Menyegarkan
Semangat Kebangsaan
FS
Swantoro ; Peneliti dari
Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 21 Mei 2014
"Kini saatnya kembali membangun kepedulian
kebangsaan, yang bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu"
TIAP
tanggal 20 Mei bangsa Indonesia memperingati Hari Kebangkitan Nasional
(Harkitnas). Hari bersejarah itu ditandai dengan kelahiran perkumpulan Boedi
Oetomo, 106 tahun silam. Kembali melihat sejarah itu, akan menyadarkan kita
betapa panjang dan berat perjuangan bangsa kita. Kebetulan peringatan ini
berimpitan dengan hajatan besar, yakni Pileg 9 April lalu dan Pilpres 9 Juli
mendatang.
Setelah
lahir Boedi Oetomo, kemudian tumbuh organisasi modern yang selanjutnya
mengantarkan bangsa ini ke puncak perjalanan lebih tinggi, yakni Soempah
Pemoeda yang dikumandangkan pada 28 Oktober 1928. Waktu itu, kaum muda
mewakili bangsa menyatakan persatuan kebangsaan.
Karena
itu, kelahiran Boedi Oetomo sebagai organisasi pertama pergerakan nasional,
membawa semangat kebangkitan nasional dan kebangsaan Indonesia. Menyegarkan
kembali makna terdalam dari peristiwa bersejarah itu harus menjadi tujuan
utama bila kita memperingati hari-hari bersejarah, seperti Harkitnas. Kita
perlu merefleksikan semangat kebangkitan nasional.
Pada
zaman pascarevolusi kemerdekaan, kita terus menciptakan realitas kebudayaan
dengan dalih mengisi kemerdekaan. Kita ciptakan pembangunan nasional tapi
kita perlakukan sebagai pembangunan ekonomi, menambah GNP, bukan SDM
berkualitas. Para tokoh reformasi mengkritik pembangunan teknokratis Orde
Baru, tapi ketika berkuasa, meneruskan kembali dengan cara lebih kacau. Lalu,
dilansir “budaya demokrasi”, tapi rakyat yang katanya pemilik kedaulatan hanya
jadi penonton dan bukan partisipan dalam pengambilan keputusan. Partai
politik yang menjamur yang katanya bervisi misi penyalur aspirasi rakyat,
malah tak mendidik dan mengeksploitasi keawaman rakyat.
Suguhkan Janji
Kemudian
diterapkan ide otonomi daerah yang mentah hingga muncul “raja-raja kecil di
daerah” yang alih-alih mengayomi wong
cilik malah melayani kepentingan primordialnya. Katanya mau menegakkan
negara hukum tapi aparat penegak hukum, pejabat publik, dan elite politik
menciptakan hukum rimba. Katanya tidak untuk korupsi tapi bila ketahuan
menonjolkan diktum praduga tak bersalah dan sebagainya.
Jadi,
generasi pascarevolusi kemerdekaan, terutama yang menepuk dada sebagai kaum
reformis hanya menyuguhkan janji-janji pada rakyat. Mereka mengubah revolusi
kemerdekaan nasional jadi revolution of
rising expectations, janji yang satu belum terpenuhi, sudah disusul
ekspektasi baru sebagai eksperimen politik. Ada baiknya elite politik
merenungi petuah ini, bahwa “orang
dapat membohongi sebagian rakyat untuk sementara waktu, dan membohongi
seluruh rakyat untuk sementara waktu tapi tidak seluruh rakyat untuk selama-lamanya.”
Pembentukan
bangsa menurut Renan (1882) sebagai sering dikutip Bung Karno yaini, ”suatu bangsa itu terbentuk berdasarkan
the will to be together.” Dasar pembentukan ini berlaku bagi Indonesia.
Jauh sebelum Indonesia terbentuk sebagai bangsa yang kemudian
memproklamasikan negaranya, negara selaku bangsa yang terorganisasi di
wilayahnya sudah ada.
Mereka
bukan berupa kumpulan orang melainkan sudah jadi kelompok berbudaya dan
terorganisasi dalam hukum adat masing-masing. Maka kemerdekaan mengajak
mereka dari hidup berdampingan menjadi hidup sebagai warga negara-bangsa.
Pertanyaan yang tersisa bagaimana memelihara paham kebangsaan itu sebagai
sumber kekuatan kebersamaan untuk membangun masa depan?
Kita tak
boleh abai terhadap gejala erosi semangat kebangsaan sekarang ini. Dengan
berbagai kejadian yang membuat kita miris hati, seperti anak SD membunuh adik
kelasnya, pelecehan seksual masif menimpa ratusan anak TK dan SD di beberapa
daerah Jakarta, Sukabumi, Tegal dan Jambi.
Kemudian
korupsi makin mengerikan dan politik uang yang merebak dalam pemilu lalu dan
sebagainya. Karena semangat kebangsaan adalah merupakan roh yang selalu
menghidupi eksistensi suatu negara maka tak boleh dibiarkan kering dan harus
selalu kembali disegarkan. Semangat kebangsaan memerlukan penyegaran
terus-menerus.
Memelihara
semangat kebangsaan tak cukup dilakukan lewat pidato, penataran, ceramah,
upacara, pencitraan betapa pun pentingnya hal itu. Jauh lebih penting
menjamin semangat kebangsaan melalui etos kerja dan teladan para
penyelenggara negara, elite politik, pimpinan partai, birokrat, dan penegak
hukum, hingga setiap warga negara merasa terlindungi dan memperoleh rasa
keadilan-sosial.
Meski
secara formal Pancasila tercantum dalam tiap dokumen kebangsaan dan kenegaraan,
selama rakyat tak merasa terlindungi; selama rakyat tak merasa sejahtera;
selama rakyat tak menjadi lebih
cerdas, kita belum berhasil memainkan peranan memadai dalam mewujudkan
suatu dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
Artinya,
Pancasila sebagai formula autentik kebangsaan belum sungguh-sungguh
dilaksanakan. Kita tak boleh tinggal diam menghadapi kondisi itu. Justru
karena arus keserakahan makin menggila, kini saatnya kembali membangun kepedulian
kebangsaan, yang “bertanah air satu,
berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia.” Perlu pula kembali
mengumandangkan pidato Bung Karno, Nawaksara, yakni “berdaulat dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan
berdikari dalam ekonomi.”
Semua
itu, karena kita berada di tikungan sejarah, di bawah ancaman asing, hingga
bangsa ini nyaris kehilangan kedaulatan, kepribadian, dan kemandirian dalam
makna sejatinya. Lantas apa sistem demokrasi kita sekarang bisa digerakkan ke
arah tujuan Tri Saktinya, Bung
Karno yang berdaulat penuh? Mari kita jawab sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar