Jumat, 23 Mei 2014

Pertarungan Antarblok

Pertarungan Antarblok

Arie Sujito  ;   Dosen Sosiologi Politik Universitas Gadjah Mada
SUARA MERDEKA,  22 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SECARA formal deklarasi pasangan capres-cawapres telah dilakukan Senin (19/5), oleh blok politik koalisi antarparpol. Jika skenario tidak berubah, kemungkinan berlangsung pertarungan head to head antara pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo- Hatta) pada 9 Juli 2014. Hal menarik dari hiruk-pikuk dan manuver para elite parpol itu, justru Partai Demokrat (PD) sebagai pemenang Pemilu 2009 tidak berkutik dalam proses pilpres kali ini. Secara formal SBYsebagai nakhoda partai, menyerah sebelum bertanding. Skenario konvensi yang diharapkan mendongkrak perolehan suara tidak berhasil karena hanya menempati posisi keempat dengan mendapatkan suara 10,19%. Tragisnya, hasil survei atas pemenang konvensi tidak meyakinkan Demokrat untuk ikut dalam pertarungan pilpres hingga ”terpaksa memilih oposisi” sebagai cara mengatasi supaya tidak kehilangan muka dalam arus dan gerak pilpres.

Demikian pula Partai Golkar (PG). Dengan perolehan suara 14,75%, gagal memainkan strategi lama yang selalu menetapkan ”tawaran tinggi” sebagai corak sindrom parpol yang selalu merasa berkuasa. Pencapresan Ical yang sejak awal dalam kebimbangan elektabilitas juga tidak mampu mengunci soliditas internal karena digerogoti faksi-faksi lama sisa kongres yang sempat retak.

Menilai Blok

Sebagai pemenang kedua dalam Pileg 2014, nasib Golkar tragis. Secara bertahap terpaksa harus menurunkan bargaining dalam koalisi pencapresan. Dari keinginan Ical menjadi capres, cawapres, bahkan konon transaksi sekadar mendapatkan posisi menteri. Itu artinya, kali ini benar-benar pil pahit harus ditelan Ical dan partainya karena harus menyerah akibat kekeliruan strategi.

Ada beberapa catatan menarik yang perlu disimak dalam pertarungan antarblok.

Pertama; koalisi yang dibentuk PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI merupakan representasi golongan nasionalis dan Islam kultural. Figur Jokowi dalam berbagai survei menempati ranking tertinggi, tentu jadi modalitas kuat dalam koalisi ini. Sosok merakyat dan populis yang direproduksi Jokowi-JK menjadi magnet tersendiri, terutama telah masuk pada ranah emosi masyarakat akar rumput dan kesadaran kalangan menengah. Hal ini menemukan momentumnya ketika terjadi krisis kepemimpinan, dan akhirnya kehadiran Jokowi dianggap sebagai pemimpin alternatif.

Pilihan menggandeng JK diharapkan menjadi daya dongkrak blok ini sebagai upaya memenangi Pilpres 2014. Selain JK dianggap memiliki reputasi positif, ia identik golongan timur Indonesia bahkan sekaligus masih memiliki akar dukungan dari para pemilih Golkar yang sejak awal enggan mendukung Ical.

Tantangan yang dihadapi Jokowi-JK adalah bagaimana menghilangkan stigma dan reproduksi konstruksi oleh kompetitor yang menilai dirinya ditundukkan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai penguasa PDIP, dengan sebutan ”boneka”. Serangan semacam ini biasa terjadi, sebagai cara pelemahan lawan selama proses kampanye. Karena itu, kemampuan tim sukses Jokowi-JK untuk menangkis dengan langkah-langkah strategis sangat diperlukan. Tidak sekadar menyerang balik tapi jauh lebih penting meyakinkan kepada rakyat mengenai independensi dan integritas kepemimpinan Jokowi-JK. Hal yang menarik dan perlu diperhatikan, sejak awal blok pendukungnya meyakinkan untuk tidak akan transaksi kementerian, dan akan membenahi presidensialisme secara kuat.

Kedua; pasangan Prabowo-Hatta merupakan blok koalisi kaum nasionalis dan Islam politik. Komposisi parpol pendukungnya adalah Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan PG yang selama ini tidak bersenyawa secara politik, tetapi mampu dirakit secara instan dan cepat. Bagaimanapun bersatunya PKS dengan PAN dalam gerbong ini sungguh mengejutkan, karena selama ini dalam praktik kampanye mereka selalu ”bermusuhan” berebut konstituen.

Kerja darurat blok ini terbangun karena faktor kefiguran Prabowo dan reproduksi politik identitas sektarianisme yang sengaja dipakai untuk menjadi simbol pembeda gerbong dari duet Jokowi-JK. Kemampuan kampanye Prabowo dalam berbagai media memang mampu mendongkrak popularitasnya sehingga memengaruhi dukungan formal para elite parpol yang tergabung di dalamnya. Sekalipun, koalisi ini mengalami goncangan, misal menimpa PPP saat membentuk koalisi dukungan. Kubu Prabowo-Hatta menghadapi tantangan serius, yakni soal reputasi Prabowo terkait HAM dan citra pewaris alumni Orde Baru. Sejarah masa lalu yang tergores karena kasus penculikan aktivis 1998 di kalangan kelas menengah yang peka media sosial cukup merisaukan.

Nalar Rakyat

Bagaimanapun pembentukan blok koalisi parpol dalam pilpres ini hanyalah fenomena administratif pencalonan presiden. Secara praksis, berdasarkan pengalaman, kalkulasi persentase perolehan suara pileg untuk syarat pencalonan presiden tidak berbanding lurus dengan perolehan suara dalam dukungan pilpres. Sukses tidaknya dalam kemenangan pilpres sangat ditentukan oleh kefiguran, strategi kampanye, dan kerja-kerja berbagai alat politik parpol di lapangan. Jadi, bukan hitungan dukungan administratif. Kita tahu bahwa rakyat sebagai pemilih memiliki logika dan nalar yang kadang luput dari jangkauan kerja parpol. Fakta pileg pada 9 April 2014 menunjukkan kemenangan kandidat rata-rata bukan semata prestasi kerja politik alat-alat parpol, atau kemurnian kualitas kandidat. Sejumlah analis menyebutkan Pileg 2014 banyak diwarnai praktik keculasan, money politics, dan ragam pragmatisme yang menggurita.

Akhirnya kita harus menunggu dan berharap, semoga Pilpres 2014 ini mampu belajar dari kesalahan-kesalahan dan proses buruk sebelumnya, agar ada upaya membenahi dari sisi kualitas figur, kejujuran, dan integritas penyelenggara, serta kemampuan kontrol para pengawas. Namun, kunci dari semua itu terletak pada kecerdasan pemilih. Apakah pemilih memiliki kesadaran kritis, mampu menilai secara jernih kandidat sebagai bagian agenda membenahi kualitas demokrasi agar kian membaik?

Siapa pun presidennya, kepentingan yang harus diprioritaskan adalah harus terpilih melalui pemilu demokratis dan fair supaya kekuasaan ke depan kian amanah dan akuntabel menciptakan kesejahteraan rakyat sesuai mandat konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar