Jamu
Heri Priyatmoko ;
Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM
|
TEMPO.CO,
30 Mei 2014
Belum
lama ini kita kembali disuguhi gambaran laku hidup sederhana-sehat calon
presiden Joko Widodo: minum jamu tradisional. Selepas menjalani pemeriksaan
kesehatan selama kurang lebih 10 jam di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat
pada 22 Mei lalu, Jokowi meneguk segelas beras kencur. Siapa menduga secuil
local genius ini bakal tersembul dalam peristiwa politik pemilihan presiden
dan proses pengecekan kesehatan ala Barat itu.
Jamu
merupakan warisan kebudayaan nenek moyang yang berharga, sebagaimana batik,
keris, dan gamelan. Ia sangat lekat dengan kesederhanaan, pribumi,
tradisional, dan mengusung semangat lebih baik dalam mencegah penyakit
ketimbang mengobati. Ditengok berdasarkan sudut pandang sejarah, kaum ningrat
(keluarga raja), priyayi (pejabat), dan wong cilik tidak bisa mengklaim bahwa
minuman berkhasiat dan menyehatkan itu milik kelompok mereka.
Sampai
detik ini, kita kerap menyamakan terminologi jamu dengan obat. Sejatinya,
jamu dan obat punya pengertian yang berbeda. Sebagaimana yang diterangkan
bapak sosiologi, Selo Soermardjan (1996), bahwa obat merupakan segala bahan
yang diproses dengan teknologi yang berlandaskan ilmu pengetahuan, ukuran
yang akurat, dan hasilnya digunakan untuk memperkuat badan manusia, mencegah
penyakit, atau menyembuhkan manusia yang terkena penyakit. Adapun konsep jamu
adalah bahan alam yang diolah atau diracik menurut cara tradisional guna
memperkuat badan manusia, mencegah penyakit, atau menyembuhkan manusia yang
terkena penyakit.
Bagi
orang-orang sepuh atau mereka yang tinggal di area pedesaan Jawa, kuping
mereka pasti tidak asing dengan nama-nama jamu, seperti cabai puyang, kunir
asam, sinom, kudu laos, kunci suruh, pahitan, uyup-uyup, dan lainnya.
Pengetahuan tentang aneka ramuan plus khasiatnya terekam lewat naskah klasik
ataupun tradisi lisan yang ditutur-ulangkan kepada generasi berikutnya. Jamu
menjadi bukti konkret betapa tingginya tingkat kebudayaan Nusantara pada masa
silam. Leluhur kita punya pemikiran cerdas dalam masalah kesehatan dengan
memanfaatkan bahan-bahan dari alam raya.
Lewat
jamu, mereka menjalin hubungan yang harmonis dengan alam. Jamu senantiasa
memakai bahan empon-empon yang terdiri atas kencur, jahe, bangle, laos,
kunir, daun katuk, temulawak, puyang, dan temugiring. Tetumbuhan tersebut
aman, murah, serta melimpah. Semua tertanam di ladang dan pekarangan rumah,
atau yang kita sebut sebagai apotek hidup, suatu kearifan lokal yang mulai
punah belakangan ini.
Kemudian,
jamu juga tak ubahnya sebadai "juru selamat" bagi penduduk yang
jauh dari dokter dan berekonomi lemah. Tan Khoen Swie, seorang Tionghoa yang
menggeluti jagad penerbitan di Kediri, pada permulaan abad ke-20 pernah
berpesan agar masyarakat menggunakan
ramuan Jawa, termasuk jamu, dan tidak melanggar mitos yang tidak masuk akal.
Pasalnya, mitos tersebut bila ditelaah sebenarnya menumbuhkan pengetahuan
nyata tentang ilmu kedokteran.
Jamu
tradisional hidup berabad-abad lamanya. Mestinya kita getol mengkampanyekan
jamu sebagai identitas nasional dan kebanggaan warga Indonesia. Jamu asli
Indonesia adalah minuman rakyat yang murah dan menyehatkan. Ironis jika
kebiasaan menenggak jamu seperti yang dilakukan Jokowi malah ditertawakan,
atau dianggap perilaku primitif dan aneh lantaran pikiran kita kadung
teracuni oleh pemikiran Barat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar