Minggu, 04 Mei 2014

Sisi Lain Dilema Tembakau

Sisi Lain Dilema Tembakau

Agus Widjanarko  ;   Mahasiswa PS-IKM Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
KOMPAS,  03 Mei 2014

                                                                                         
                                                      
TEBERSIT kabar pada rapat koordinasi bidang kesejahteraan rakyat di Kemenko Kesra pada 1 April lalu, tinggal Kementerian Perindustrian yang belum menyetujui aksesi Framework Convention on Tobacco Control. Ada dorongan kuat dari Direktur Jenderal WHO kepada Presiden RI untuk segera melakukan aksesi kerangka kerja dimaksud untuk melengkapi penghargaan terhadap Presiden RI dalam memimpin Panel Tingkat Tinggi PBB membahas Agenda Pembangunan Pasca 2015.

Apabila Presiden Megawati menandatangani UU SJSN pada jam-jam terakhir masa pemerintahannya, akankah Presiden SBY juga bersikap serupa dengan menyetujui aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)?
Yang pasti, data empiris menunjukkan bahwa kendati telah dikembangkan berbagai regulasi yang membatasi konsumen rokok, setiap tahun produksi rokok serta setoran cukai ke kas negara selalu meningkat.

Premis yang diyakini khalayak adalah tinggi rendahnya tingkat konsumsi rokok warga suatu negara berkorelasi dengan ketat longgarnya regulasi rokok.
Saat ini Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia untuk konsumsi rokok setelah Tiongkok dan India. Padahal, hingga tahun 2009, Indonesia masih menempati peringkat keempat setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan Rusia.

Sudah ada UU

Undang-undang kesehatan yang mengakomodasi pembatasan merokok sudah dibuat. Peraturan pemerintah yang lebih rinci juga telah disusun.

Dalam praktiknya, peringatan dalam kemasan rokok bukan lagi ancaman basa-basi, tetapi langsung menohok: merokok membunuhmu! Namun, semuanya belum mampu menekan prevalensi perokok di Tanah Air.

Di lapangan sepak bola dikenal fenomena flare (kembang api). Sanksi baik dari FIFA maupun AFC sangat tegas.

Bagi tim yang pendukungnya menyalakan kembang api dalam sebuah pertandingan, selain denda, tim juga bisa dijatuhi hukuman tidak boleh bertanding di stadion kandang. Namun, apa mereka jera dengan sanksi ini?

Justru yang terjadi sebaliknya, yang muncul adalah ”selera menantang” (bahasa Jawa: njarag) terhadap upaya penegakan. Serasa ada kebanggaan diri apabila mampu dan berhasil melawan ”kemapanan”.

Perilaku ini juga menghinggapi para perokok. Semakin mereka dilarang atau ditakut-takuti, semakin mereka menunjukkan kenekatan.

Sangat disadari bahwa mengubah perilaku bukanlah pekerjaan mudah. Butuh ruang dan waktu yang lapang.

Perilaku dapat diubah dengan berbagai mekanisme, yaitu dengan mengubah sikap melalui pengumpulan lebih banyak informasi atau mengubah norma-norma yang berlaku supaya perilaku tertentu, termasuk tidak merokok, dapat diterima.

Hasil penelitian yang dilakukan para ahli kesehatan jiwa di Amerika Serikat, Jerman, dan Swiss yang dirilis dalam Journal of Experimental Social Psychology pada Desember 2009 memperlihatkan bahwa pesan-pesan anti rokok yang dikaitkan dengan tema-tema kesehatan dan kematian tidak signifikan memengaruhi perilaku perokok.

Pertimbangan hidup sehat malah menghasilkan upaya aktif seperti tecermin pada kesediaan mereka untuk melanjutkan perilaku merokok yang berisiko.

Di satu sisi, pesan peringatan yang tidak ada hubungannya dengan kesehatan ataupun kematian justru secara efektif mengurangi sikap merokok, terutama jika perokok makin besar melandasi kebanggaan diri mereka pada perilaku merokok.
Peringatan seperti ”merokok membuat Anda tak menarik” barangkali sangat mengancam orang yang percaya bahwa merokok mampu membuat mereka merasa bercitra diri prima.

Peringatan bahaya

Bagaimana dengan rencana pencantuman gambar pada kemasan rokok?
Diyakini, peringatan ancaman yang merugikan kesehatan berwujud gambar dapat menekan prevalensi perokok, seperti yang telah dipraktikkan di negara tetangga, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Brunei.

Peringatan kesehatan berupa gambar pada kemasan rokok lazimnya akan memuat gambar gangguan janin akibat rokok, atau memuat gambar kanker mulut lengkap dengan tulisan pesan akan bahayanya.

Namun sekali lagi, selain karena semua belum dapat dibuktikan, tidak menutup kemungkinan perilaku perokok Indonesia juga memang berbeda dengan negeri-negeri jiran itu.

Demikian halnya dengan aksesi FCTC yang belum terwujud di Indonesia. Di banyak negara, FCTC memang menjadi pedoman yang ampuh dalam menyehatkan warganya dari bahaya rokok.

Namun, Tiongkok dan India belum mampu melepaskan diri dari peringkat atas konsumsi rokok walau kedua negeri tersebut telah meratifikasi FCTC. Jangan-jangan begitu juga dengan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar