Pendidikan
Menuju Taklif
Nurul
Lathiffah ; Peminat Kajian Psikologi Pendidikan
|
REPUBLIKA,
08 Mei 2014
|
Dahaga pembelajaran emosi
positif dalam dunia pedidikan semakin terasa. Orientasi pendidikan yang hanya
berfokus pada kecerdasan kognitif tidak mampu memenuhi kebutuhan esensial
pendidikan. Pendidikan idealnya mampu menumbuhkan pengetahuan yang terkristal
dalam perilaku positif.
Cita-cita luhur pendidikan
adalah terbentuknya manusia yang memiliki karakter yang humanis. Karakter ini
penting karena nilai-nilai humanisme adalah penjaga keharmonisan hidup.
Dalam masyarakat yang
humanis dan madani, anak-anak tumbuh dalam lingkungan psikologis yang sehat.
Tanpa nilai-nilai humanis, anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang tidak
kondusif, kejam, dan akan berdampak buruk terhadap perkembangan jiwa.
Cermin nyata terpuruknya
moralitas dalam pendidikan adalah agresivitas yang dilakukan oleh siswa,
perkelahian, tawuran, dan sejumlah aksi kekerasan lainnya. Terkait hal itu,
tragedi terpuruknya moralitas dalam pendidikan mutakhir terulang. Sekolah
kembali menjadi saksi peristiwa kekerasan di Jakarta. Para kuli tinta
mencatat, Renggo Khadafi (11 tahun), siswa kelas V, SDN Makassar, Jakarta Timur,
tewas di tangan rekan-rekannya. Penyebabnya sepele, ia tidak sengaja
menumpahkan gelas minuman es seharga seribu rupiah.
Pada titik inilah, banyak
pihak mempertanyakan kontribusi pendidikan dalam membentuk akhlak. Imam
al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai reaksi spontan yang tampak dalam
perilaku. Seharusnya, perasaan empati akan menghalangi siswa melakukan aksi
kekerasan. Namun faktanya, pelaku kekerasan memiliki emosi yang
"dingin", bahkan "beku".
Kenyataan pahit ini
harusnya menjadi cambuk bagi dunia pendidikan untuk tegas melangkah. Mendidik
siswa dalam rentang usia anak-anak (7-12 tahun) tidaklah mudah. Banyak orang
tua dan pendidik mengeluhkan mengenai sulit- nya mendidik anak agar
bertanggung jawab, matang, cerdas, memahami kewajiban dan hak, serta memiliki
akhlak yang baik.
Lingkungan pendidikan anak
kini semakin kaya akan pengaruh negatif. Kekerasan media yang dicontohkan dalam
film kartun dan humor anak-anak banyak yang memuat ungkapan verbal negatif.
Tidak hanya itu, anak-anak kerap disuguhi dengan tayangan kekerasan di media
massa.
Kasus kekerasan yang
dilakukan oleh siswa sekolah dasar merupakan isyarat bahwa pendidikan
kognitif yang mengesampingkan pendidikan afeksi memiliki sisi negatif. Sudah
saatnya pen ddikan diarahkan menuju arah pendewasaan. Pendidikan seharusnya
mampu menyadarkan anak-anak mengenai tugas dan tanggung jawabnya sehingga
pendidikan akan membantu dalam mengupayakan pendewasaan emosional dan mental
anak.
Mendidik anak menuju
taklif (kesadaran akan tanggung jawab sebagai pribadi, anggota masyarakat,
dan sebagai individu yang religius) memerlukan partisipasi dari banyak pihak.
Pilar utama mendidik anak menuju taklif adalah keluarga. Anak-anak sejak
kecil harus dipersiapkan untuk mulai bertanggung jawab. Ia sebaiknya mulai
diberi kepercayaan dan diberikan dukungan untuk menjadi pribadi yang mandiri,
matang, dan memiliki akhlak mulia. Dalam hal ini, orang tua haruslah memberi
bekal ilmu agama kepada anak.
Keluarga juga dapat memberikan
"spiritual parenting",
yakni pengasuhan yang memiliki dasar-dasar agama yang baik. Hal tersebut akan
menstimulasi rasa beragama anak sejak dini. Jika anak-anak diajarkan dengan
dasar-dasar ilmu agama, harapannya anak-anak akan memiliki orientasi
kehidupan yang baik pada masa depan.
Membimbing anak melakukan
kewajiban ibadah serta memberi dukungan pada anak untuk belajar merupakan
cara-cara efektif yang dapat dilakukan. Dengan cara membiasakan hal itu, secara
alami anak-anak akan belajar mengenai kebiasaan positif, tanggung jawab, dan
kemandirian. Hendaknya keluarga menjadi tempat bagi anak untuk mengasah hati,
mengasah afeksi, dan memberikan tempat yang nyaman bagi anak untuk mengambil
keteladanan.
Mendidik anak menuju
taklif merupakan tugas orang tua, pendidik, juga masyarakat sekitar.
Anak-anak yang pintar saja tidaklah cukup. Namun, arah pendidikan haruslah
pada akhlak, tanggung jawab, juga pembinaan pekerti anak. Hal ini dapat
ditempuh dengan cara memberikan perhatian dan pendidikan yang sebaik-baiknya
pada setiap masa perkembangan anak.
Pada masa tamyiz, misalnya, yakni usia sekitar
tujuh tahun, orang tua semestinya diajarkan dan dibekali kemampuan untuk
menilai perbuatan baik dan buruk sehingga jika kemampuan ini telah dimiliki
anak, hal ini akan menjadi bekal bagi masa pertumbuhan selanjutnya. Pun
demikian, setelah itu pendidikan nilai-nilai kejujuran sangat diperlukan anak-anak
untuk bekal dalam bersikap pada lingkungan.
Mendidik anak memerlukan
banyak keterampilan. Mendidik anak menuju taklif memerlukan akhlak yang baik
dari orang tua, pendidik, dan masyarakat di sekitarnya. Melatih anak
bertanggung jawab sesuai dengan usianya merupakan ikhtiar memantikkan
kecerdasan emosi pada anak. Akhirnya, ada hal-hal yang meski kita
prioritaskan daripada sekadar kecerdasan. Maka, meniatkan pendidikan taklif
untuk anak-anak merupakan pintu utama menyambut generasi harapan. Wallahu'alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar