Mencari
yang Terbaik
Agus
Sudibyo ; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KOMPAS,
30 Mei 2014
MEMBUKA kembali lembaran masa lalu yang sarat
pengalaman pahit adalah imperatif. Padahal, seharusnya, fragmen-fragmen
sejarah disimpan rapi dalam ingatan, tidak dihapuskan begitu saja. Ingatan
kolektif yang kemudian terbentuk menjadi landasan bagi semua pihak untuk
mengambil keputusan sehingga pengalaman pahit masa lalu tidak terulang dan
ketidakadilan tidak menjadi abadi. Sejarah adalah titik tolak untuk melangkah
ke depan.
Refleksi ini, antara lain, disampaikan pemikir
Walter Benjamin (1969) dengan merujuk pada pengalaman pahit menjadi korban
kekerasan selama perang berkecamuk di Eropa pada dekade 1940-an.
Refleksi itu selalu relevan untuk konteks
Indonesia, karena sejarah kita penuh dengan cerita kekerasan dan tragedi.
Namun, kebenaran tentang kekerasan dan tragedi itu banyak yang masih misteri.
Refleksi itu juga selalu relevan karena dalam
perjalanan bangsa, kita sering menghadapi situasi di mana sebagian orang
berusaha melupakan apa yang telah terjadi. Pada sisi lain, entah mempunyai
watak dasar pemaaf atau pelupa, masyarakat kita juga begitu mudah berdamai
dengan masa lalu, memaafkan para pelaku dan kesalahannya.
Pencapresan Prabowo
Pencalonan Letnan Jenderal Purnawirawan
Prabowo Subianto sebagai presiden niscaya akan dikaitkan dengan apa yang
telah terjadi menjelang 1998, ketika sejumlah aktivis diculik, diinterograsi,
disiksa, dan sebagian tidak pernah kembali.
Belum tegas benar bagaimana dan sejauh mana
keterlibatan Prabowo dalam ”proyek” kekerasan terhadap para aktivis pro
demokrasi itu. Namun karena pasukan yang dipimpinnya terindikasi terlibat,
beberapa pihak meyakini peran Prabowo. Kedatangan orang-orang Prabowo kepada
orangtua korban penculikan, beberapa waktu lalu, seolah-olah menegaskan itu.
Ingatan dan kontroversi tentang penculikan
para aktivis selalu menghantui kiprah politik figur seperti Prabowo. Akan
lebih mudah bagi masyarakat, juga mungkin bagi Prabowo, jika lembaga
yudikatif, Komnas HAM, dan pemerintah berhasil membuat keputusan resmi yang
menegaskan posisi Prabowo dalam tragedi itu, dan mengakhiri spekulasi yang
berkembang.
Ingatan akan masa lalu itu menjadi penting
dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Kita tentu tidak ingin bangsa Indonesia
sekadar mencoblos pada pilpres nanti, tetapi mencoblos pemimpin yang
benar-benar berkualitas.
Legitimasi politik pilpres ditentukan oleh
sejauh mana warga negara mengetahui benar rekam jejak dan masa lalu calon
pemimpin. Warga negara memilih pemimpin secara rasional, berdasarkan
pengetahuannya tentang plus-minus kualitas pemimpin itu.
Dapat dibayangkan betapa rendahnya legitimasi
pilpres jika banyak warga negara memilih presiden tanpa tahu benar bagaimana
rekam jejaknya. Sungguh tidak bermutu jika jalan menuju panggung kekuasaan
tertinggi diraih bermodal lupa politik dan politik uang.
Dalam konteks ini, akan lebih baik bagi capres
Prabowo secara terbuka menjelaskan posisinya dalam tragedi penculikan aktivis
pro demokrasi di senja Orde Baru itu. Apa benar dia terlibat, sejauh mana?
Jika tidak terlibat, di mana kedudukan dia sebagai komandan pasukan khusus
kala itu? Jika dia terlibat, janji-janji apa yang bisa diberikan agar tidak
mengulangi kesalahan yang sama?
Pada suatu titik, kita sebagai bangsa memang
harus berdamai dengan masa lalu, memaafkan pelaku sejarah atas kesalahannya.
Namun, berdamai dan memaafkan tidak mungkin dimulai dengan lupa politik.
Berdamai dan memaafkan harus dimulai dengan ”ingat” dan pengakuan tentang apa
yang telah terjadi.
Mengingat janji
Namun, problem lupa politik tidak hanya
relevan dibahas dalam konteks pencapresan Prabowo. Pada gradasi dan kadar
keseriusan yang berbeda, capres Joko Widodo (Jokowi) juga menghadapi masalah
yang sama.
Jokowi mesti ingat atau diingatkan akan
janji-janji yang dia tebarkan kepada warga Jakarta ketika mencalonkan diri
menjadi gubernur DKI. Datang ke Jakarta dengan meninggalkan kedudukannya
sebagai wali kota Solo, Jokowi berjanji untuk membawa Jakarta menuju
perubahan dan perbaikan selama lima tahun. Jokowi menabur harapan, banyak
orang terpikat oleh pesona diri dan keseriusannya.
Dalam konteks ini, tentu tidak cukup jika
Jokowi hanya mengajukan cuti untuk nyapres kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Jokowi harus meminta izin kepada seluruh warga Jakarta dan meminta
maaf karena banyak meninggalkan pekerjaan, banyak absen selama proses
pencapresan, dan kemungkinan tidak bisa mewujudkan janji-janji yang telah
diucapkan.
Dari sudut pandang etika politik, pencalonan
Jokowi semestinya tidak meninggalkan preseden buruk. Satu jabatan publik
ditinggalkan untuk jabatan publik yang lebih tinggi. Jabatan publik yang
lebih tinggi ini pun kemudian ditinggalkan demi jabatan publik yang lebih tinggi
lagi.
Bagaimanapun, akan lebih lebih baik jika suatu
pengabdian dituntaskan sebelum beranjak ke pengabdian berikutnya. Kalaupun
prinsip ini diabaikan demi untuk mengejar kemaslahatan publik yang lebih
besar, seharusnya tidak dilakukan berdasarkan lupa politik.
Maka, yang dibutuhkan adalah keterbukaan dan
kejujuran untuk mengakui kekurangan diri, dan dengan rendah hati meminta
permakluman dari masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar