Penutupan
Dolly versus HIV
Esthi
Susanti Hudiono ; Direktur Eksekutif Yayasan Hotline Surabaya
|
JAWA
POS, 22 Mei 2014
TERBUKTI
sudah bahwa menutup lokalisasi Dolly tidak semudah menutup Bangunsari dan
Tambakasri, seperti yang saya nyatakan dalam diskusi 1,5 tahun lalu.
Keberhasilan penutupan Bangunsari dan Tambakasri karena telah disepakati
tokoh agama dan masyarakat pada awal 1990-an. Mereka merancang penutupan
lokalisasi itu secara gradual, ada
atau tidak ada perintah dari Pemkot Surabaya. Di Dolly tidak ada proses
seperti itu. Justru yang terjadi adalah warga merasa mendapatkan keuntungan
dari keberadaan Dolly.
Pemkot
Surabaya sangat menyederhanakan penutupan lokalisasi. Strateginya meniru
tempat lain yang gagal dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Terbukti,
penutupan lokalisasi dengan strategi memberi pesangon, wejangan agama, dan
keterampilan ala kadarnya tidak membuat mereka berhenti menjadi penjaja seks.
Mereka terserak ke mana-mana. Strategi yang gagal ini tetap saja dipakai oleh
Pemkot Surabaya.
Seharusnya
ada studi komprehensif terhadap seluruh persoalan. Pengambilan keputusan
menutup lokalisasi yang sebelumnya ditolak wali Kota Surabaya, hanya berdasar
percakapan yang dilakukan beliau dengan penjaja seks tua yang memiliki klien
anak di bawah umur. Studi komprehensif itu tidak dilakukan. Wali kota
langsung mengeksekusi dengan hanya dinas sosial sebagai penggerak dan
penyelesai masalah. Lalu, Pemprov Jawa Timur dan Kementerian Sosial memberi
dukungan dana. Dasar hukum yang dipakai Pemkot Surabaya adalah Perda 7/1999
yang melarang bangunan yang berdiri di wilayah Surabaya untuk tempat asusila.
Berdasar
beberapa studi dan pengalaman saya bekerja di lingkungan lokalisasi pelacuran
20 tahun lebih, ternyata persoalan yang ada sangat kompleks. Persoalan
pertama adalah ruang hidup perempuan marginal dan miskin dengan pendidikan
rendah tanpa keterampilan. Seluruh skenario penutupan tidak pernah membahas
penyediaan ruang hidup halal untuk mereka. Mereka masuk ke ruang haram untuk
bisa hidup. Karena itu, kalau mau menutup lokalisasi, sediakanlah ruang halal
untuk mereka. Keadaan dan kondisi merekalah yang memaksa mereka masuk ke
ruang yang membuat mereka melanggar norma agama. Jadi, pelanggaran norma
agama bukan akar masalah, tetapi sebagai konsekuensi dari kebodohan dan
ketidakterampilan mereka. Pemberian keterampilan yang tidak berdasarkan
minat, bakat, dan hanya dalam waktu singkat tidak akan membuat mereka mampu
masuk ke ruang halal untuk hidup. Diperlukan afirmasi positif agar mereka
bisa bersaing dalam sistem yang ada.
Masalah
kedua, penutupan lokalisasi pelacuran tidak mengindahkan kebijakan
Kementerian Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Program
Pencegahan dan Penanggulangan HIV di Indonesia difokuskan pada populasi kunci
(seperti penjaja seks perempuan, waria, dan gay). Program ini bisa dijalankan
dengan baik jika mereka terlokalisasi. Apalagi, target intervensi yang
ditetapkan agar bisa mengendalikan epidemi yang ada adalah 80 persen.
Termasuk sistem surveillance yang dilakukan secara periodik akan mendapatkan
data yang akurat jika mereka terlokalisasi. Tiadanya lokalisasi membuat data
surveillance menjadi tidak akurat, sulit mengintervensi sehingga target tidak
tercapai. Kalau target tidak tercapai, epidemi infeksi menular seksual dan
HIV tidak bisa dikendalikan. Skenario penutupan lokalisasi di Kota Surabaya
dari awal sama sekali tidak melibatkan dinas kesehatan. Lalu, untuk apa dana
yang begitu besar dicurahkan untuk pencegahan dan penanggulangan infeksi
menular seksual dan HIV kalau hasilnya tidak ada?
Masalah
ketiga, penjaja seks yang ada adalah penduduk berbagai daerah di Indonesia,
khususnya Jawa. Seharusnya ada kesepakatan dan kerja sama dengan daerah lain
yang terlibat. Setelah mendapatkan keterampilan dan uang, mereka dikembalikan
ke daerah masing-masing.
Masalah
berikutnya adalah kompensasi hanya untuk mucikari dan penjaja seks. Warga lokalisasi
Dolly yang hidup dari bisnis penjaja seks hanya diberi janji dan aksi yang
mengambang. Pertanyaannya, akankah program Dinas Koperasi dan UMKM mampu
mengganti penghasilan yang mereka dapatkan? Tampaknya, aksi ini tidak
dipercaya oleh warga sehingga mereka melakukan aksi terus-menerus dalam wadah
yang mereka sebut sebagai Gerakan Rakyat Bersatu (GRB).
GRB pada
19 Mei 2014 melakukan aksi dengan menyatakan bahwa mereka tidak pernah
merepotkan pemerintah dan pemerintah yang justru menindas mereka. Mereka
tidak diajak bicara dalam penyelesaian masalah yang ada.
Jadi,
penyelesaian masalah yang sangat disederhanakan sudah pasti. Mereka tidak
menyelesaikan banyak persoalan yang ada. Secara resmi pemerintah Kota
Surabaya dan Provinsi Jawa Timur bisa mengklaim bahwa tidak ada lagi
lokalisasi pelacuran. Tetapi, apa yang terjadi nanti? Pertama, kebanyakan
dari mereka akan tetap bekerja sebagai penjaja seks, namun dalam format yang
berbeda. Lalu, yang akan dirugikan adalah program pengendalian infeksi menular
seksual dan HIV. Kedua, tingkat kekerasan (fisik, seksual, sosial, dan
ekonomi) pada penjaja seks akan meningkat drastis. Larangan menjajakan seks
secara formal akan mengundang pihak-pihak tertentu mengambil keuntungan
dengan meminta upeti agar apa yang mereka lakukan tidak dilaporkan. Belum
lagi kemungkinan peningkatan pemerkosaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar