Jokowi,
Intermeso Politik Mematikan bagi Prabowo
Max
Regus ; Peneliti di The International Institute of Social Studies,
Universitas Erasmus, Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Mei 2014
|
HINGGA akhir 2011, tidak
ada bantahan bahwa Prabowo ialah calon pengganti terkuat Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Dia dianggap sebagai antitesis yang tepat terhadap
kepemimpian lembek SBY. Rezim politik yang telah menyandera dirinya dengan
koalisi politik yang berlumuran korupsi. Wajah Prabowo yang menyiratkan
ketegasan seolah menjawab kerinduan politik sebagian publik Indonesia. Saat
itu, popularitas Prabowo berada di titik tertinggi.
Namun, musim pancaroba
politik menerjang dengan cepat. Pada kuartal terakhir 2012, bandul politik
mulai menjauh dari Prabowo. Elektabilitas politik yang signifikan tidak lagi
ada pada genggamannya. Seolah, sang jenderal meniti jalan sepi politik. Sedikit
demi sedikit, dia mulai kehilangan keterpesonaan publik, ketika pada saat
yang sama, publik mulai jatuh hati kepada Jokowi. Gubernur Jakarta itu
menjawab rasa kangen politik publik Indonesia tentang pemimpin yang mau jadi
bagian dari keseharian hidup mereka.
Lubang hitam
Di hari-hari ini, ketika
serangan terhadap Prabowo-berpangkal pada kisah suram perusakan
kemanusiaan--dianggap sebagian kalangan sebagai ulang tutur yang membosankan,
mesti ada keteguhan untuk melawan arus semacam itu. Lebih daripada sekadar
perlawanan politik, penolakan terhadap Prabowo merefleksikan keyakinan kuat
akan konstruksi psikososiologis kekuasaan. Yang dilawan ialah regenerasi
perilaku kekuasaan masa lalu yang sewenang terhadap kemanusiaan demi ambisi
politik. Prabowo sedang hidup di atas persepsi politik publik tentang lubang
hitam sejarah masa lalu.
Jemma Purdey (2006) dalam
karyanya, Anti-Chinese Violence in
Indonesia, 1996-1999, mengupas posisi sentral militer Indonesia dalam
kawah kekerasan etnik paling parah sepanjang sejarah keindonesiaan. Prabowo
adalah salah satu tokoh sentral dalam diskursus kekerasan itu. Di antara
kebenaran dan kepalsuan, sebelum keduanya terpecahkan, persepsi publik sedang
mengadili Prabowo sebagai penjahat HAM. Prabowo perlu menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang pembersihan etnik dan penculikan aktivis demokrasi.
Ini bukan hanya untuk kepentingan pencapresannya, melainkan juga untuk
kepentingan bangsa.
Diana Sayed (2012), fellow di Human Rights First, menulis
kisah kembalinya Prabowo ke kancah politik Indonesia pada dua sisi suasana
batin publik. Pertama, sesudah sempat menghilang dari peredaran pada
masa-masa sulit transisi politik nasional pascakeruntuhan rezim sang mertua,
dengan sisa impunitas politik dan hukum sebagai tokoh militer penting,
Prabowo tampil melalui sejumlah gerakan politik dan kampanye ekonomi yang
mencuri perhatian publik beberapa waktu sebelum Pemilu 2009. Kemunculannya
dianggap sebagai salah satu fenomena paling mengejutkan pada sesi kedua
kepemimpinan SBY. Kehadiran Partai Gerindra yang berhasil `mengekor' di
belakang PDIP membantu terbangunnya posisionalitas politik Prabowo. Kedua,
sejumlah kalangan terus menganggap sejarah gelap masa lalu tetap mengikat
kaki politik Prabowo.
Analisis terbaru dan
memukau ialah karya Gerry van Klinken, seorang ahli Indonesia dari KITLV dan University of Amsterdam dalam Inside Indonesia edisi 116, April-Juni
2014. Di situ, Klinken mengulas posisi Prabowo dalam persoalan HAM masa lalu.
Dengan benderang dan berani, pada artikel berjudul `Prabowo and Human Rights', Profesor Klinken menaruh sebuah
kalimat pendek di bawahnya; `Jakarta
1998 was bad, but Prabowo likely has more likely has more blood on his hand
in East Timor'.
Kalimat itu secara
sederhana menyiratkan satu konklusi penting bahwa Prabowo ialah bagian dari
historiografi kekerasan masa lalu, terlepas dengan dan sebesar apa pun bagian
keterlibatannya. Publik Indonesia harus menatap kenyataan ini dengan berani
agar dapat menentukan pilihan-pilihan politik beradab untuk Indonesia masa
depan.
Triangel politik
Sesudah PDIP menangguk
tidak lebih dari 20% suara pada pemilu legislatif, sejumlah suara sumbang
tentang Jokowi effect mengemuka
dengan deras. Kesimpulannya singkat dan jelas. Jokowi effect tidak memperlihatkan kegarangannya di pileg April
lalu. Jika harus berpikir sebaliknya, benarkah PDIP akan memenangi pileg
tanpa memasang Jokowi sebagai capres beberapa waktu sebelumnya. Washington
Post (19/3/2014) menulis tentang Jokowi effect beberapa minggu sebelum pileg
lalu.
Pemilu 2014 harus
memperhitungkan Jokowi effect.
Bukan saja pada tataran suprastruktur politik, melainkan juga pada akar
rumput yang merindukan perubahan politik, yang bosan menikmati elitisme
kekuasaan.
Bukan rahasia lagi, Jokowi
selalu merajai survei politik. Kemunculannya melebihi basis keterpesonaan
politik publik yang diberikan kepada Prabowo sepanjang periode 2009 hingga
2011. Ada triangle politik yang membentuk basis kandidasi Jokowi. Pertama,
Jokowi adalah antitesis dari kecenderungan munculnya kekuasaan yang
berbalutkan kosmetik politik yang menggerogoti fondasi keindonesiaan. Dia
seorang pemimpin sederhana yang menjadikannya meroket dalam popularitias
politik.
Kedua, Jokowi dianggap
sebagai simbol dari solusi bagi sederet problem pelik keindonesiaan.
Kesimpulan itu mudah ditemukan. Dia tidak memiliki masalah masa lalu yang
suram. Dia tidak sedang berhadapan dengan lengkin gan pertanyaan publik
tentang kejahatan kemanusiaan di kesilaman. Dia adalah pemimpin yang telah
melatih dirinya dengan persoalan-persoalan yang tersembunyi di akar rumput.
Ketiga, Jokowi adalah, di samping banyak kisah suram desentralisasi politik,
salah satu kisah sukses terbaik munculnya kepemimpinan lokal yang menembus
peta politik nasional. Dia memiliki tabungan politik sedikit lebih nyata
dalam mengelola pembangunan dan praksis kehidupan rakyat jika dibandingkan
dengan Prabowo dan kandidat lainnya. Jika mampu membangun komunikasi politik
dengan para pemimpin politik lokal, Jokowi akan meraih dukungan politik
masif.
Pada tiga tahun lalu,
publik bertanya, siapakah penantang terkuat Prabowo di 2014? Sepertinya, pada
hari-hari ini, baik Prabowo, para pendukungnya, publik Indonesia, telah
memperoleh lebih daripada sekadar sebuah jawaban. Saat Jokowi hadir di Jakarta pada 2012, dia dianggap sebagai
intermeso politik yang mampu menghibur publik dan membuat rakyat sadar
tentang harapan yang masih ada dan tersembunyi di ujung sejarah kepongahan
para penguasa. Ditempatkan pada konteks keunggulan Prabowo beberapa waktu
silam, intermeso itu sedang menjelma sebagai lawan mematikan untuk sang
jenderal. Mungkin, beginilah alam mengendalikan
jalan demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar