Pilihan
Sulit dalam Pilpres
Sirikit
Syah ; Ketua
IV ICMI Jatim, Dosen Stikosa-AWS, Pendiri Media Watch
|
JAWA
POS, 22 Mei 2014
UNTUK
kali pertama sebagai warga negara Indonesia, penulis sulit menentukan pilihan
dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Bukan karena tidak ada calon
yang baik, tetapi justru karena calonnya baik-baik. Namun, sebelum membahas
dua calon utama kita untuk capres-cawapres, kita tengok sejenak sejarah pilpres
pasca-Orba di Indonesia.
Di era
Orde Baru, rakyat Indonesia tidak punya pilihan lain, selain memilih Golkar
dan Soeharto. Pak Harto memimpin Indonesia selama 32 tahun. Bahkan, pada
pemilu terakhir menjelang lengsernya (1997), Harmoko sang ketua MPR
mengetukkan palu sedemikian rupa hingga palunya terlepas/terlempar dari meja.
Dalam sebuah talk show di televisi, seorang pengamat politik mengatakan,
"Kalau gigi lubang/sakit, ya harus dicabut". Ira Kusno, sang
pewawancara, langsung diturunkan dari layar kaca oleh pemilik stasiun TV
(keluarga Soeharto tentunya). Ketika Buyung Nasution dkk menuding-nuding
Harmoko dalam siaran live, suara televisi mati/off, entah karena apa.
Presiden
Habibie "apes" karena memimpin Indonesia di saat para reformis dan
politikus muda "haus darah" (baca: haus kekuasaan).
Pertanggungjawabannya di parlemen ditolak tanpa alasan jelas. Pada 1999
partai pemenang pemilu (PDIP) tak dapat menjadi presiden karena ulah Poros
Tengah yang mendesakkan Abdurrahman Wahid. Gus Dur dari PKB yang perolehan
suaranya tidak signifikan, namun ketokohannya dapat diandalkan, kemudian
menjadi presiden. Gus Dur ternyata tak dapat menjadi teman anggota dewan yang
terhormat -seperti yang diharapkan.
Tanpa
alasan yang kuat, Gus Dur di-impeach oleh MPR yang diketuai Amin Rais. Poros
Tengah yang "memaksa" mengusungnya, kini menjatuhkannya. Apa boleh
buat, Megawati akhirnya memperoleh haknya: partai pemenang harus menjadi
presiden, bukan?
Pada
2004 dan 2009, pemilu dimenangkan oleh Partai Demokrat secara mengejutkan,
hampir-hampir tidak masuk akal. SBY yang terus berakting sebagai
"penderita", diusung menjadi presiden. Dalam pandangan penulis, SBY
sesungguhnya bukan "penderita", melainkan "pelarian"
-dari Orde Baru ke Gus Dur, dipercaya Gus Dur malah lari ke Megawati, dari
Megawati membangun rumahnya sendiri. Penulis khawatir, lakon
"menderita" yang berhasil mengangkat Megawati dan SBY menjadi
presiden saat ini juga dimainkan Jokowi. Nalar mengatakan, tidak mungkin
lawan PDIP-Jokowi akan menyebarkan fitnah berbau SARA dll, karena para
politikus cerdas akan tahu bahwa itu hanya akan memperkuat peluang Jokowi.
Jujur,
2004 dan 2009 penulis memilih Wiranto. Penulis sangat hormat terhadap
Wiranto, yang pada 1998 tidak menggunakan peluang untuk merebut kekuasaan, atau
untuk ikut pemilu 1999. Saat Soeharto lengser, Wiranto dengan berani
mengatakan, "Kami akan melindungi keselamatan keluarga mantan Presiden
Soeharto", suatu tindakan yang tidak populer, namun benar. Dibanding SBY
dan Prabowo, Wiranto adalah kader militer Indonesia terbaik: leadership
teruji, kepribadian hampir tanpa cela. Satu-satunya "cacat"-nya
adalah tuduhan pelanggaran HAM di Timor Tengah, yang tentu saja itu stempel
negara-negara Barat yang berkepentingan.
Untuk
kali pertama dalam hidup, penulis kesulitan menentukan pilihan. Jokowi memang
tak memiliki pengalaman kenegaraan, dan sangat berpotensi menjadi
"presiden boneka". Namun, keberhasilannya menyejahterakan rakyat
Solo, membereskan beberapa persoalan pelik DKI Jakarta, dan pribadinya yang
merakyat, cukup menutupi kekhawatiran tersebut.
Prabowo
Subianto, meskipun masih terliputi jejak insiden 1998, mantap menancapkan
simpatinya, termasuk di kalangan anak-anak muda Indonesia.
Ketidakberhasilannya dalam rumah tangga kadang dipelesetkan oleh sebagian
masyarakat sebagai petunjuk bahwa dia tak akan mampu mengelola negara. Di
luar dua kelemahan tadi, Prabowo mengusung semangat yang dirindukan bangsa
Indonesia, yaitu kemandirian dan kedaulatan. Pada sosok Prabowo, rakyat
Indonesia melihat masa depan Indonesia yang lebih gagah dan membanggakan.
Baru
kali ini Indonesia mengalami pilpres yang sangat baik, karena dua calon
terkuat sama baiknya. Di kubu Jokowi juga ada Partai Nasdem, dan Surya Paloh
adalah orator ulung yang sebanding dengan Prabowo (Jokowi tak pandai
berorasi). Di kubu Prabowo ada Rhoma Irama yang dicintai jutaan rakyat
Indonesia. Sebagai gong pemungkas, Mahfud M.D. bergabung dan menjadi ketua
tim pemenangan. Jujur, Mahfud M.D. adalah tokoh yang akan penulis coblos
kalau jadi capres, selain Dahlan Iskan. Dua orang ini memiliki unsur
"ethos": tidak membutuhkan fanatisme dan empati pengikut, tidak
perlu dinalar pakai logika, hanya rekam jejak kinerjanya yang beretika yang
memperkuat. Sayang, dua orang hebat ini tidak muncul sebagai capres.
Penulis
galau saat ini, dan rasanya harus salat Istiqarah
untuk menentukan pilihan tepat. Indonesia telah sampai pada era demokrasi
yang sesungguhnya, yang bersih, jujur, dan terbuka. Rakyat melihat nyata,
siapa jagonya, siapa di sekeliling mereka, apa kekuatan dan kelemahannya.
Kita mesti bangga menjadi bangsa Indonesia dan siapa pun nanti yang terpilih
sebagai presiden, Indonesia akan menjadi lebih baik. Sebagai rakyat, kita
wajib mendoakan para pemimpin kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar