Kamis, 22 Mei 2014

Penutupan Dolly versus HIV

Penutupan Dolly versus HIV

Esthi Susanti Hudiono ;  Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya
JAWA POS,  22 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
TERBUKTI sudah bahwa menutup lokalisasi Dolly tidak semudah menutup Bangunsari dan Tambakasri, seperti yang saya nyatakan dalam diskusi 1,5 tahun lalu. Keberhasilan penutupan Bangunsari dan Tambakasri karena telah disepakati tokoh agama dan masyarakat pada awal 1990-an. Mereka merancang penutupan lokalisasi itu secara gradual, ada atau tidak ada perintah dari Pemkot Surabaya. Di Dolly tidak ada proses seperti itu. Justru yang terjadi adalah warga merasa mendapatkan keuntungan dari keberadaan Dolly.

Pemkot Surabaya sangat menyederhanakan penutupan lokalisasi. Strateginya meniru tempat lain yang gagal dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Terbukti, penutupan lokalisasi dengan strategi memberi pesangon, wejangan agama, dan keterampilan ala kadarnya tidak membuat mereka berhenti menjadi penjaja seks. Mereka terserak ke mana-mana. Strategi yang gagal ini tetap saja dipakai oleh Pemkot Surabaya.

Seharusnya ada studi komprehensif terhadap seluruh persoalan. Pengambilan keputusan menutup lokalisasi yang sebelumnya ditolak wali Kota Surabaya, hanya berdasar percakapan yang dilakukan beliau dengan penjaja seks tua yang memiliki klien anak di bawah umur. Studi komprehensif itu tidak dilakukan. Wali kota langsung mengeksekusi dengan hanya dinas sosial sebagai penggerak dan penyelesai masalah. Lalu, Pemprov Jawa Timur dan Kementerian Sosial memberi dukungan dana. Dasar hukum yang dipakai Pemkot Surabaya adalah Perda 7/1999 yang melarang bangunan yang berdiri di wilayah Surabaya untuk tempat asusila.

Berdasar beberapa studi dan pengalaman saya bekerja di lingkungan lokalisasi pelacuran 20 tahun lebih, ternyata persoalan yang ada sangat kompleks. Persoalan pertama adalah ruang hidup perempuan marginal dan miskin dengan pendidikan rendah tanpa keterampilan. Seluruh skenario penutupan tidak pernah membahas penyediaan ruang hidup halal untuk mereka. Mereka masuk ke ruang haram untuk bisa hidup. Karena itu, kalau mau menutup lokalisasi, sediakanlah ruang halal untuk mereka. Keadaan dan kondisi merekalah yang memaksa mereka masuk ke ruang yang membuat mereka melanggar norma agama. Jadi, pelanggaran norma agama bukan akar masalah, tetapi sebagai konsekuensi dari kebodohan dan ketidakterampilan mereka. Pemberian keterampilan yang tidak berdasarkan minat, bakat, dan hanya dalam waktu singkat tidak akan membuat mereka mampu masuk ke ruang halal untuk hidup. Diperlukan afirmasi positif agar mereka bisa bersaing dalam sistem yang ada.

Masalah kedua, penutupan lokalisasi pelacuran tidak mengindahkan kebijakan Kementerian Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV di Indonesia difokuskan pada populasi kunci (seperti penjaja seks perempuan, waria, dan gay). Program ini bisa dijalankan dengan baik jika mereka terlokalisasi. Apalagi, target intervensi yang ditetapkan agar bisa mengendalikan epidemi yang ada adalah 80 persen. Termasuk sistem surveillance yang dilakukan secara periodik akan mendapatkan data yang akurat jika mereka terlokalisasi. Tiadanya lokalisasi membuat data surveillance menjadi tidak akurat, sulit mengintervensi sehingga target tidak tercapai. Kalau target tidak tercapai, epidemi infeksi menular seksual dan HIV tidak bisa dikendalikan. Skenario penutupan lokalisasi di Kota Surabaya dari awal sama sekali tidak melibatkan dinas kesehatan. Lalu, untuk apa dana yang begitu besar dicurahkan untuk pencegahan dan penanggulangan infeksi menular seksual dan HIV kalau hasilnya tidak ada?

Masalah ketiga, penjaja seks yang ada adalah penduduk berbagai daerah di Indonesia, khususnya Jawa. Seharusnya ada kesepakatan dan kerja sama dengan daerah lain yang terlibat. Setelah mendapatkan keterampilan dan uang, mereka dikembalikan ke daerah masing-masing.

Masalah berikutnya adalah kompensasi hanya untuk mucikari dan penjaja seks. Warga lokalisasi Dolly yang hidup dari bisnis penjaja seks hanya diberi janji dan aksi yang mengambang. Pertanyaannya, akankah program Dinas Koperasi dan UMKM mampu mengganti penghasilan yang mereka dapatkan? Tampaknya, aksi ini tidak dipercaya oleh warga sehingga mereka melakukan aksi terus-menerus dalam wadah yang mereka sebut sebagai Gerakan Rakyat Bersatu (GRB).

GRB pada 19 Mei 2014 melakukan aksi dengan menyatakan bahwa mereka tidak pernah merepotkan pemerintah dan pemerintah yang justru menindas mereka. Mereka tidak diajak bicara dalam penyelesaian masalah yang ada.

Jadi, penyelesaian masalah yang sangat disederhanakan sudah pasti. Mereka tidak menyelesaikan banyak persoalan yang ada. Secara resmi pemerintah Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur bisa mengklaim bahwa tidak ada lagi lokalisasi pelacuran. Tetapi, apa yang terjadi nanti? Pertama, kebanyakan dari mereka akan tetap bekerja sebagai penjaja seks, namun dalam format yang berbeda. Lalu, yang akan dirugikan adalah program pengendalian infeksi menular seksual dan HIV. Kedua, tingkat kekerasan (fisik, seksual, sosial, dan ekonomi) pada penjaja seks akan meningkat drastis. Larangan menjajakan seks secara formal akan mengundang pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan dengan meminta upeti agar apa yang mereka lakukan tidak dilaporkan. Belum lagi kemungkinan peningkatan pemerkosaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar