Kampanye
di Media Sosial
Dianing Widya ;
Novelis dan Pegiat Sosial
|
TEMPO.CO,
30 Mei 2014
Keberadaan
media sosial tidak hanya memudahkan orang untuk saling berinteraksi, tapi
juga menjadi media untuk mempengaruhi. Salah satunya seperti yang dilakukan
tim pemenangan para calon presiden yang akan bertarung pada 9 Juli nanti.
Mereka terus menampilkan "iklan-iklan" yang bisa mendongkrak
popularitas atau tingkat keterpilihan calonnya. Apa pun kegiatan positif yang
dilakukan oleh calon presiden, langsung dikabarkan pada detik itu juga
melalui media sosial.
Ironisnya,
mereka (para pendukung) tidak hanya mengabarkan sisi positif calon yang
didukungnya, tapi juga menciptakan fitnah dan desas-desus yang menghantam
calon lain. Akibatnya, kita tidak
banyak tahu apa saja program calon tersebut. Bahkan, tim media sosial mereka
(yang dibayar oleh tim pemenangan calon) ataupun pendukung di luar struktur
tim resmi (tak dibayar), lebih banyak mengobarkan "perang" lewat
media sosial.
Anggota
"tim bayaran" maupun "tim gratisan" ini nyaris lebih
banyak tenggelam dalam perdebatan yang tak produktif. Mereka lupa bahwa
dirinya adalah "wakil" dari calon yang mereka dukung. Dalam relasi
ini, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh tim sukses (termasuk tim media
sosial) merepresentasikan apa yang dipikirkan sang calon. Ia merupakan
perpanjangan tangan sang calon.
Boleh saja
sang calon menyatakan tidak tahu-menahu soal aktivitas tim media sosial atau
relawannya. Namun publik tidak perlu tahu apakah yang dilakukan itu
improvisasi mereka sendiri atau atas "petunjuk" sang calon. Dengan
kata lain, publik tidak mau tahu terhadap proses karena yang mereka tahu
adalah hasil atau apa yang terlihat dan berada di permukaan.
Walhasil,
apa yang muncul di hadapan publik, termasuk di media sosial, akan dilihat
masyarakat sebagai hal yang sesungguhnya terjadi. Tidak mudah memilah apakah
sang calon "tahu" atau "tidak tahu" ihwal aktivitas
pendukungnya. Sejauh tidak ada sanggahan dari sang calon, apa yang dilakukan
oleh tim suksesnya bisa dilihat sebagai sesuatu yang telah disetujui oleh
calon tersebut.
Maka,
ketika ada tim media sosial dan relawan salah satu calon yang menyerang
relawan calon lain, bisa ditafsirkan itu dilakukan atas kehendak-atau
setidak-tidaknya persetujuan-calon tersebut. Hubungan "yang
diwakilkan" dengan "yang mewakilkan" memang merupakan sebuah ikatan
yang dibingkai oleh satu visi dan tujuan. Mereka bergerak berdasarkan
komando, bukan sekehendak hatinya.
Dalam
konteks inilah, terbuka kemungkinan bagi calon yang merasa diserang
untuk melapor ke polisi, terutama jika
menghadapi fitnah-fitnah yang serius. Memang, melakukan hal itu amat
melelahkan dan menguras energi. Namun tidak ada salahnya jika satu-dua kasus
dilaporkan sebagai bagian dari pembelajaran bagaimana berdemokrasi yang
sehat.
Sebab,
jika masih dalam tahap pencalonan saja sudah membiarkan pendukungnya melakukan
aktivitas yang melawan hukum dan menodai demokrasi, apa jadinya jika sang
calon itu terpilih nanti? Apa yang bisa diharapkan dari pemimpin yang
menertibkan pendukungnya saja tidak bisa? Bagaimana kelak jika ia terpilih?
Jadi,
kampanye hitam, termasuk lewat media sosial, tak bisa dipandang sebelah mata.
Itu menjadi cermin yang memantulkan seperti apa nanti wajah Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar