Jumat, 09 Mei 2014

Pendidikan Menuju Taklif

Pendidikan Menuju Taklif

Nurul Lathiffah ;   Peminat Kajian Psikologi Pendidikan
REPUBLIKA,  08 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Dahaga pembelajaran emosi positif dalam dunia pedidikan semakin terasa. Orientasi pendidikan yang hanya berfokus pada kecerdasan kognitif tidak mampu memenuhi kebutuhan esensial pendidikan. Pendidikan idealnya mampu menumbuhkan pengetahuan yang terkristal dalam perilaku positif.

Cita-cita luhur pendidikan adalah terbentuknya manusia yang memiliki karakter yang humanis. Karakter ini penting karena nilai-nilai humanisme adalah penjaga keharmonisan hidup.

Dalam masyarakat yang humanis dan madani, anak-anak tumbuh dalam lingkungan psikologis yang sehat. Tanpa nilai-nilai humanis, anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif, kejam, dan akan berdampak buruk terhadap perkembangan jiwa.

Cermin nyata terpuruknya moralitas dalam pendidikan adalah agresivitas yang dilakukan oleh siswa, perkelahian, tawuran, dan sejumlah aksi kekerasan lainnya. Terkait hal itu, tragedi terpuruknya moralitas dalam pendidikan mutakhir terulang. Sekolah kembali menjadi saksi peristiwa kekerasan di Jakarta. Para kuli tinta mencatat, Renggo Khadafi (11 tahun), siswa kelas V, SDN Makassar, Jakarta Timur, tewas di tangan rekan-rekannya. Penyebabnya sepele, ia tidak sengaja menumpahkan gelas minuman es seharga seribu rupiah.

Pada titik inilah, banyak pihak mempertanyakan kontribusi pendidikan dalam membentuk akhlak. Imam al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai reaksi spontan yang tampak dalam perilaku. Seharusnya, perasaan empati akan menghalangi siswa melakukan aksi kekerasan. Namun faktanya, pelaku kekerasan memiliki emosi yang "dingin", bahkan "beku".

Kenyataan pahit ini harusnya menjadi cambuk bagi dunia pendidikan untuk tegas melangkah. Mendidik siswa dalam rentang usia anak-anak (7-12 tahun) tidaklah mudah. Banyak orang tua dan pendidik mengeluhkan mengenai sulit- nya mendidik anak agar bertanggung jawab, matang, cerdas, memahami kewajiban dan hak, serta memiliki akhlak yang baik.

Lingkungan pendidikan anak kini semakin kaya akan pengaruh negatif. Kekerasan media yang dicontohkan dalam film kartun dan humor anak-anak banyak yang memuat ungkapan verbal negatif. Tidak hanya itu, anak-anak kerap disuguhi dengan tayangan kekerasan di media massa.

Kasus kekerasan yang dilakukan oleh siswa sekolah dasar merupakan isyarat bahwa pendidikan kognitif yang mengesampingkan pendidikan afeksi memiliki sisi negatif. Sudah saatnya pen ddikan diarahkan menuju arah pendewasaan. Pendidikan seharusnya mampu menyadarkan anak-anak mengenai tugas dan tanggung jawabnya sehingga pendidikan akan membantu dalam mengupayakan pendewasaan emosional dan mental anak.

Mendidik anak menuju taklif (kesadaran akan tanggung jawab sebagai pribadi, anggota masyarakat, dan sebagai individu yang religius) memerlukan partisipasi dari banyak pihak. Pilar utama mendidik anak menuju taklif adalah keluarga. Anak-anak sejak kecil harus dipersiapkan untuk mulai bertanggung jawab. Ia sebaiknya mulai diberi kepercayaan dan diberikan dukungan untuk menjadi pribadi yang mandiri, matang, dan memiliki akhlak mulia. Dalam hal ini, orang tua haruslah memberi bekal ilmu agama kepada anak.

Keluarga juga dapat memberikan "spiritual parenting", yakni pengasuhan yang memiliki dasar-dasar agama yang baik. Hal tersebut akan menstimulasi rasa beragama anak sejak dini. Jika anak-anak diajarkan dengan dasar-dasar ilmu agama, harapannya anak-anak akan memiliki orientasi kehidupan yang baik pada masa depan.

Membimbing anak melakukan kewajiban ibadah serta memberi dukungan pada anak untuk belajar merupakan cara-cara efektif yang dapat dilakukan. Dengan cara membiasakan hal itu, secara alami anak-anak akan belajar mengenai kebiasaan positif, tanggung jawab, dan kemandirian. Hendaknya keluarga menjadi tempat bagi anak untuk mengasah hati, mengasah afeksi, dan memberikan tempat yang nyaman bagi anak untuk mengambil keteladanan.

Mendidik anak menuju taklif merupakan tugas orang tua, pendidik, juga masyarakat sekitar. Anak-anak yang pintar saja tidaklah cukup. Namun, arah pendidikan haruslah pada akhlak, tanggung jawab, juga pembinaan pekerti anak. Hal ini dapat ditempuh dengan cara memberikan perhatian dan pendidikan yang sebaik-baiknya pada setiap masa perkembangan anak.

Pada masa tamyiz, misalnya, yakni usia sekitar tujuh tahun, orang tua semestinya diajarkan dan dibekali kemampuan untuk menilai perbuatan baik dan buruk sehingga jika kemampuan ini telah dimiliki anak, hal ini akan menjadi bekal bagi masa pertumbuhan selanjutnya. Pun demikian, setelah itu pendidikan nilai-nilai kejujuran sangat diperlukan anak-anak untuk bekal dalam bersikap pada lingkungan.

Mendidik anak memerlukan banyak keterampilan. Mendidik anak menuju taklif memerlukan akhlak yang baik dari orang tua, pendidik, dan masyarakat di sekitarnya. Melatih anak bertanggung jawab sesuai dengan usianya merupakan ikhtiar memantikkan kecerdasan emosi pada anak. Akhirnya, ada hal-hal yang meski kita prioritaskan daripada sekadar kecerdasan. Maka, meniatkan pendidikan taklif untuk anak-anak merupakan pintu utama menyambut generasi harapan. Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar