Selasa, 06 Mei 2014

Kematian Politik (Adiluhung) Indonesia 2014

Kematian Politik (Adiluhung) Indonesia 2014

Musa Maliki  ;   Dosen FISIP UPN "Veteran" Jakarta
OKEZONENEWS,  05 Mei 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Menjelang Pemilu 2014 untuk memilih wakil rakyat, penulis telah menulis tentang masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia yang mencoblos dan mengurus proses pemilu 2014. Mau sistem kenegaraan seperti apapun dan pemimpin macam apapun, rakyat yang menentukan dan akan kembali ke rakyat.

Sekarang hasil semakin jernih dan tampak bagi kita semua. Hampir semua informasi (sebagian besar berita) membukakan mata kita lebar-lebar bahwa Pemilu 2014 justru lebih buruk daripada Pemilu 2009. Buruknya pemilu kali ini diketahui dengan berbagai macam cara ragam politik uang yang semakin tegas, jelas, dan ‘jujur’. Konsep tegas terlihat dari tidak adanya keraguan bagi rakyat dan para calon legislatif untuk bertransaksi. Konsep jelas terlihat dari rata-rata orang mengakui, menerima kenyataan tersebut. Konsep ‘jujur’ terlihat dari proses transaksi itu penuh keterbukaan, saling menerima, dan tidak ada sesuatu yang disembunyikan dalam transaksi tersebut.

Politisi jujur dalam pemahaman tidak mau membayar rakyat ditinggalkan, bye-bye. Rakyat sebagian besar, kalangan manapun butuh uang. Kalangan menengah ke bawah paling cuma Rp30.000-50.000 per orang. Kalangan menengah ada sendiri harganya, mungkin sekira Rp1 jutaan ke atas. Demikian pula kalangan elit dan orang-orang yang mempunyai otoritas terhadap surat suara, bisa ratusan juta.

Jika dikatakan bodoh, rakyat kita tidak bodoh-bodoh amat, sebab mereka melek politik. Mereka suka pertarungan politik, kontestasi politik, dan drama politik (Baudrillard, 1993: 6). Politik Indonesia bagi rakyat semacam teater hiburan hidup susah mereka. Jika mereka dibayar untuk melihat teater yang membuat mereka senang, bukannya untung double? Artinya mereka pintar secara ekonomis. Wong tidak dibayar juga menikmati politik apalagi dibayar. Bila perlu pemilu itu 1 tahun sekali, biar perekonomian Indonesia berjalan lebih cepat.

Jika dikatakan pintar, rakyat pastinya tidak akan memilih legislatif yang akan menyengsarakan diri mereka selama 5 tahun ke depan. Tentunya, rakyat mikir panjang bahwa para calon parlemen itu mau tidak mau harus balik modal sebanyak mungkin dengan berbagai macam cara, sekalipun mengambil uang pembangunan masjid atau Alquran. Agama dan spiritualitas yang dianggap sakral (suci) pun menjadi komoditas demi hasrat-hasrat kekuasaan dalam diri manusia Indonesia.

Ada yang bilang, negeri ini akan baik jika orang-orang baik angkat bicara, tidak berdiam diri. Dalam Pemilu 2014 terbukti bahwa orang-orang yang dianggap baik, wakil-wakil rakyat yang dianggap baik dan angkat bicara dengan tidak berdiam diri justru tersingkir agar diam dan terbungkam. Kini, orang-orang yang dianggap jahat berkuasa di parlemen. Lalu apa yang kita bisa lakukan? Semakin banyak orang-orang yang dianggap jahat berkuasa di parlemen, maka semakin besar pula orang yang dianggap baik tersingkir dan terbungkam, baik secara eksistensial maupun secara fisik.

Kematian politik adiluhung adalah proses lepasnya konsep dan pemahaman politik dari dirinya. Politik sudah menjadi aktivitas ekonomi, seks, dll (Baudrillard, 1993: 8). Kondisi ini menciptakan konstruksi baik dan jahat hanyalah anggapan saja. Nilai-nilai kebaikan dan kejahatan menjadi satu dalam dunia yang selalu berubah, tumbangtindih, dan bertabrakan. Yang baik belum tentu baik dan yang jahat belum tentu jahat. Misalnya, memberi uang itu bisa jadi baik, karena membantu rakyat yang sangat membutuhkan. Jika rakyat sudah dapat cari uang sendiri dengan mudah dan tahu diri, maka dia akan cari uang sendiri.

Sebaliknya, jika kita cuma ngomong saja, cerita konsep dan teori kemiskinan, pembangunan, program dan rencana tanpa memberi uang bagi rakyat Indonesia hal itu bisa jadi buruk. Idealism politik adalah absurd alias tidak masuk akal, tidak konkrit, dan membutuhkan loyalitas yang luar biasa. Mana ada jaman sekarang di Indonesia memberi janji tanpa ‘uang muka’ sedikit pun atau jaminan apapun? Semua aktivitas politik harus nyata sama halnya transaksi di pasar atau bank (Baudrillard, 1993: 41). Inilah fenomena kematian politik adiluhung.

Contoh lain, bagi rakyat memilih Presiden dan wakil presiden harus tidak terlalu tua, walaupun yang tua berjiwa muda dan idealis. Sebaliknya, yang muda dan lumayan matang pun belum tentu dewasa dan bijak seperti perawakan fisiknya dan mentalitas psikologinya. Singkat kata, rakyat mungkin bisa mikir, tapi tidak maksimal atau males untuk memikirkannya, karena lebih senang menikmati tontonan politiknya. Kehidupan yang dangkal, tidak filosofis, dan berubah-ubah yang terus direproduksi adalah indikasi juga akan kematian politik adiluhung.

Bagi rakyat yang sudah susah, mereka akan repot jika belajar sejarah tentang figur pemimpin masa depan dengan belajar masa lalu. Mereka juga repot jika harus mempelajari secara mendalam track record orang-orang di parlemen. Siapapun penjahatnya atau pahlawannya, dalam drama politik Indonesia yang terpenting adalah citra dan gayanya (Baudrillard, 1993: 6). Kemenangan bisa siapa saja yang terpenting penampilan harus meyakinkan dan menyenangkan penontonnya. Konsep kemenangan tidak ada dalam kesadaran rakyat Indonesia, sebab hidup mereka tidak berubah sejak mereka lahir. Jadi tidak penting siapa pemenangnya.

Pada akhirnya, politik adiluhung hanyalah model simulasi belaka alias angan-angan saja (Baudrillard, 2000: 65). Toh, bagi para pengumbar politik adiluhung pun mereka justru melakukan politik ajimumpung dengan menampilkan bujukan-bujukan impresif dan rayuan aksi-aksi adiluhung di realitas (media cetak & visual).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar