Kenaikan
dan Agenda Pilpres
Ida Bagus Made Nada ;
Anggota Dewan Paroki St Clara Bekasi
|
KORAN
JAKARTA, 29 Mei 2014
Kamis
ini, umat Kristiani seluruh dunia merayakan Hari Kenaikan Yesus ke surga. Apa
makna perayaan peristiwa yang terjadi lebih dari 2.000 tahun lalu itu? Yang
jelas, ini menjadi sangat menentukan dalam perjalanan Gereja Perdana.
Waktu
itu, para murid belum habis rasa tidak percayanya karena guru dan harapan mereka
telah mati. Banyak murid dan rakyat Yahudi mengharap banyak pada Yesus,
terutama akan membebaskan mereka dari penjajah Roma dan mengembalikan
kejayaan kerajaan Daud.
Namun,
apa yang terjadi? Dia mati. Tidak hanya itu, matinya pun mengenaskan: disalib.
Jelas bagi masyarakat Yahudi mati disalib adalah lambang kehinaan. Selain
itu, mati muda bukan berita bagus. Pendek kata, habislah harapan masyarakat.
Akan tetapi, Yesus bangkit dari mati. Harapan para murid dihidupkan lagi.
Yesus
masih mendampingi selama beberapa waktu untuk menguatkan hati para murid dan
memastikan bahwa mereka bisa “ditinggal” Inilah saat yang harus dilalui dan
dialami para murid: Yesus naik ke surga. Para murid harus melanjutkan ajaran
Sang Guru. Mereka menanti-nanti Roh Kudus. Ya, dalam tradisi dan ajaran
Gereja, setelah Yesus naik ke surga, para murid akan dihibur dan dikuatkan
oleh Roh Kudus. Itulah yang disebut Pantekosta, turunnya Roh Kudus. Jadi,
kenaikan Yesus adalah harapan baru bagi para murid.
Dalam
konteks kini, kenaikan harus menjadi simbol penantian Roh yang akan
menguatkan dan memberi damai. Indonesia dalam hal ini akan dikuatkan semangat
yang memberi kekuatan untuk melanjutkan karya-karya cinta kasih. Bagi
pemerintah, dia akan dikuatkan dan diberi roh semangat membangun masyarakat
yang damai. Pada kasus tertentu, kedamaian dapa tercipta bila ada
kesejahteraan.
Maka,
rakyat akan damai bila mereka sejahtera. Untuk itu, pemerintah harus
bersemangat membangun kesejahteraan rakyat agar tercipta kedamaian. Selain
itu, praktik-praktik kehidupan harus mampu menciptakan kedamaian. Hal itu
hanya terjadi bila sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dijalankan
dengan bersih: jauh dari korupsi dan penipuan.
Dalam
konteks pemilihan presiden (pilres), kebersihan sendi berbangsa dan bernegara
termasuk mempersiapkan pemilu dengan bersih. Maka, praktik kampanye hitam
bertentangan dengan semangat hidup bersih. Semua harus tampil gentle, elegan,
dan cantik. Dengan kata lain, persiapan pemilu harus dijalankan dengan penuh
tanggung jawab.
Kampanye
harus lebih mengutamakan upaya memperkenalkan arah pembangunan dan
langkah-langkah yang akan ditempuh guna menyejahterakan rakyat. Dengan
begitu, kampanye berisi program nyata, bukan upaya memojokkan saingan. Sudah
waktunya bangsa ini melahirkan pemimpin lewat sistem demokrasi yang
bermartabat, berkualitas, dan elegan.
Buah
baik berasal dari sistem yang baik pula. Demikian juga pemimpin yang baik
hanya dapat dilahirkan lewat sistem yang dibangun dan direncanakan dalam
koridor akhlak, etika, dan moral yang baik.
Masa Antara
Antara
Kenaikan dan turunnya Roh Kudus adalah masa penantian. Inilah waktu yang
mencemaskan, mengkhawatirkan, sekaligus diharapkan, ditunggu-tunggu. Suasana
hati para murid berkecamuk, campur aduk menantikan apa yang akan terjadi pada
hari Pantekosta.
Demikian
pula bangsa Indonesia sekarang sedang berada dalam masa antara. Saat ini,
rakyat tengah menanti penuh kecemasan, namun juga harapan. Masyarakat juga
campur aduk, menantikan apa yang akan terjadi pada 9 Juli. Mereka menanti
siapa yang akan keluar sebagai pemenang dalam pilpres.
Pantekosta
menjadi titik balik para murid. Mulai saat itu, tiada sedikit pun rasa takut
untuk mewartakan karya-karya Yesus. Mereka tampil penuh semangat dan siap
ditangkap, dipenjara, dan dihukum mati penguasa. Mereka berani karena arah
sudah jelas: Kerajaan Allah harus diwartakan.
Demikian
pula bangsa Indonesia seharusnya juga tampil all out setelah jelas pemenang
pilpres karena arahnya sudah jelas: maju bersama demi menyejahterakan bangsa.
Pemerintah baru, setelah cemas menanti-nanti dan akhirnya menang, harus
langsung tancap gas bekerja keras. Tidak ada ampun bagi pemenang pemilu harus
langsung berjibaku mewujudkan visi misi yang telah diuraikan di dalam
kampanye.
Mereka
tidak boleh leha-leha karena rakyat sudah lama menanti pemerintahan baru yang
akan membebaskan dari “penjajah Roma”: kemiskinan, kebodohan, dan
ketidakadilan. Itu pula yang diperjuangkan Yesus semasa hidup. Dia melawan
ketiganya meski harus berakhir di tiang salib. Pemenang pilpres harus tampil
dengan roh dan semangat baru.
Dengan
kata lain, pemerintah baru harus meninggalkan cara hidup lama: korup, tidak
adil, KKN dan penuh tipu-tipu. Dalam bahasa positif, pemerintah baru harus
menjalankan manajemen: bersih, adil, jujur, memikirkan rakyat, dan anti-KKN.
Inilah gambaran sejati harapan baru tersebut. Tidak ada artinya bila
pemerintah baru hanya berganti orang, tetapi sistem tetap membiarkan korupsi,
ketidakadilan, dan KKN.
Oleh
karena itu, semua elemen bangsa harus benar-benar mengawal pelaksanaan dan
hasil Pilpres 9 Juli agar semua berjalan adil, jujur, dan bersih. Pemilu 9
Juli sangat menentukan, dan oleh karena itu amat vital bagi perjalanan bangsa
ke depan. Maka, semua berkepentingan untuk menyukseskan pilpres, dalam artian
hasilnya adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.
Hasil
yang baik akan menguntungkan rakyat. Sebaliknya, hasil jelek, rakyat pula
yang menanggung. Itulah arti penting semua berkepentingan akan hasil pilpres.
Apa pun hasilnya dan siapa pun pemenangnya, bila sudah berjalan dalam sistem,
harus diterima sebagai bentuk mandat penuh dari rakyat untuk menjalankan roda
pemerintahan. Dengan kata lain, kandidat yang kalah harus menerimanya dengan
besar hati karena semua berjalan dalam tataran yang benar.
Selanjutnya,
dua kubu harus bersatu dan melupakan kalah-menang untuk bersama-sama
bahu-membahu membangun Indonesia dengan tujuan utama: menciptakan
kesejahteraan rakyat, bukan kesejahteraan keluarga, kerabat, dan teman-teman.
Begitulah buah penantian yang begitu ditunggu seluruh bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar