Pemimpin
Buah Penolakan
Ronny Renaldy T ; Mantan Pengurus DPD
Nasdem Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 05 April 2014
SOSOK
Jokowi sangat fenomenal. Pria kerempeng itu dicemooh, disudutkan, dan
mengalami penolakan luar biasa dari berbagai pihak sebelum menduduki jabatan
gubernur DKI Jakarta. Kini ia tengah mengubah arus dukungan publik menuju
kursi RI 1. Sama seperti sebelumnya, ia membayar mahal harga penolakan
pribadi. Selalu akan muncul kemungkinan kuat ia berisiko difitnah secara keji
karena keputusan melawan arus besar .
Sesungguhnya,
seorang pemimpin harus berani dan bersedia berdiri menghadapi arus besar,
tidak sudi menyerah untuk melawan kuasa takut. Penilaian atau penghakiman
dari pihak lain tidak akan mengubah standar kepemimpinannya karena
orientasinya melulu kepada masyarakat.
Wajar
jika orang yang mahir menyesuaikan diri menjadi tidak banyak disukai.
Menghadapi penolakan, mengharuskan pemimpin butuh kekuatan karakter. Tersedia
banyak jalan bila pemimpin diabaikan, bahkan tidak disukai. Surya Paloh,
misalnya. Tahun 1980 ia pernah mengalami masa penolakan. Koran Prioritas miliknya diberedel penguasa
Orba.
Jalan
berikutnya menjadi begitu mudah dilalui. Media Indonesia, Metro TV, dan
belakangan Partai Nasdem kini dalam genggaman tangannya, dan realitas itu sekadar
membuktikan penolakan adakalanya berbuah manis.
Sering
kali kemampuan orang tertolak tidak diketahui olehnya sampai kepergian atau
kematian merenggut nyawanya. Pahlawan nasional dan korban penembakan berdarah
tahun 1998 di kampus Universitas Trisakti, adalah sedikit contoh yang
mengambarkan fenomena penolakan. Kebanyakan yang terjadi adalah dibangunlah
monumen dari serpihan purbasangka yang ditujukan kepada korban, guna
mengenang raganya yang tiada sebelum tujuannya mewujud. Meskipun sulit
diterima, pemimpin level manapun harus siap secara emosional dan spiritual
menghadapi skenario semacam ini.
Ketika
dilanda sunyi dan terisolasi, pemimpin merasakan kekecewaan atau penolakan.
Namun, dia harus menggunakan momen depresi untuk menantang dan membangkitkan
pemikiran baru secara lebih kreatif, sehingga merangsangnya melangkah maju
menuju penilaian yang barangkali lebih realistis dari situasi sebelumnya.
Pemimpin sejati tahu bahwa kekuatan yang mengendalikan hidupnya berasal dari
Tuhan sebagaimana dialami rasul pada
jaman nabi.
Memanusiakan Manusia
Mengutip
pendiri dan CEO Gaudium et Spes
Community (GSC) Paul Soetopo, negeri ini butuh pemimpin negarawan yang
mempunyai prinsip memanusiakan manusia, yaitu mengasihi Tuhan di atas
segalanya dan mengasihi sesama seperti pada dirinya sendiri, bermoral jujur
dan adil untuk kesejahteraan seluruh rakyat bukan untuk kelompok atau diri
sendiri.
Selain
itu, mempunyai visi jelas, mengetahui kebutuhan rakyat, pandai melihat dan
mengurai permasalahan dan secara cerdas mencari solusi. Pandai menemukan
konsensus dari berbagai pihak yang kadang saling bertentangan untuk
menyepakati inisiatif yang diusulkan.
Di atas
segalanya, pemimpin harus punya komitmen, sikap, tindak, dan kesediaan
berkorban dari seorang negarawan untuk selalu melayani rakyat. Yang
terpenting, ia dekat dengan Tuhan sebagai sumber inspirasi yang tidak pernah
kering. Itulah esensi kepemimpinan yang negarawan.
Siapa
pun yang tergerak maju memikirkan harga yang siap dibayar jika ingin bertahan
dalam posisi yang menjadi tanggung jawabnya. Ketika visinya diucapkan,
dilakukan dan bersedia membayar pengorbanan yang diperlukan untuk suatu
keberhasilan maka masa pelayanannya ditandai keunggulan berkualitas prima.
Itulah bonus buat pemimpin yang selamat dari penolakan. Sesederhana itu
hukumnya bagi siapa saja meskipun tidak semuanya bisa bertahan melewatinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar