Jokowi
di Naskah Ujian Nasional
Amich
Alhumami ; Antropolog-Penekun Kajian Pendidikan,
Bekerja di Direktorat Pendidikan Bappenas
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Mei 2014
UJIAN nasional (UN) selalu
dirundung kontroversi yang tak berkesudahan. Seperti tahun-tahun sebelumnya,
UN tahun ini pun diwarnai kegaduhan karena muncul nama Joko Widodo (Jokowi)
dalam naskah ujian mata pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Orang
menuduh, ada motif politik di balik pemuatan nama Jokowi dalam naskah ujian.
Karena peserta UN ialah pelajar-pelajar berusia 18-19 tahun yang sudah punya
hak pilih, pencantuman nama Jokowi dianggap kampanye terselubung untuk
kepentingan pemenangan dalam kontestasi pemilihan presiden.
Setelah melakukan penelitian dan
cek silang proses pembuatan soal-soal UN, para pejabat Kemendikbud memastikan
tidak ada motif politik di balik peristiwa ini. Soal-soal UN dibuat jauh
sebelum penetapan Jokowi sebagai calon presiden dan sama sekali tak ada
keterlibatan orang PDIP dan tim sukses Jokowi. Penting dicatat, selain
Jokowi, ada nama-nama lain seperti Taufiq Ismail, Chairul Tanjung, dan Mandra
yang menjadi ilustrasi dalam naskah ujian.
Artikel ini tidak mengulas
dimensi politis dari pencantuman nama Jokowi, tetapi mendiskusikan substansi
dan bobot soal UN. Setelah membaca naskah ujian, sulit untuk tidak mengatakan
betapa bobot soal UN sangat rendah untuk diujikan pada siswa tingkat
SMA/MA-IPS. Teks yang disusun mengenai biografi seorang tokoh (Jokowi)
ditulis dengan bahasa yang ringan dan memuat ide/konsep yang sangat
sederhana, jauh dari gagasan yang rumit. Sedemikian sederhananya, soal ujian
lebih tepat untuk mengukur kecakapan bahasa Indonesia siswa kelas VI SD.
Selain itu, yang jauh lebih mendasar ialah yang diujikan mata pelajaran
bahasa Indonesia, tetapi struktur kalimat dalam teks tidak memenuhi kaidah
berbahasa yang baik. Tata bahasa dalam kalimat naskah ujian mengandung
kesalahan ganda, konsep dan gramatika.
Salah konsep
Perhatikan paragraf kedua dalam
teks naskah ujian untuk soal nomor 13 dan 14:
`Sebagai tokoh seni dan budaya,
beliau (Jokowi) dinilai paling bersih dari korupsi. Namun demikian, usahanya
di bidang upah minimum provinsi (UMP) mengalami kendala oleh tindakan buruh
yang memanggil kembali perwakilannya saat sidang berlangsung. Buah dari
pertemuan tersebut, dewan pengupahan menetapkan UMP sebesar Rp2,2 juta'.
Dari segi konsep, ada dua
kekeliruan dalam paragraf tersebut. Pertama, sejauh ini masyarakat tidak
pernah mendapat informasi bahwa Jokowi ialah tokoh seni dan budaya. Rasanya
belum ada keterangan yang menjelaskan ia bergiat di bidang seni dan budaya.
Karena itu, mengatakan Jokowi `Sebagai
tokoh seni dan budaya ...' tidak punya rujukan empiris sehingga dapat
dikatakan tidak faktual.
Bandingkan bila kita menyebut
Bung Karno sebagai tokoh seni. Penyebutan itu jelas faktual karena beliau,
selain seorang presiden, ialah kolektor lukisan bercita rasa seni tinggi
hasil karya maestro seni lukis domestik dan dunia. Bahkan, Bung Karno sendiri
juga pandai melukis. Juga, tidak sulit untuk menyepakati sang proklamator
ialah seorang pemikir kebudayaan, yang buah pikirannya dituangkan dalam
buku-buku yang tersebar luas di masyarakat, bahkan diterbitkan pula di manca negara.
Atau, Gus Dur disebut sebagai budayawan dan tokoh yang
bergerak di bidang seni dan budaya. Tidak sulit untuk menyepakati klaim
tersebut karena Gus Dur, selain seorang presiden, memang dikenal luas sebagai
pemikir kebudayaan, pegiat kesenian, kritikus film yang pernah menjadi
anggota Dewan Kesenian Jakarta dan Badan Sensor Film. Gus Dur kerap menulis
esai yang menjadi bagian dari kritik kebudayaan dan analisis perfilman: Barat
(Amerika, Eropa) dan Timur Tengah terutama Iran dan Mesir, dengan penguasaan
detail film yang mengagumkan.
Kedua, klausa pertama `Sebagai tokoh seni dan budaya' tidak
bertautan dengan klausa kedua `beliau dinilai paling bersih dari korupsi'.
Di sini, jelas ada konsep yang keliru karena hal ihwal kesenian dan
kebudayaan tidak berkorelasi dengan praktik korupsi. Berbeda halnya bila
klausa pertama berbunyi `Sebagai
pejabat publik dan politikus ...', tentu logis dan punya basis penalaran
yang dapat diterima. Praktik korupsi selalu berasosiasi dengan hal ihwal
perpolitikan dan melibatkan tokoh-tokoh yang memangku jabatan publik:
menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan anggota DPR/DPRD.
Suatu konsep yang dituangkan di
dalam rumusan kalimat tentu harus logis dan berpijak pada kaidah penalaran
yang benar. Karena itu, suatu rumusan kalimat yang terdiri atas dua klausa
harus terhubung dan mengandung makna/ pengertian yang setara. Dengan
demikian, dua klausa dalam rumusan kalimat yang benar ialah `Sebagai pejabat publik dan politikus,
beliau [Jokowi] dinilai paling bersih dari korupsi'. Atau bisa juga: `Sebagai peminat seni dan budaya, beliau
[Jokowi] aktif mempromosikan kesenian tradisional dan budaya Nusantara,
seperti yang dilakukannya pada acara pergantian Tahun Baru'.
Salah gramatika
Selain kekeliruan konsep, ada
kesalahan gramatika yang bukan saja sangat mengganggu, melainkan juga
menunjukkan penyusun naskah ujian bahasa Indonesia tidak taat asas dalam
berbahasa. Perha tikan kalimat ini: `Namun
demikian, usahanya di bidang upah minimum provinsi (UMP) mengalami kendala
...'. Susunan kalimat itu tak lengkap dan tak jelas kata kerjanya. Rumusan
kalimat yang lebih tepat ialah `Namun demikian,
usahanya memperbaiki/menaikkan--atau, usahanya berunding tentang
kenaikan-upah minimum provinsi mengalami kendala ...'.
Hal yang sama juga terjadi pada
mata pelajaran bahasa Inggris untuk soal nomor 16 dan 17. Pembuat soal
menyusun teks dalam bahasa Inggris yang sederhana dan kasus yang diangkat pun
tingkat kerumitannya relatif rendah. Kelemahan pokok terletak pada cara
menuangkan gagasan ke dalam teks bahasa Inggris, yang tidak menggunakan English structure yang baku, tetapi
lebih berupa kalimat Indonesia yang diubah menjadi kalimat Inggris. Contoh: `This policy is also to increase the growth
in economy ...', yang dapat diubah menjadi `This policy is also to increase economic growth of the country ...'.
Selain itu, juga ada kesalahan penggunaan kata seperti dalam kalimat `Jokowi also plans to restrict the used private
vehicles'. Kata used yang
berarti bekas merupakan ajektiva kedua bagi private vehicles, padahal yang dimaksud ialah `the use of private vehicles'. Susunan
kalimat pun masih bersifat Indonesian
structure, bukan English structure.
Mungkin kalimat bisa diubah menjadi `Jokowi
also plans to restrict [driving] private cars'.
Ilusi kolektif
Itu jelas kesalahan mendasar
yang sulit diterima karena terkait dengan UN, yang dalam retorika publik di
kalangan pejabat selalu dikatakan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sungguh
menyedihkan, UN mata pelajaran bahasa, tetapi sang pembuat soal tak memahami
dengan baik struktur kalimat yang benar dalam berbahasa. Keyakinan UN dapat
mendorong perbaikan mutu pendidikan terpatahkan oleh fakta betapa bobot
soal-soal UN ternyata rendah, dengan kesalahan sangat elementer yang
semestinya tidak boleh terjadi. Apa yang terjadi pada UN tahun ini memberi
petunjuk banyak hal, terutama terkait dengan kompetensi guru yang selama ini
menjadi pusat perhatian masyarakat. Peristiwa itu jelas mengonfirmasikan
betapa kualitas guru bahasa--Indonesia dan Inggris--kurang baik.
Dalam perspektif
demikian, kita perlu mengubah cara pandang terkait dengan upaya meningkatkan
mutu pendidikan, yang tidak lagi menempatkan UN sebagai instrumen utama
pengukuran kualitas hasil belajar siswa. Namun, yang jauh lebih penting ialah
membuat program peningkatan kualitas guru secara berkelanjutan.
Sulit
membayangkan hasil pembelajaran siswa mengalami perbaikan dan peningkatan
apabila sekolah-sekolah tidak punya guru-guru profesional yang kompeten,
dengan penguasaan subject knowledge
dan pedagogical knowledge
sekaligus. Untuk itu, kita harus meningkatkan kompetensi para guru--terutama
mata pelajaran pokok-melalui pelatihan berkala, dipandu guru-guru inti yang
mumpuni, agar bangsa ini tidak terjebak ilusi kolektif: UN dapat meningkatkan mutu pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar