PAUD
dan Karakter
(
Membaca Kasus JIS )
Saratri Wilonoyudho ; Pernah menjadi Konsultan Pendidikan di REDIP 2 dengan sponsor
Japan International Cooperation Agency; Anggota Dewan Riset Daerah Jateng
|
JAWA
POS, 25 April 2014
SADAR
atau tidak, pendidikan di tingkat usia dini dan tingkat dasar masih
disepelekan banyak orang, bahkan oleh pemerintah. Buktinya, rekrutmen para
guru di tingkat tersebut relatif sangat mudah dan gaji mereka relatif lebih
rendah jika dibandingkan dengan gaji pengajar di perguruan tinggi.
Demikian
pula, pengawasan dan pendidikan di tingkat PAUD dan SD tidak begitu ketat,
seakan itu "sekolah rendahan". Kemendikbud baru kebakaran jenggot
memeriksa Jakarta International School
(JIS) setelah ada kasus. Padahal, sejatinya, di tingkat PAUD dan SD, anak
sedang mengalami masa keemasan, tumbuh kembang, baik intelektual, emosional,
maupun karakter.
Jika
salah didik di tingkat itu, ibarat membangun fondasi, bangunan di atasnya
nanti mudah roboh. Karena itu, semestinya pendidikan di tingkat PAUD dan SD
dibenahi, mulai rekrutmen guru, proses belajar, dan berbagai kurikulum yang
membangun fondasi karakter positif (karena ada karakter negatif) bagi si
anak.
Selama
ini banyak orang tua yang pasrah "bongkokan" kepada sekolah.
Apalagi bagi orang tua yang memiliki "karir" duniawi yang hebat.
Dalam salah satu tulisannya di Majalah Basis No 07-08/2006, Sindhunata
mengutip hasil penelitian Arlie Hochschild (2002) dalam bukunya Keine Zeit (Tidak Ada Waktu). Hochschild adalah seorang psikolog perempuan
asal Amerika yang melakukan penelitian pada 1990-1993 dengan cara bertukar
peran secara permanen antara pekerja/karyawan untuk menjadi ibu/bapak dalam
keluarga.
Dalam
penelitian itu, Hochschild ingin mengetahui apakah orang tersebut benar-benar
berhasil membuat harmoni antara mencari uang dan hidup dengan anak-anaknya.
Hasilnya, para bapak/ibu tersebut mengeluh karena merasa tidak punya cukup
waktu buat melayani dan mendidik anak-anaknya. Seakan hidup di alam modern
menuntut waktu yang sangat banyak untuk berkarir sehingga ketika mereka
melayani anak-anaknya ada sesuatu yang mengganjal. Melayani anak-anak seakan
"merepotkan"! Yang terjadi kemudian, tugas mendidik anak diserahkan
sepenuhnya kepada sekolah.
Singkat
kata, pendidikan usia dini dan tingkat dasar dituntut menjadi dasar
pembentukan watak anak bangsa. Hanya, masalahnya, sejak tiga dekade terakhir
ini sekolah seakan menjadi ajang uji coba atau setidaknya ada praktik-praktik
kependidikan yang melioristik, yakni sesewaktu, darurat, mencoba-coba, dan
tambal sulam. Akibat lebih jauh, tenaga pendidik, dalam hal ini guru, sering
tidak bisa mengaitkan tugas mereka sebagai pendidik dengan berbagai implikasi
perubahan sosial, ekonomi, serta politik yang semakin cepat.
Sebutan
"guru" dalam hal ini juga termasuk dosen, baik yang berstatus
negeri maupun swasta. Guru adalah tokoh kunci dalam kemajuan pendidikan.
Sebab, jika pintu kelas sudah tertutup, guru dapat "melakukan apa
saja" tanpa diketahui siapa pun, kecuali yang berada di dalam kelas.
Kalau guru tidak profesional, apa jadinya pembelajaran di kelas tersebut?
Di
tingkat PAUD dan dasar, guru yang mengajar harus profesional. Misalnya, (1)
memiliki kemampuan interpersonal serta menunjukkan empati, hubungan baik,
serta penghargaan kepada siswa yang masih kanak-kanak dan sedang tumbuh. (2)
Mampu menerima, mengakui, dan memperhatikan siswa secara tulus.(3) Memiliki
minat yang tinggi dalam mengajar. (4) Mampu menciptakan suasana kerja sama
dan kohesivitas dalam kelompok siswa. (5) Mampu melibatkan siswa dalam
mengorganisasi dan merencanakan kegiatan pembelajaran. (6) Mampu
mendengarkan siswa dan menghargai siswa untuk berbicara dalam diskusi di
kelas. (7) Mampu meminimalkan friksi-friksi di dalam kelas jika ada.
Sialnya,
kebanyakan profesionalisme para guru PAUD dan SD tidak tercapai. Banyak guru
di tingkat tersebut yang lulus instan 2-3 tahun (kuliah Sabtu-Minggu, jarak
jauh). Pertanyaannya, apakah benar rendahnya mutu guru dan mutu pendidikan
saat ini bersumber dari ketiadaan profesionalisme itu? Pemerintah semestinya
memetakan masalah tersebut secara detail, terperinci, dan didasari pengamatan
empiris.
Berbeda
dengan perwira militer dan Polri yang dihasilkan dari satu sumber yang jelas
diawasi, dibiayai secara aduhai, dan pola rekrutmen yang hampir standar
(Akmil, AAU, AAL, dan Akpol), institusi penghasil guru sangat beragam.
Bahkan, konon di Jawa Timur, hampir setiap kabupaten memiliki lembaga
penghasil guru, baik yang melalui tatap muka, jarak jauh, atau yang hanya
nebeng di gedung SD yang hampir roboh.
Padahal,
dengan sertifikasi, semestinya terjadi proses sebagai berikut (1) terjadi
mata rantai kegiatan kependidikan dan guru lebih termotivasi secara
instrinsik untuk selalu berkarya, berkembang, dan tidak didorong semata-mata
oleh motivasi ekstrinsik yang tidak terkait dengan profesionalisme. (2)
Sistem pengadaan, penempatan, pemberdayaan, dan pembinaan akan lebih bersih
dari praktik KKN yang cenderung menjaring guru tidak bermutu. (3) Lembaga
penghasil guru akan lebih bertanggung jawab dan hanya berfokus menghasilkan
guru yang unggul dalam segala aspek keguruan.(4) Masyarakat awam akan lebih
memahami, menghargai, dan mendukung peran serta guru sebagai kekuatan
pendidikan bangsa, bahkan turut membela kepentingan kaum guru sebagai tenaga
profesional yang patut didukung dan dibela.
Semoga
ke depan pendidikan di tingkat usia dini dan SD diperhatikan agar
menghasilkan anak bangsa yang dilandasi fondasi intelektual, akhlak, dan
emosional yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar