya.

Pertanyaannya, siapakah yang menjadi martir demi demokrasi baru di Indonesia hari ini? Tak lain adalah partai politik baru yang tidak memiliki beban sejarah terhadap masa lalu. Partai baru pula yang dapat dengan tegas dan lantang menunjukkan `keberpihakannya' kepada nilai luhur demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar