Orientasi
ke Luar Kemajuan Bangsa
Zacky
Khairul Umam ; Peneliti Timur Tengah dan sejarah intelektual Islam,
Kini mahasiswa pascasarjana di Freie Universitaet Berlin, Tinggal
di Istanbul
|
JAWA
POS, 05 Mei 2014
BANGSA
yang maju tak melulu berorientasi ke dalam. Kemampuan mengeksplorasi, kalau
bukan upaya "eksploitasi modern", kebudayaan dan dinamika
masyarakat asing sangat perlu digalakkan. Sentimen antiasing -yang belakangan
masih ada di sebagian pikiran masyarakat kita- perlu diubah dengan kesadaran
untuk memahami "yang asing."
Tidak
ada peradaban maju yang hanya melirik ke diri sendiri. Tak usah merujuk pada
peradaban Yunani, Persia, Romawi, Islam klasik sejak era Abbasiyah hingga
Usmani, atau kini Eropa modern; cukuplah berkaca dari Imperium Majapahit yang
mampu menjelajah Samudera Hindia hingga mencapai Madagaskar! Untuk mengarungi
samudera demi tujuan persemakmuran imperiumnya tentu tak melalui ilmu
sekonyong-konyong. Ia memerlukan ilmu maritim, astronomi, navigasi canggih
sesuai zamannya, dan juga strategi geopolitik yang tiada taranya.
Jika
kemudian Pramoedya Ananta Toer pernah menyebut era "arus balik",
terutama saat Portugis menaklukkan Malaka pada 1511 Masehi dan dinamika
peradaban Nusantara berangsur mandek hingga dicengkeram kekuasaan kolonial
Belanda, ini mesti dimaknai sebagai mundurnya tradisi untuk menilik bangsa
asing sebagai ilmu pengetahuan. Baiklah, kita juga perlu menuding pemerintah
Hindia Belanda yang ikut mengerdilkan tradisi ini.
Hilangnya
Nusantara dari percaturan dunia salah satunya disebabkan oleh mistifikasi
ilmu pengetahuan. Ilmu falak atau astronomi yang ditransfer dari peradaban
klasik Islam dipakai hanya untuk soal waktu sembahyang dan puasa. Ilmu logika
atau mantik lebih banyak dihafal daripada diberi komentar kritis. Dalam dunia
sufisme dan hukum Islam, terutama mazhab Syafii, memang Nusantara ulung.
Tetapi, selama lima abad belakangan ini, kita tidak belajar tentang
geopolitik dan ilmu sekuler lain untuk menata dunia.
Salah
satu sumber penting tentang geopolitik itu ialah kesadaran untuk memahami
bahasa, sejarah, dan dinamika kebudayaan dari negeri-negeri di luar
Nusantara/Indonesia. Bukankah sebuah kebangkitan peradaban dimulai dengan
proses mengaca, meniru, dan lalu muncul upaya kreatif-inovatif? Michel
Foucault, filsuf Prancis kesohor itu, setidaknya pernah menyebut bahwa
Renaisans Eropa becermin pada peradaban Andalusia. Eropa maju tidak langsung
mentransfer ilmu dan kesenian Yunani secara gaib langsung dari abad purba ke
modern; ia ditransfer melalui gerakan terjemahan dan kreativitas peradaban
Islam.
Jika
kita melalui Edward Said paham bahwa untuk menopang kekuasaan kolonial
dibutuhkan pengetahuan yang jeli atas bangsa-bangsa yang dikuasainya. Meski
tak lagi bernuansa penjajahan, keperluan untuk melancarkan hegemoni, atau
bahasa halusnya saat ini disebut Joseph Nye sebagai soft power, diperlukan upaya sistematis untuk menggali
antropologi, sejarah, linguistik/filologi, dan ruang lingkup pengetahuan
mengenai "dunia di luar dirinya
sendiri."
Yang
Indonesia butuhkan ialah melek tentang dunia di luar urusan dalam negerinya.
Jepang, Korea, dan Tiongkok melalui sekolah-sekolah unggulan bahasa asingnya
atau program pengiriman mahasiswa sudah melahirkan diplomat-intelektual yang
bukan hanya melulu tentang Inggris atau Amerika, tetapi Arab, Persia, Turki,
dan bahasa-bahasa yang tidak dilirik pemerintah Indonesia sebagai
"sangat penting."
Jika
Soekarno atau Gus Dur sangat memahami hal ini, namun situasi pada masanya
sangat sulit, kini waktunya sudah datang. Presiden terpilih pada Juli 2014
nanti hendaknya tak hanya memikirkan persoalan berdikari, tetapi juga
menerapkan gagasannasionalisme dalam taman sari internasionalisme. Ide ini
dimensinya bukan soal politik saja, tetapi juga penguasaan strategi kultural
Indonesia ke dalam dan ke luar. Aspek luar dari kebangkitan bangsa kita mesti
ditakar melalui timbangan seberapa jauh kita memiliki pedoman untuk
mengetahui mobilitas gagasan dan materi serta, di atas segalanya, mobilitas
kekuasaan antarbangsa. Itu kuncinya ada pada penggalian bahasa dan kebudayaan
asing!
Sudah
semestinya pemerintah memikirkan hal ini sebagai kebutuhan mendesak. Sangat
lucu bukan, ketika rombongan eksekutif atau legislatif melakukan studi
banding ke luar negeri tanpa pengetahuan yang mendalam, atau setidaknya
mendengar terlebih dahulu dari pakar-pakar dalam negeri yang mumpuni untuk
soal-soal masyarakat dan politik negeri asing?
Belakangan
ini penulis kerap kali menemui hal yang lucu itu di Istanbul dan Berlin:
kelompok studi banding lebih banyak memborong barang belanjaan ketimbang
gagasan dan visi-misi yang cemerlang. Presiden 2014-2019, siapa pun yang
terpilih, perlu memulai untuk mencetak ribuan diplomat dan ilmuwan yang
khusus memahami bahasa dan kebudayaan "asing" yang sekaligus
strategis untuk mendirikan Pusat Kebudayaan Indonesia beserta misi
ekspansifnya di berbagai kota incaran di seantero dunia. Medan globalisasi
buat Indonesia bukanlah arena menjadi penonton, melainkan pemain lihai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar