Jumat, 23 Mei 2014

Pagelaran Sudah Cukup

Pagelaran Sudah Cukup

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  23 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
AKHIRNYA pilihan partai-partai politik mengerucut ke dua kelompok. Partai Demokrat memilih untuk berdiri sendiri. Maka rasanya cukup lengkap sudah kita berwacana-wacana tentang para calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres) karena semakin banyak bicara, akan makin membuka kesempatan untuk keraguan atau kampanye hitam; yang rasanya pada tahap ini tidak fair lagi. Hanya membuat rakyat bingung. Ini bukan kontes Indonesian Idol demi mendulang suara. Sekalipun selalu dikatakan rakyat sudah cukup pandai, tetapi jangan mereka menjadi korban hasutan yang merugikan masa depan bangsa ini. 

Yang dikonteskan sebaiknya platform dan program setiap kelompok sehingga rakyat mendapat pilihan yang adil, tanpa harus diobok-obok lagi emosinya tentang masalah-masalah pribadi sehingga kembali melangkah mundur.

Misalnya, salah satu yang ramai dikampanyekan selama 2014 ini adalah soal ekonomi kerakyatan. Karena membawa nama `rakyat' tentu rakyat ingin banyak tahu tentang maksud istilah itu, sekalipun istilah itu sudah dipakai sejak zaman Bung Hatta pada awal-awal merekahnya Republik ini. Istilah semula `ekonomi rakyat' kemudian berubah menjadi `ekonomi kerakyatan'. Bung Hatta ingin memopulerkan sistem itu dengan sistem koperasi. Masyarakat masa kini, yang tidak terlalu mafhum sejarah ekonomi waktu itu, tentu tidak tahu apakah sistem koperasi itu berjalan sesuai yang diharapkan, sekalipun di Belanda sistem itu sukses besar. Keraguan tentang pengejawantahan sistem ekonomi kerakyatan bisa menimbulkan tanda tanya, apakah akan ada hubungannya dengan nasionalisasi, seperti yang akhir-akhir ini diasumsikan? Sebab, dengan perkembangan ekonomi dunia seperti sekarang, sikap dan tindakan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman sebaiknya dihindari.

Peran pemerintah

Berbeda dalam sistem pasar bebas sepenuhnya, dalam sistem ekonomi kerakyatan tentunya pemerintah akan memainkan peran semakin aktif dalam mengadakan perubahan pada sistem yang selama ini berlaku, memang, sekalipun tidak harus dengan menjalankan nasionalisasi secara serampangan yang akan merusak tertib ekonomi yang sudah dibangun selama ini. Sesuai dengan UUD kita, yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak pastinya akan diwaspadai sesuai arahan pemerintah. Ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan lebih banyak bersuara tentang alokasi sumber-sumber dana. Alasannya, sumber bumi faktanya menipis, peledakan penduduk menuntut penyediaan pangan lebih besar dan tuntutan pemerataan pendapatan. Peningkatan jumlah penduduk yang makin mendekati seperempat miliar tidak bisa diabaikan.

Dalam kaitan itu, sektor swasta perlu lebih banyak bekerja sama dengan pemerintah dalam menetapkan prioritas penanaman modal dan sekaligus merumuskan kebijakan teknologi yang tepat, lebihlebih mengingat menurunnya kinerja sektor industri. Untuk menciptakan orde baru di bidang perekonomian nasional memang diperlukan usaha perubahan besar-besaran, didukung kebijaksanaan nasional yang mengutamakan pemerataan kekayaan dan penghasilan.

Karena kekayaan, maupun kekuasaan, selalu bersifat terbatas, perlu ada aturan tentang cara mendistribusikan karena selalu ada saja oknum atau kelompok yang serakah untuk memonopoli dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimilikinya. Maka peraturan selalu diperlukan demi ketertiban, lebih-lebih tidak ada keberlimpahan yang sifatnya terus-menerus. Ada yang mengatakan, keterbatasan selalu menimbulkan ketimpangan distribusi. Pendapat itu masih harus diragukan kebenarannya. Kenyataannya, selama manusia merasa masih bisa memiliki sebanyak yang memuaskan hatinya, mereka tidak peduli akan kebutuhan orang-orang lain.

Mengapa ramalan selalu meleset

Sekitar tiga dasawarsa yang lalu kita pernah diramalkan Arlington Forecasting International Company bahwa antara 1996-2005 Indonesia akan menjadi negara ke-7 termaju setelah Australia, Amerika, Kanada, Inggris, Swedia dan Jerman Barat. Kabar semacam itu selalu menggembirakan karena memberikan sebentuk harapan. Kesimpulan itu hasil olahan komputernya setelah mendapat 64 indikator, lebih dari 200 tren, dan lebih dari 3.500 peristiwa. Semua berkaitan dengan masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan energi.

Ramalan itu terbukti jauh meleset. Ramalan kesuksesan Indonesia bukan pertama kali itu diadakan. Masalahnya komputer memerlukan data tepat untuk bisa terprogram sesuai kebutuhan. Yang menjadi pertanyaan, apakah indikator pendidikan masyarakat Indonesia masuk dalam sistem pengolahan komputernya?

Kesulitan-kesulitan praktis dan normatif strategi pendidikan, maupun biayanya yang luar biasa, menuntut penelaahan sistem yang ada. Mana yang lebih penting bagi Indonesia, apakah yang bertitik berat pada sejarah dan falsafah serta perkembangan kecerdasan pada umumnya, atau bertitik berat pada ke trampilan untuk memenuhi kebutuhan?

Faktanya, sistem pendidikan disusun kalangan menengah ke atas yang tidak pernah secara langsung merasakan pendidikan macam apa yang sebenarnya diperlukan oleh rakyat jelata sehingga memungkinkannya melakukan mobilitas ke atas. Fakta lain, banyak yang beranggapan bahwa memiliki kredensial seperti ijazah, gelar, atau sertifikat akan menjamin penempatan kerja.

Tenyata tidak. Dengan kredensial yang sama, anak kalangan menengah ke atas akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan; sebab sikap dan perangai seseorang, yang juga persyaratan penting, terbentuk bukan di ruang kelas. Dari segi ketenagakerjaan, pendidikan formal yang sifatnya umum, dengan demikian tidak selalu menguntungkan anak-anak rakyat jelata.

Idealnya, ada sistem yang membuat pemerataan pendidikan informal di kalangan anak-anak dari segenap lapisan sosial. Antara lain, misalnya, gerakan pramuka dan mengolahragakan masyarakat, yang pernah populer, bisa menjadi sarana mengurangi ketimpangan pergaulan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar