Sabtu, 24 Mei 2014

Kesia-siaan Pilpres Mesir

Kesia-siaan Pilpres Mesir

Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  24 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DI tengah krisis yang tak kunjung usai, pemerintah interim Mesir di bawah Presiden Adly Mansour dan Perdana Menteri (PM) Hazem Al-Biblawi pada 26-27 Mei 2014 menggelar pemilihan presiden (pilpres). Kontestasi itu hanya diikuti dua kandidat, yaitu mantan menteri Pertahanan dan eks deputi PM Abdel Fatah Al-Sissi dan Hamdeen Sabahi (tokoh sosialis sekaligus Ketua Al-Tayyar Al-Sya’biy).

Bagi Sabahi, pilpres sekarang adalah partisipasi dan upayanya kali kedua untuk menggapai singgasana kursi presiden di Negeri Piramida itu, dalam waktu  dua tahun bela­kangan. Upaya kali pertama dilakukannya melalui pilpres Mei 2012, dan waktu itu ia hanya menempati posisi ketiga (di bawah Mohammed Mursi dan Ahmad Shafiq) sehingga gagal melaju ke pilpres putaran kedua (Juni 2012) yang akhirnya dimenangi Mursi.

Muhammed Mursi adalah capres dukungan Partai Kebebasan dan Keadilan (sayap politik Ikhwanul Muslimin, yang kemudian kekuasaannya dikudeta oleh militer pimpinan Jenderal Al-Sissi pada 3 Juli 2013. Sissi dan Sabahi berperan penting dalam kudeta tersebut.

Apakah Sabahi akan sukses memenangi pilpres kali ini dan berhasil menduduki kursi presiden? Kalangan analis politik di Mesir meyakini dia tak akan memenangi pilpres sekarang. Pilpres kali ini diprediksi dimenangi oleh Al-Sissi dengan perolehan suara lebih dari 50 persen, sehingga pesta domokrasi itu akan berlangsung hanya satu putaran saja. Pilpres kali ini tak akan berlanjut ke putaran kedua.

Sebagai indikator, hasil pelaksanaan pemilihan presiden di Kedutaan Besar dan Konsulat Mesir di 124 negara (termasuk di Indonesia) pada 15-19 Mei 2014 dimenangi Al-Sissi. Menurut Abdulaziz Salman (Juru Bicara Komisi Pemilihan Presiden Mesir), Al-Sisisi meraih 95 persen dari 300 ribu pemilih di luar negeri.

Jenderal Abdel Fatah Al-Sissi oleh sebagian masyarakat Mesir (terutama mereka yang mengharapkan atau merindukan kembalinya kediktatoran  demi me­wujudkan stabilitas seperti era rezim Hosni Mubarak) dipandang sebagai sosok kuat yang akan sanggup mencipta­kan stabilitas yang mantap khu­susnya da­lam bidang ke­­amanan.

Isyarat akan terpenuhinya harapan tersebut alias kembalinya era kediktatoran sudah tampak sejak pemerintahan interim pascakudeta dibentuk pada Juli tahun lalu. Walaupun de jure pemerintahan interim dikemudikan oleh Presiden Adly Mansour, secara de facto  pemerintahan interim sejatinya dikendalikan (didikte) penuh oleh pemimpin kudeta, Jenderal Al-Sissi. Pria kelahiran Kairo 19 Desember 1959 itu sudah memperlihatkan perangai diktatornya: mulai dari penetapan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi teroris (akhir Desember 2013) sampai dengan represivitas pemerintah berupa penangkapan-penangkapan kalangan aktivis oleh aparat keamanan.

Termasuk keputusannya menjatuhkan vonis hukuman mati massal melalui putusan  pengadilan Mesir terhadap lebih dari 1.000 pendukung ataupun pemimpin Ikhwanul Muslimin (akhir Maret dan April 2014). Mohammad Badie (pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslim) masuk dalam daftar anggota Ikhwanul Muslimin yang divonis mati itu.

Kaidah Prosedural

Lantas, apakah pilpres Mesir kali ini (masih) mempunyai makna demokrasi yang sesungguhnya jika pemerintah interim selaku penyelenggara pilpres bertindak represif dan capres yang akan menang berpotensi kuat otoriter dan diktator?

Tentu, jika faktanya seperti itu  pilpres Mesir sekarang ini akan kehilangan makna hakiki demokrasi. Presiden Mesir terpilih mendatang hanya memenuhi kaidah demokrasi prosedural, dia tidak memenuhi nilai-nilai demokrasi substansial-fundamental yang dibutuhkan masyarakat demokratis, akibat misalnya ketiadaan transparansi pelaksanaan pilpres, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), ataupun boikot atas pilpres oleh kelompok masyarakat tertentu hingga tingkat partisipasi pemilih rendah.

Pelaksanaan pilpres Mesir 2014 sekarang ini dipastikan diboikot oleh pendukung Ikhwanul Muslimin yang berjumlah sekitar 20 juta orang dan kalangan liberal pendukung demokrasi. Indikasi pemboikotan itu sudah tampak jelas dalam pilpres yang diselenggarakan di Kedutaan Besar dan Konsulat Mesir di 124 negara pada pertengahan Mei lalu. Dari sekitar 6 juta warga Mesir di luar negeri, hanya 300 ribu yang menggunakan hak pilihnya. Mereka yang memboikot (golput) mencapai lebih dari 90 persen.

Apabila pemboikotan pelaksanaan pilpres di dalam negeri Mesir juga berlangsung masif, tidaklah berlebihan dikatakan pilpres Mesir tanggal 26-27 Mei 2014 ini sesungguhnya sebuah kesia-siaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar