Badai
dalam Secangkir Kopi Koalisi
Burhanuddin
Muhtadi ; Dosen FISIP UIN Jakarta,
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Mei 2014
TERLEPAS dari keberhasilan penyelenggaraan
Pemilu Legislatif (pileg) 9 April 2014 yang relatif aman dan terkendali,
pemilu kali ini sangat dinodai praktik politik uang yang begitu masif dan
kekarut-marutan rekapitulasi hasil suara. Kekacauan rekapitulasi hasil pileg
disebabkan rendahnya kualitas dan moralitas penyelenggara pemilu di daerah
serta kurangnya supervisi dan pengawasan penyelenggara pemilu di tingkat
pusat.
Akibatnya, kesalahan
rekapitulasi di banyak daerah menimbulkan ketidakpastian hasil pemilu dan
memantik ketidakpercayaan terhadap proses penghitungan suara. Sistem
proporsional yang mengandaikan rekapitulasi secara berjenjang menimbulkan
peluang manipulasi dan pencurian suara. Praktik kotor penggelembungan dan
jual beli suara yang melibatkan calon legislatif (caleg) dan penyelenggara
pemilu menjadi pemandangan lazim dalam proses rekapitulasi hasil pemilu kali
ini.
Kekacauan itu bukan sekadar
mengurangi legitimasi hasil pemilu legislatif, melainkan juga mengganggu
tahapantahapan pemilu berikutnya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah
menjadwalkan pengumuman hasil penghitungan suara secara nasional pada 9 Mei
2014. Jika kekarut-marutan rekapitulasi hasil pileg itu tak segera diatasi,
bukan tak mungkin agenda pelaksanaan pemilu presiden pada Juli mendatang juga
terkena dampaknya.
Teater koalisi
Salah satu pihak yang paling
dirugikan ialah elite-elite partai yang menentukan basis pilihan koalisi
dalam mengusung calon presiden (capres) berdasarkan perolehan suara dan kursi
di semua dapil. Selama ini penjajakan koalisi baru dilakukan berdasarkan
prediksi hasil penghitungan cepat yang dilakukan beberapa lembaga survei.
Selain hasil quick count itu
bersifat prediksi dan tidak resmi, partai politik (parpol) juga sebenarnya
masih menunggu kepastian perolehan kursi masing-masing yang dijadikan modal
`tawar-menawar' koalisi.
Dalam sistem presidensial
multipartai, proses koalisi sering kali dibangun di atas fondasi pragmatisme.
Bagi-bagi kekuasaan (power sharing)
menjadi bahasa komunikasi politik yang mempertemukan antarelite partai.
Perolehan suara secara popular vote dianggap tak mencukupi karena fragmentasi
politik hasil Pileg 2014 membuat selisih suara antarpartai tak lagi
signifikan.
Di sinilah electoral vote, terutama kepastian kursi yang diperoleh tiap
partai, menjadi alat menentukan tawar-menawar politik.
Itulah yang menyebabkan mengapa
drama penjajakan koalisi begitu lama terjalin. Publik disodori manuver zigzag elite-elite partai. Meminjam
istilah Pramoedya Ananta Toer, drama koalisi yang kita saksikan belakangan
ini tak lebih seperti `badai dalam secangkir kopi'. Publik dipaksa menonton
suguhan tak bermutu dari kalangan elite. Elite satu partai bisa berbeda-beda
aspirasi dalam berkoalisi. Suara rakyat diperdagangkan para elite melalui
negosiasi dan transaksi di belakang layar. Teater politik murahan
dipertontonkan para elite tanpa rasa malu. Reputasi politik yang adiluhung
menjadi kehilangan kredibilitasnya di tangan elite politik yang
runtang-runtung mencari mitra koalisi tanpa gagasan dan ide.
Mencari kesamaan visi dan platform dalam berkoalisi menjadi template komunikasi politik yang
diputar berulang-ulang oleh elite politik.
Sebuah penghinaan atas
kecerdasan publik. Seolah publik tak bisa menangkap frasa `kesamaan visi' itu
sekadar kamuflase untuk menutupi libido kekuasaan yang meletup-letup. Potret
politik yang buruk, yang dalam istilah populer di Indonesia, diringkus dalam
kata `dagang sapi'. Inilah pengejawantahan definisi purba tentang politik:
siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana caranya.
Dalam politik dagang sapi,
negosiasi, tawar-menawar, dan kompromi menjadi bahasa pengantarnya.
Tukar-menukar insentif material menjadi mata uangnya. Ibarat pernikahan,
koalisi menuju pilpres ditandai seberapa cocok mahar politik yang diajukan.
Semakin murah mahar yang diminta, semakin cepat `ijab kabul' koalisi itu
terjadi.
Selain aspek ekonomi-politik,
proses koalisi juga ditentukan ada-tidaknya kimiawi politik antarelite
partai. Itulah yang menjelaskan mengapa NasDem cepat menjatuhkan pilihan
mendukung Jokowi tanpa syarat karena hubungan harmonis yang sudah lama
terjalin antara Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri. Dukungan itu
menyelamatkan muka NasDem dari iklim transaksional yang sudah sedemikian
menjangkiti politik kita.
Dalam politik nirideologi dan
nirgagasan, platform koalisi juga
lebih didorong bandwagon effect.
Politikus pada dasarnya ialah makhluk yang rasional dan realistis. Mereka
ingin ikut rombongan kereta pemenang sehingga kalkulasi menang-kalah menjadi
faktor menentukan. Capres yang memiliki elektabilitas tinggi menjadi pusat
gravitasi elite dalam menghitung skema koalisi.
Konstelasi capres
Mengingat popularitas calon
presiden di tingkat pemilih penting, dukungan terhadap capres yang punya
magnet elektoral kuat menentukan gerak arah koalisi. Itu pula yang
menjelaskan mengapa dari sekian banyak bakal calon presiden, hanya Jokowi dan
Prabowo Subianto yang menjadi primadona.
Aburizal Bakrie dan Wiranto yang
sudah lama mendeklarasikan diri sebagai capres seperti kehilangan pesona
semata-mata karena dinilai kurang kompetitif menurut jajak pendapat hari ini.
Itu pula yang menyebabkan dukungan solid dari internal Golkar dan Hanura,
baik kepada Aburizal maupun Wiranto, tak kunjung tiba. Keduanya malah
disibukkan friksi internal akibat manuver dari faksi-faksi lain yang mencoba
melirik mata ke arah capres dari partai lain.
Itu juga yang menjelaskan
mengapa konvensi capres yang digelar Partai Demokrat seperti kehilangan daya
tarik karena kesebelas peserta konvensi tak punya nilai elektoral memadai.
Andai ada salah satu dari peserta konvensi yang memiliki elektabilitas
tinggi, tak sulit bagi Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk poros baru
melawan Jokowi dan Prabowo. Partai-partai akan mengantre untuk melamar
menjadi mitra koalisi Demokrat.
Modal popularitas capres dari
tokohtokoh Islam yang medioker juga menjadi faktor utama mengapa poros Islam
tak juga terbentuk. Elite partai Islam cenderung menyerah kepada takdir,
sembari berharap dilamar sebagai calon wakil presiden oleh capres yang punya
elektabilitas tinggi.
Publik seolah tak punya
alternatif selain Jokowi dan Prabowo. Terlebih lagi Jokowi selalu memuncaki
klasemen survei hingga hari ini, tetapi tren elektabilitas Prabowo cenderung
naik sehingga memangkas selisih antara dirinya dan Jokowi. Menurut survei
Indikator Politik Indonesia pada 20-26 April 2014 dengan responden sebanyak
1.210, selisih antara Jokowi dan Prabowo dalam berbagai simulasi (top of mind, semi terbuka, tiga nama,
hingga head-to head) berada di
kisaran 10%-15%.
Sementara itu, hasil sigi Saiful Mujani Research and Consulting
(SMRC) pada 20¬24 April 2014 dengan sampel 2.040 responden menunjukkan gap
antara Jokowi dan Prabowo sekitar 13%-16%. Bakal capres yang lain tercecer di
belakang dengan selisih yang terlalu jauh untuk bisa mengejar elektabilitas
Jokowi dan Prabowo hingga pilpres mendatang.
Keberhasilan Jokowi dan Prabowo
dalam memenangi pilpres nanti sangat ditentukan kemampuan keduanya dalam
memaksimalkan dukungan dari akar rumput partai masing-masing serta kemampuan
mencuri dukungan dari pemilih partai partai yang tidak atau belum mendukung
mereka. Fenomena split-voting ticket,
dengan pilihan konstituen tidak selalu paralel dengan garis keputusan elite
partai dalam mendukung capres, akan menjadi penentu.
Selain itu, besarnya pemilih
mengambang menjadi faktor determinan dalam menentukan siapa presiden kita
lima tahun ke depan. Tak terkecuali faktor wakil presiden yang dipilih juga
punya kontribusi dalam mengerek elektabili tas capres. Calon wakil presiden
bukan hanya pelengkap penderita, tapi juga penentu nasib kemenangan semua
capres.
Masing-masing harus mencari pendamping
yang tepat untuk menutupi kelemahan elektoral, baik ditinjau dari segi
demografi, wilayah, maupun citra di mata pemilih. Jokowi, misalnya, ma sih
bisa memperlebar jarak dengan Prabowo jika memilih pasangan yang tepat
sebagai cawapres.
Secara kalkulatif, dalam dua
bulan ke depan, para capres yang bakal maju tak memiliki kemewahan waktu
untuk bisa menyapa pemilih secara langsung.
Kontestasi antarcapres akan
lebih di tentukan perang citra yang digalang baik melalui media sosial mau
pun konvensional. Pada titik itulah, harapan publik agar para capres dan tim
sukses mereka tidak sekadar mengeksploitasi pencitraan, opini, dan persepsi
harus terus-menerus disuarakan agar politik transformatif bisa diwujudkan dan
politik tidak kehilangan substansinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar