Tanggap
Media di Balik Korupsi Pajak
Husnun N Djuraid ; Jurnalis, Dosen UMM
|
JAWA
POS, 25 April 2014
JAJARAN
direksi Bank BCA langsung menggelar konferensi pers setelah KPK menetapkan
mantan ketua BPK dan mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo sebagai tersangka
dalam kasus pajak yang melibatkan bank papan atas tersebut. Meski sangat
normatif, setidaknya penjelasan itu bisa menjadi penyeimbang berita
sebelumnya karena banyak pihak yang menganggap keterlibatan bank tersebut
dalam kasus pajak. Dirut BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan bahwa pihaknya
sudah menjalankan prosedur yang benar dalam urusan pajak tersebut.
Sebelumnya,
Ketua KPK Abraham Samad mengadakan jumpa pers setelah menetapkan Hadi
Poernomo sebagai tersangka dalam kasus pajak. Ketika media disibukkan oleh
ingar-bingar berita pileg, mulai kampanye, coblosan, sampai penghitungan
suara, berita tentang aktivitas KPK nyaris tenggelam, tidak ada penangkapan,
tidak ada pengungkapan kasus besar.
Pengalaman Krismon
Sebagai
perusahaan publik, BCA tidak boleh diam terhadap kasus-kasus yang berpotensi
mengganggu kredibilitas perusahaan tersebut. Kasus pajak yang melibatkan Hadi
itu sempat membuat harga saham BCA di lantai bursa mengalami koreksi, meski
tidak terlalu besar. Tetapi, sekecil apa pun, gangguan tersebut berpotensi
menjadi masalah yang besar dan merugikan. Begitu kasus itu mencuat, sehari
setelahnya direksi BCA menggelar jumpa pers, sesuatu yang sangat jarang
dilakukan pimpinan perusahaan tersebut. Mereka sangat tanggap terhadap segala
kemungkinan yang muncul dari kasus itu.
Belajar
dari pengalaman sebelumnya saat krisis moneter sekitar 1998, ketika bank
tersebut nyaris ambruk kalau tidak diselamatkan pemerintah. Reformasi yang
bergulir kala itu, yang disertai krisis ekonomi yang parah, membuat pers
sangat bebas. Kehidupan pers mengalami perubahan drastis dari pers yang
terkekang menjadi pers yang bebas.
Di
antara hiruk pikuk kebebasan pers waktu itu, muncul sebuah berita bahwa Bank
BCA dimiliki keluarga Cendana -sebutan untuk keluarga mantan Presiden
Soeharto. Kala itu segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Cendana
bisa memunculkan sentimen masyarakat. Reformasi telah mengubah Soeharto dari
pahlawan pembangunan menjadi musuh masyarakat. Harta kekayaan milik keluarga
mantan presiden tersebut tidak luput dari penjarahan. Ketika ada bank yang
dikaitkan dengan keluarga Cendana, bank tersebut tidak bisa menghindar,
masyarakat pun termakan isu.
Merasa
khawatir, para nasabah bank tersebut beramai-ramai menarik uang, baik secara
langsung maupun melalui ATM. Kita bisa menyaksikan waktu itu, antrean nasabah
mengular di ATM untuk menarik uang mereka. Isu yang tidak jelas tersebut
terus berkembang dan masyarakat semakin tidak terkendali untuk mengambil
uangnya.
Bank itu
terkena rush, penarikan uang besar-besaran. Sehebat apa pun bank, kalau
seluruh dana nasabah ditarik, akan ambruk juga. Ironisnya, tidak ada
penjelasan dari direksi bank, setidaknya untuk membantah atau memberikan
penjelasan, bahwa berita tersebut tidak benar untuk meredam kepanikan
masyarakat. Bank itu pun kolaps dan keluarga Sudono Salim sebagai pemilik
kehilangan bisnis utamanya. Tragis.
Meski
suasananya berbeda, kasus penetapan Hari Poernomo sebagai tersangka korupsi
pajak berpotensi mengganggu kinerja bank tersebut. Bagi perusahaan go public, masalah kriminal seperti
itu sangat rawan.
Di sisi
lain, KPK punya kewajiban untuk menyampaikan hasil kerjanya kepada masyarakat
melalui media. Ekspose KPK harus mendapat liputan yang besar agar masyarakat
luas bisa menyaksikan. Meski lembaga itu sangat ketat, KPK lebih mudah
memberikan informasi kepada wartawan, apalagi ada juru bicara yang selalu
siaga menjawab pertanyaan wartawan. Informasi kepada media pun diatur
sedemikian rupa agar menarik. Misalnya, istilah Jumat keramat ketika menahan
tersangka korupsi setelah diperiksa pada hari Jumat.
Penjelasan
pimpinan KPK soal penetapan Hari sebagai tersangka pun tak lepas dari merebut
perhatian, meski media sadar bahwa apa pun yang dilakukan KPK memiliki news
value. Kebetulan, saat ini media tengah mengalami kejenuhan terhadap berita
politik seputar pemilu yang cenderung membosankan. Pemungutan suara sudah
berlangsung dengan segala macam kasusnya. Penghitungan cepat sudah
menunjukkan siapa pemenang pemilu. Tinggal menunggu pembagian kursi dan
rencana koalisi. Pemilihan presiden pun masih lama, meski sudah muncul
rencana koalisi dari berbagai partai.
Memang
ada riak politik di partai seperti pecat-memecat pengurus. Tetapi, itu tetap
tidak menarik karena terkesan kuno dan berbau Orde Baru. Dalam kondisi
seperti itu, KPK tampil dengan berita yang sangat menarik, kasus korupsi
pajak yang dilakukan pejabat tinggi negara yang melibatkan bank besar. Media
pun mendapat bahan berita yang lebih seksi karena korupsi -apalagi yang
melibatkan pejabat tinggi-selalu menarik minat khalayak.
Media
dan KPK memiliki hubungan yang unik dan saling membutuhkan dalam prinsip
kebenaran, meski tidak bisa dimungkiri keduanya memiliki kelemahan.
Masyarakat masih membutuhkan KPK yang didukung media untuk memberantas
korupsi di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar