Indeks
Kejujuran Ujian Nasional
Ng
Tirto Adi MP ; Dosen Program Pascasarjana Unipa Surabaya
|
JAWA
POS, 05 Mei 2014
SETIAP
hajatan ujian nasional (unas) digelar, nilai-nilai kejujuran selalu disoal.
Hal itu terjadi karena ditengarai praktik-praktik ketidakjujuran kian marak
dilakukan saat unas berlangsung, terutama beberapa tahun belakangan. Teramat
jamak ditemui kegiatan sontek-menyontek siswa dilakukan, berbagai upaya licik
untuk membocorkan soal atau keinginan dalam mendapatkan kunci jawaban. Saat
unas SMA/MA sederajat (14-16 April 2014) berlangsung, telah tertangkap oknum
penjual kunci jawaban unas di berbagai daerah. Itulah sebabnya, nilai-nilai
dasar (basic values) yang dikedepankan dalam unas 2014 ini adalah
bermartabat, selain bermutu dan bermanfaat.
Berdasar
kejujuran yang dilakukan, derajat satuan pendidikan (sekolah/madrasah),
kabupaten/kota maupun provinsi dapat dipetakan tingkat kejujurannya mulai
level putih, abu-abu, dan hitam. Level putih diberikan kepada satuan
pendidikan, kabupaten/kota maupun provinsi yang dalam pelaksanaan unasnya
jujur. Sementara, level hitam diberikan jika pelaksanaan unas dilaksanakan
secara tidak jujur.
Untuk
mendeteksi apakah sekolah/madrasah itu jujur atau tidak, setidaknya dapat
dilihat dari dua hal. Pertama, perbandingan antara NS/M (nilai
sekolah/madrasah) dengan NUN (nilai ujian nasional). Kedua, dari pola jawaban
salah yang dilakukan siswa. NS/M diperoleh dari 70 persen rata-rata nilai
rapor (NR) dan 30 persen nilai ujian sekolah/madrasah (NUS/M). Dari 40 persen
NS/M dan 60 persen NUN diperoleh NA (nilai akhir) yang digunakan untuk
menentukan kelulusan siswa. Kecenderungan yang menjadi pola umum, kebanyakan
sekolah biasanya memberi nilai yang tinggi pada NS/M (termasuk di dalamnya NR
dan NUS/M) karena khawatir siswanya tidak lulus. Sering NS/M jauh lebih
tinggi daripada NUN. Dari sinilah diketahui bahwa sekolah belum dapat objektif
dalam menilai siswa (NS/M, NR, dan NUS/M). Sekolah-sekolah yang objektif
(jujur) bisa dipastikan besaran NS/M kongruen (sama dan sebangun) atau
berimpit, bahkan lebih rendah daripada NUN.
Publikasikan
Indeks Kejujuran
Apa pun
rancangan unas dibuat (apakah 20 paket soal atau unas online sekalipun), jika
tidak disertai dengan sikap jujur oleh penyelenggara dan peserta, rancangan
yang bagus dan ideal itu akan sia-sia. Untuk itulah gagasan memublikasikan
indeks kejujuran hasil unas dari sekolah/madrasah, kabupaten/kota maupun
provinsi perlu dipertimbangkan. Dalam sebuah kesempatan rapat kerja beberapa
tahun lalu di Surabaya, penulis pernah menyampaikan secara terbuka kepada
Prof Suyanto PhD (Dirjen Manajemen Dikdasmen waktu itu), betapa urgennya memublikasikan
indeks kejujuran hasil unas bagi sekolah/madrasah, kabupaten/kota maupun
provinsi untuk memberikan efek jera bagi pelaku ketidakjujuran.
Salah
satu niat pemerintah mengadakan unas dengan 20 paket soal adalah agar
kompetensi anak dapat terpetakan sesuai kondisi objektif yang sesungguhnya.
Tetapi, setiap rencana baik itu dilakukan, setiap itu pula tindakan curang
selalu mengiringinya untuk dirancang. Sepertinya rasa dan budaya malu (shame
culture) dari sebagian masyarakat ini telah hilang. Ketika masyarakat telah
sampai pada kondisi semacam ini, upaya shock therapy perlu dilakukan. Edward
L. Thorndike (1874-1949), tokoh aliran fungsionalisme, pernah mengemukakan,
dalam sistem belajar trial and error learning tentang hukum efek (the law of
effect) dan hukum latihan (the law of exercise). Dalam hukum efek, menurut
Thorndike, seseorang akan meninggalkan tindakan-tindakan yang dilakukan
manakala dari tindakan itu akan mendapatkan ganjaran yang tidak mengenakkan.
Sebaliknya, seseorang akan mempertahankan dan mengulang-ulang tindakan yang
dilakukan manakala tindakannya itu mendatangkan kesenangan dan kenyamanan.
Sekolah/madrasah
secara institusional maupun siswa secara individual yang jelas-jelas
melakukan kecurangan dengan cara memberikan atau menerima kunci jawaban unas,
dengan bukti dari pola jawaban salah atau nilai yang sama, kemudian
dibiarkan, sama halnya dengan mengizinkan untuk melanggengkan tindakan
kecurangan itu. Secara kelembagaan atau personal, pelaku-pelaku kecurangan
itu merasa nyaman dan mendapatkan kepuasan karena telah mendapatkan nilai
yang diinginkan, tanpa harus menerima peringatan, teguran, atau hukuman.
Ketika
indeks kejujuran hasil unas itu dipublikasikan, siswa dan sekolah/madrasah
akan berpikir ulang jika mau berbuat curang. Rasa malu tidak terhindarkan
jika orang lain akan tahu. Untuk itulah, sudah saatnya dibudayakan kejujuran
sebagai suatu gerakan bersama (common
action).
Ketika
harta yang kita punyai hilang, misalnya, sebenarnya kita belum kehilangan
apa-apa. Ketika kesehatan yang kita miliki mulai melemah, kita baru sebagian
kehilangan akan arti pentingnya kehidupan. Tetapi, jika kejujuran yang kita
miliki sudah tergantikan oleh kecurangan, sesungguhnya telah habislah
martabat hidup dan kehidupan kita di dunia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar