Demokrasi
Kospolitan
Fathorrahman ;
Dosen Sosiologi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS,
28 Mei 2014
SALAH satu persoalan mendasar
dalam pemilihan umum kali ini adalah masifnya berbagai pandangan negatif dan
kampanye hitam pada calon presiden, terutama terhadap Joko Widodo yang
diusung empat partai, yakni PDI-P, Nasdem, PKB, dan Hanura. Ia secara berkala
dan sangat intens diserang dengan nuansa rasial dan takfiri.
Padahal, di era reformasi, di
mana demokrasi menjadi penanda semangat keterbukaan, pola komunikasi yang
dibangun tidak patut bila merujuk kepada apa yang diistilahkan Karl R Popper
sebagai gaya pejorative, yaitu memosisikan diri sendiri sebagai pihak yang
paling benar dan tepat, ataupun gaya falsifikatif, yaitu memosisikan orang
lain sebagai pihak yang salah dan keliru. Setiap kebenaran yang dikonteskan
dengan kebenaran lainnya, baik dalam lingkup pejorative maupun falsifikatif,
hanya akan berujung pada defisit kebenaran—meminjam istilah Leven Boeve.
Justru yang perlu dibangun
adalah rasa pengakuan diri secara asertif untuk menerima kelemahan yang kita
miliki dan mengakui kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, demikian pula
sebaliknya melalui semangat untuk saling berbagi dan menerima. Dengan
demikian, berbagai upaya untuk mendiskreditkan seorang capres sudah bukan
kelaziman yang perlu dipelihara. Apalagi masyarakat saat ini sudah mulai
cerdas untuk menengarai mana ungkapan yang bernuansa fitnah dan mana yang
jujur menyatakan rekam jejak seorang capres.
Maka, tidak aneh bila tebar
fitnah yang diekspresikan secara verbal ataupun non-verbal tidak pernah
menemukan kedigdayaannya untuk memengaruhi masyarakat. Patut difahami bahwa
kelompok yang suka menjelekkan kelompok lain sebenarnya cenderung berbohong
kepada orang lain ataupun kepada dirinya.
Ciri kosmopolitan
Dalam buku The sociology of cosmopolitanism, Gavin Kendal mengungkapkan
bahwa ada empat dimensi yang menopang terbentuknya peradaban kosmopolit.
Pertama, menumbuhkan cara
berpikir positif dalam menyikapi era globalisasi—termasuk demokrasi—yang
sarat kompetisi. Kedua, menggunakan simbol identitas diri ataupun kelompok
secara proporsional ketika berhadapan dengan keberagaman. Ketiga, bersifat
inklusif dan mau menerima kebudayaan pihak lain. Keempat, memiliki perilaku
terbuka kepada orang lain dan mau berbaur dalam komunitas yang berbeda.
Pandangan Gavin Kendal
menegaskan bahwa keterbukaan adalah kunci dalam peradaban yang kosmopolit.
Untuk itu, ada tiga nilai yang patut diinternalisasi dalam kehidupan
bermasyarakat, bernegara, ataupun beragama.
Pertama, nilai-nilai keikhlasan
atau ketulusan dalam menerima keadaan psikologis ataupun sosiologis. Sikap
tulus ini ditunjukkan melalui kesediaan dan keberanian mengendalikan emosi
ketika di posisi beruntung ataupun buntung. Filosofi Jawa, yen kalah ora
ngamuk, yen menang ora umuk, adalah pelajaran berharga bagi siapa pun yang
terlibat dalam pemilu.
Kedua, nilai-nilai kesabaran
menjadi mekanisme untuk menjalankan roda kepemimpinan dengan tanggung jawab.
Merujuk Sindhunata dalam ”Awas, Politik
Genderuwo” (Kompas, 18/3/2014),
kesabaran harus dilandasi dengan sikap saling menghargai dan bersedia
menangani setiap persoalan dengan cara adil dan arif bijaksana (das politische).
Keutamaan demokrasi dapat
menggerakkan attitude kepemimpinan
yang peduli terhadap kepentingan bangsa tanpa dibatasi sekat-sekat sektoral,
baik agama, etnis, maupun emosional kelompok yang bisa menafikan keberadaan
yang lain (die politik).
Ketiga, nilai-nilai keyakinan
terkait ketegasan dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan umum. Merujuk
pada pandangan Davil Held dalam buku Democracy
and the Global Order, keyakinan harus berhubungan dengan kebaikan
demokratis untuk membuat kebijakan publik yang sinergis dengan kepentingan
rakyat. Dengan demikian, nilai-nilai demokrasi yang diterapkan akan bersifat
terbuka dan accessible bagi siapa
pun dalam merumuskan kaidah ataupun aturan yang menunjang terciptanya
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Semangat toleransi
Dalam buku Islam Kosmopolitan:
Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, Abdurrahman Wahid
menegaskan bahwa toleransi merupakan bagian inheren dari kehidupan manusia.
Toleransi menegaskan adanya
keterbukaan mencairkan sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan
etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan heterogenitas politik.
Dengan demikian, tidak patut
bila atas nama etnis mayoritas men-subordinasi etnis minoritas. Misalnya,
menghendaki capres yang sesuai dengan agama ataupun tradisi tertentu, atau
atas nama politik dominan mencari capres yang disukai oleh partai-partai
berbasis agama.
Demokrasi kosmopolitan
mengajarkan kita untuk tidak terjebak kepada paham keagamaan dan kebangsaan
yang hanya dikemas dalam praktik kesusilaan belaka. Toh, pada kenyataannya,
kita justru banyak berpaling dari nilai-nilai dasar: kepedulian kepada
keutamaan manusia, yaitu menghargai dan menerima manusia lain apa adanya.
Kepedulian di sini berhubungan
dengan kearifan mengelola egoisme sentris baik yang berkaitan dengan
etnisitas, ideologi keagamaan, maupun politik.
Dengan demikian, setiap
kekalahan dan kemenangan tidak dimaknai sebagai ancaman ataupun peluang untuk
balas dendam, tetapi sebagai kesadaran transendental yang menggerakkan hati
si pemenang untuk merangkul yang kalah, dan yang kalah menghormati yang
menang. Dengan cara ini, proses berdemokrasi bisa menghantarkan kita ke
kehidupan bernegara, beragama, berbangsa, dan bermasyarakat yang beradab
kosmopolit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar