Negara
“Yes”, Partai “No”!
M
Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
31 Mei 2014
DIDIER Deschamps, sang
pelatih tim nasional Perancis, bersikap tegas. Ia mencoret nama Samir Nasri
dari timnas yang akan diboyong ke Piala Dunia 2014 di Brasil, Juni-Juli
mendatang. Padahal, penggila sepak bola percaya, memecat attacking midfielder yang baru saja ikut membawa Manchester City
menjadi juara Liga Inggris itu merupakan sebuah kekeliruan. Namun, Deschamps
yang midfielder timnas Perancis
1989-2000 punya pilihan: mendahulukan kepentingan dan keutuhan timnas
ketimbang kehebatan individu.
Saya teringat janji
calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) 2014-2019. Deschamps
seperti mengirim ”pesan” buat capres-cawapres yang bakal bertarung pada 9
Juli mendatang. Kita sudah punya dua pasangan capres-cawapres: Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK). Ketika mendeklarasikan diri, pasangan Prabowo-Hatta dan
Jokowi-JK sama-sama berikrar: menjunjung
dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara. Itulah janji awal kedua
pasangan, yang mari kita sama-sama catat sebagai ”utang yang mesti dilunasi”.
Sejak deklarasi dua
pekan lalu, kedua pasangan capres-cawapres itu sudah menyadari untuk
meninggalkan kepentingan partai. Sudah pastilah urusan golongan dan pribadi
dibuang ke tong sampah meskipun keduanya menjadi capres-cawapres tak lepas
dari kesepakatan koalisi sejumlah parpol. Hasil pemilu legislatif 9 April
lalu memang tak satu parpol pun bisa mengusung capres-cawapres. Itu karena
untuk mengusung calon harus punya minimal 20 persen kursi DPR atau minimal 25
persen suara (popular vote)
nasional dalam pemilu legislatif. Gerindra hanya meraih 11,81 persen suara.
PDI-P, meskipun meraih peringkat tertinggi, hanya mengumpulkan suara 18,95
persen.
Alhasil,
capres-cawapres merupakan hasil keroyokan koalisi. Prabowo-Hatta diusung
Gerindra, PAN (7,59 persen), PKS (6,79 persen), PPP (6,53 persen), PBB (1,46
persen), dan Golkar (14,75 persen). Total suara 48,93 persen. Jokowi-JK
diusung PDI-P, Nasdem (6,72 persen), PKB (9,04 persen), Hanura (5,26 persen),
dan PKPI (0,91 persen). Total suara 40,88 persen. Cuma Demokrat (10,19
persen) yang masih galau alias tidak berpihak sampai sekarang.
Mungkinkah koalisi ini
tanpa agenda transaksional atau power
sharing? Rasanya mustahil. Politik, sejak masih dalam kandungan hingga
dilahirkan, penuh transaksi dan kepentingan. Politik pula yang mengakomodasi
bagi-bagi kekuasaan. Salah satu fungsi parpol adalah rekrutmen dengan mengisi
jabatan-jabatan politik lewat mekanisme demokrasi. Parpol, kata ilmuwan
politik dan sosiologi Sigmund Neumann (1904-1962), merupakan organisasi
aktor-aktor politik yang berusaha meraih kekuasaan di pemerintahan, juga
merebut hati rakyat. Maka, power
sharing semestinya bersandar pada kapasitas, kapabilitas, kredibilitas,
profesionalitas, dan demi kepentingan rakyat.
Jadi, rasanya tidak
mungkin parpol koalisi itu tidak akan menagih jatah kursi di kabinet.
Capres-cawapres yang didukung pun pasti merasa ”berutang budi”. Sinyal-sinyal
seperti itu sudah tersiar beberapa waktu lalu. Contohnya, ketika Golkar
memilih merapat ke Prabowo, terdengar wacana ”menteri utama” atau ”menteri
senior” jika Prabowo-Hatta menang. Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie
diduga dijanjikan mendapat posisi itu. Perilaku Golkar memang menarik.
Menjadi peraih suara terbesar kedua dalam pemilihan legislatif lalu, Golkar
tidak berdaya karena tidak bisa mengusung capres-cawapres. Menjadi motor bagi
kubu alternatif pun Golkar tak mampu.
Namun, setelah
bolak-balik, akhirnya Golkar berlabuh ke Prabowo. Golkar pun retak, seperti
pada masa-masa sebelumnya yang kerap beda pendapat. Kelihatannya Golkar merugi karena tidak punya
capres-cawapres. Akan tetapi, sebetulnya Golkar-lah yang menang. Secara
resmi, Golkar menjadi bagian dari kubu Prabowo-Hatta. Meski demikian, tak
resminya, ada kader-kader Golkar berbaris di belakang Jokowi-JK. Kita tahu,
JK orang Golkar. Ternyata di dua kubu itu, Golkar punya ”perwakilan”. Maka,
siapa pun pasangan capres-cawapres yang menang, Golkar pasti dapat jatah
kekuasaan. Golkar memang piawai dan licin berpolitik.
Kini, dukungan
terhadap kedua pasangan capres-cawapres itu terus mengalir. Namun,
Prabowo-Hatta tak boleh tersandera dengan transaksi dan kepentingan partai
atau kelompok. Prabowo tak boleh lagi ngurusi Gerindra, juga partai-partai
pendukungnya. Jokowi-JK juga harus sadar, tidak boleh lagi mengabdi pada
partai. Akhiri mengabdi kepada PDI-P dan partai koalisi pendukung lain,
termasuk membebaskan diri dari bayang-bayang Megawati. Biarkan partai-partai
diurus oleh pengurus masing-masing. Seperti Deschamps, tegas saja terhadap
mereka yang meminta-minta kekuasaan.
Tahun 1941, Presiden
Persemakmuran Filipina Manuel Quezon (1878-1944) menegaskan, ”Kesetiaan saya pada partai berakhir
ketika kesetiaan pada negara dimulai (Ang
katapatan ko sa aking partido ay magwawakas sa pagsibol ng katapatan ko sa
aking bansa).” Di Filipina,
kala itu, kesetiaan terhadap partai terkadang membabi buta, tak peduli benar
atau salah. Presiden AS John F Kennedy (1917-1963) mengakui, kadang-kadang
partai meminta kesetiaan terlalu banyak. ”Cintailah
negara Anda karena rumah bagi bangsa Anda, sumber-sumber kebahagiaan dan
kesejahteraan. Setiap saat Anda siap berkorban untuk negara, mati sekalipun,”
kata Quezon. Tunggu saja Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK berteriak, ”Negara yes, partai no!” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar