Pertarungan
Antarblok
Arie
Sujito ; Dosen Sosiologi Politik Universitas Gadjah Mada
|
SUARA
MERDEKA, 22 Mei 2014
SECARA
formal deklarasi pasangan capres-cawapres telah dilakukan Senin (19/5), oleh
blok politik koalisi antarparpol. Jika skenario tidak berubah, kemungkinan
berlangsung pertarungan head to head
antara pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo- Hatta) pada 9 Juli 2014. Hal menarik
dari hiruk-pikuk dan manuver para elite parpol itu, justru Partai Demokrat
(PD) sebagai pemenang Pemilu 2009 tidak berkutik dalam proses pilpres kali
ini. Secara formal SBYsebagai nakhoda
partai, menyerah sebelum bertanding. Skenario konvensi yang
diharapkan mendongkrak perolehan suara tidak berhasil karena hanya menempati
posisi keempat dengan mendapatkan suara 10,19%. Tragisnya, hasil survei atas
pemenang konvensi tidak meyakinkan Demokrat untuk ikut dalam pertarungan
pilpres hingga ”terpaksa memilih oposisi” sebagai cara mengatasi supaya tidak
kehilangan muka dalam arus dan gerak pilpres.
Demikian pula Partai Golkar
(PG). Dengan
perolehan suara 14,75%, gagal memainkan strategi lama yang selalu menetapkan
”tawaran tinggi” sebagai corak sindrom parpol yang selalu merasa berkuasa.
Pencapresan Ical yang sejak awal dalam kebimbangan elektabilitas juga tidak
mampu mengunci soliditas internal karena digerogoti faksi-faksi lama sisa
kongres yang sempat retak.
Menilai Blok
Sebagai
pemenang kedua dalam Pileg 2014, nasib Golkar tragis. Secara bertahap
terpaksa harus menurunkan bargaining
dalam koalisi pencapresan. Dari keinginan Ical menjadi capres, cawapres,
bahkan konon transaksi sekadar mendapatkan posisi menteri. Itu artinya, kali
ini benar-benar pil pahit harus ditelan Ical dan partainya karena harus
menyerah akibat kekeliruan strategi.
Ada
beberapa catatan menarik yang perlu disimak dalam pertarungan antarblok.
Pertama;
koalisi yang dibentuk PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI merupakan
representasi golongan nasionalis dan Islam kultural. Figur Jokowi dalam
berbagai survei menempati ranking tertinggi, tentu jadi modalitas kuat dalam
koalisi ini. Sosok merakyat dan populis yang direproduksi Jokowi-JK menjadi
magnet tersendiri, terutama telah masuk pada ranah emosi masyarakat akar
rumput dan kesadaran kalangan menengah. Hal ini menemukan momentumnya ketika
terjadi krisis kepemimpinan, dan akhirnya kehadiran Jokowi dianggap sebagai
pemimpin alternatif.
Pilihan
menggandeng JK diharapkan menjadi daya dongkrak blok ini sebagai upaya
memenangi Pilpres 2014. Selain JK dianggap memiliki reputasi positif, ia
identik golongan timur Indonesia bahkan sekaligus masih memiliki akar
dukungan dari para pemilih Golkar yang sejak awal enggan mendukung Ical.
Tantangan
yang dihadapi Jokowi-JK adalah bagaimana menghilangkan stigma dan reproduksi
konstruksi oleh kompetitor yang menilai dirinya ditundukkan oleh Megawati
Soekarnoputri sebagai penguasa PDIP, dengan sebutan ”boneka”. Serangan
semacam ini biasa terjadi, sebagai cara pelemahan lawan selama proses
kampanye. Karena itu, kemampuan tim sukses Jokowi-JK untuk menangkis dengan
langkah-langkah strategis sangat diperlukan. Tidak sekadar menyerang balik
tapi jauh lebih penting meyakinkan kepada rakyat mengenai independensi dan
integritas kepemimpinan Jokowi-JK. Hal yang menarik dan perlu diperhatikan,
sejak awal blok pendukungnya meyakinkan untuk tidak akan transaksi
kementerian, dan akan membenahi presidensialisme secara kuat.
Kedua;
pasangan Prabowo-Hatta merupakan blok koalisi kaum nasionalis dan Islam
politik. Komposisi parpol pendukungnya adalah Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PG
yang selama ini tidak bersenyawa secara politik, tetapi mampu dirakit secara
instan dan cepat. Bagaimanapun bersatunya PKS dengan PAN dalam gerbong ini
sungguh mengejutkan, karena selama ini dalam praktik kampanye mereka selalu
”bermusuhan” berebut konstituen.
Kerja
darurat blok ini terbangun karena faktor kefiguran Prabowo dan reproduksi
politik identitas sektarianisme yang sengaja dipakai untuk menjadi simbol
pembeda gerbong dari duet Jokowi-JK. Kemampuan kampanye Prabowo dalam
berbagai media memang mampu mendongkrak popularitasnya sehingga memengaruhi
dukungan formal para elite parpol yang tergabung di dalamnya. Sekalipun,
koalisi ini mengalami goncangan, misal menimpa PPP saat membentuk koalisi
dukungan. Kubu Prabowo-Hatta menghadapi tantangan serius, yakni soal reputasi
Prabowo terkait HAM dan citra pewaris alumni Orde Baru. Sejarah masa lalu
yang tergores karena kasus penculikan aktivis 1998 di kalangan kelas menengah
yang peka media sosial cukup merisaukan.
Nalar Rakyat
Bagaimanapun
pembentukan blok koalisi parpol dalam pilpres ini hanyalah fenomena
administratif pencalonan presiden. Secara praksis, berdasarkan pengalaman,
kalkulasi persentase perolehan suara pileg untuk syarat pencalonan presiden
tidak berbanding lurus dengan perolehan suara dalam dukungan pilpres. Sukses
tidaknya dalam kemenangan pilpres sangat ditentukan oleh kefiguran, strategi
kampanye, dan kerja-kerja berbagai alat politik parpol di lapangan. Jadi,
bukan hitungan dukungan administratif. Kita tahu bahwa rakyat sebagai pemilih
memiliki logika dan nalar yang kadang luput dari jangkauan kerja parpol. Fakta
pileg pada 9 April 2014 menunjukkan kemenangan kandidat rata-rata bukan
semata prestasi kerja politik alat-alat parpol, atau kemurnian kualitas
kandidat. Sejumlah analis menyebutkan Pileg 2014 banyak diwarnai praktik
keculasan, money politics, dan ragam
pragmatisme yang menggurita.
Akhirnya
kita harus menunggu dan berharap, semoga Pilpres 2014 ini mampu belajar dari
kesalahan-kesalahan dan proses buruk sebelumnya, agar ada upaya membenahi
dari sisi kualitas figur, kejujuran, dan integritas penyelenggara, serta
kemampuan kontrol para pengawas. Namun, kunci dari semua itu terletak pada
kecerdasan pemilih. Apakah pemilih memiliki kesadaran kritis, mampu menilai
secara jernih kandidat sebagai bagian agenda membenahi kualitas demokrasi
agar kian membaik?
Siapa
pun presidennya, kepentingan yang harus diprioritaskan adalah harus terpilih
melalui pemilu demokratis dan fair supaya kekuasaan ke depan kian amanah dan
akuntabel menciptakan kesejahteraan rakyat sesuai mandat konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar