Kampanye
yang Mencerdaskan
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset di
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
05 April 2014
”Jika
rakyat pergi. Kita penguasa berpidato. Kita harus hati-hati. Barangkali
mereka putus asa/Kalau rakyat sembunyi. Dan berbisik bisik. Ketika
membicarakan masalahnya sendiri. Penguasa harus waspada dan belajar
mendengar/ Dan bila rakyat tidak berani mengeluh. Itu artinya sudah gawat.
Dan bila omongan penguasa. Tidak boleh dibantah. Kebenaran pasti terancam/
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa
alasan. Dituduh subversi dan menggangu keamanan. Maka hanya satu kata :
LAWAN! (Solo: 1986)
Puisi
karya Wiji Thukul berjudul ”Peringatan” itu begitu memukau para pengunjung
saat dibacakan oleh Sosiawan Leak, penyair asal Solo, pada pembukaan ASEAN
Literary Festival di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21 Maret 2014.
Wiji
Thukul, penyair dan aktivis sosial, adalah satu dari belasan aktivis pro
demokrasi yang diculik oleh oknum-oknum ”Tim Mawar” dari satuan khusus
militer pada 1997/1998. Meski akhirnya komandan satuan khusus itu
diberhentikan dari ketentaraan lewat putusan Dewan Kehormatan Perwira, tetapi
hingga kini nasib belasan aktivis pro demokrasi itu belum diketahui rimbanya.
Inilah salah satu sejarah kelam rezim Orde Baru, selain pembunuhan,
penghilangan paksa, dan pemenjaraan orang tanpa pengadilan.
Kini,
Partai Golkar berkampanye bahwa era Soeharto adalah ”Zaman Normal”: harga-harga
murah, stabilitas politik terjaga, dan politik amat tenang tanpa kegaduhan.
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) tak malu ataupun takut untuk
mengutip slogan di berbagai kaus bergambar Soeharto: ”Piye kabare? Luwih penak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya, lebih enak zamanku, kan?). Kampanye politik
semacam ini memang hak politik Partai Golkar walau sungguh menyesatkan dan
tidak mencerdaskan bangsa karena tidak menggambarkan kondisi pada era Orde
Baru secara utuh.
Padahal,
pada awal reformasi, Golkar di bawah Akbar Tandjung berupaya menarik garis
dengan Orde Baru melalui slogan ”Golkar Baru” agar Golkar tetap eksis di era
reformasi. Zaman memang sudah berubah sejak jatuhnya rezim Soeharto, 16 tahun
lalu. Mereka yang dulu bagian dari rezim kini tak takut unjuk gigi karena
saat ini memang masa akhir yang tersedia bagi mereka untuk meraih kejayaan
kembali.
Kampanye hitam
Kampanye
pada Pemilu 2014 juga penuh dengan kampanye hitam untuk menghancurkan nama
baik orang dan/ atau partai yang akan berkontestasi dalam Pemilu Presiden 9
Juli 2014. Salah seorang yang terkena kampanye hitam tersebut adalah ARB,
bakal capres dari Partai Golkar. Entah dari mana asalnya, kini beredar video
dan foto-foto ARB dan dua kakak beradik (artis) saat mereka berlibur ke
Maladewa. Di negara seperti Inggris dan AS, persoalan yang masuk kategori
privat bisa menjadi urusan publik. Namun, di Australia, jika penulis tidak
salah, ada pemisahan antara kehidupan pribadi seseorang dan aktivitas
politiknya.
Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) juga tak luput dari kampanye hitam yang
menggambarkan foto mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, di depannya ada
foto gadis berpakaian amat tak seronok dan di belakangnya ada foto sapi. Ini
terkait dengan kasus korupsi sapi impor asal Australia yang sempat
menggemparkan politik Indonesia pada 2013. Prabowo Subianto juga mendapatkan
serangan hebat dari para pedagang asongan yang berjualan di Gelora Bung Karno
(GBK) karena mereka, katanya, dijanjikan dibayar lunas makanan dan minumannya
saat Partai Gerindra berkampanye di GBK pada 23 Maret 2014. Ternyata, kata
para pedagang asongan, mereka hanya dibayar Rp 100.000 dan rugi besar.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga, katanya, mendapatkan kampanye hitam
dari Anas Urbaningrum.
Bakal
calon presiden dari PDI-P, Joko Widodo (Jokowi), adalah orang yang paling
banyak mendapat serangan dari kampanye hitam yang berlangsung selama ini.
Badannya yang kerempeng dan wajahnya yang ndeso
(orang desa) menyebabkan salah seorang tokoh PKS menyebutnya orang yang tidak
memiliki tampang untuk menjadi presiden. Ada juga kampanye negatif yang
menyebutkan Jokowi didukung oleh kelompok agama minoritas dan ras minoritas,
suatu kampanye yang bukan saja tidak bermartabat, melainkan juga membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka lupa bahwa Indonesia merdeka, yang
dibangun oleh para pendiri bangsa, bukan negara agama atau negara suku/ras,
melainkan negara kebangsaan.
Satu hal
yang menarik, jika semasa awal menjadi Gubernur DKI Jakarta Jokowi ibarat
media darling, sejak Jokowi dideklarasikan sebagai capres PDI-P pada 14 Maret
2014, tampaknya jadi media enemy
dari jaringan media pers milik para tokoh politik yang juga akan maju sebagai
capres atau cawapres atau yang partai barunya berupaya masuk parlemen.
Bahkan, ada televisi yang mengampanyekan Jokowi sebagai public enemy (musuh publik) tanpa menjelaskan publik yang mana di
Jakarta yang memusuhinya dan apakah yang mengatasnamakan publik itu
benar-benar mewakili warga Jakarta.
Ada juga
seorang ilmuwan politik yang menyebut Jokowi ”kutu loncat” karena
berpindah-pindah dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan kini
jadi capres dari PDI-P, tanpa menyelesaikan masa tugasnya. ”Kutu loncat”
dalam terminologi politik adalah politisi yang berpindah-pindah partai dan
ideologi atau berpindah tempat dari oposisi ke pemerintah dan sebaliknya.
Pengamat ini tak menjelaskan bahwa Ahmad Heryawan juga tidak menyelesaikan
tugasnya sebagai pimpinan DPRD di DKI Jakarta ketika ia maju sebagai cagub
Jawa Barat. Irwan Prayitno juga meninggalkan posisinya sebagai anggota DPR
ketika ia maju pertama kali sebagai calon gubernur Sumatera Barat. Gubernur
Sumatera Selatan Alex Noerdin juga hanya cuti dan tidak mundur dari
jabatannya ketika maju sebagai cagub DKI Jakarta pada 2012 dari Golkar.
Ada juga
pengamat yang mengibaratkan Jokowi belum menyelesaikan kuliah tetapi sudah
akan mengambil titel kesarjanaan yang lebih tinggi. Pengamat ini lupa bahwa
sistem di sekolah negeri atau swasta di Indonesia, seorang murid yang
kepandaiannya istimewa bisa naik kelas tanpa harus menyelesaikan sekolah
sampai akhir tahun. Seorang mahasiswa program master by research di Australia bisa dinaikkan (upgrade) ke program doktor jika
proposal penelitiannya sangat baik. Namun, juga bisa diturunkan (downgrade) dari program doktor ke
master atau dari master ke diploma sarjana jika ia dianggap tak mampu
menyelesaikan kuliahnya.
Kampanye bermartabat
Sudah 16
tahun kita menikmati era demokrasi dan 10 tahun memiliki presiden yang
dipilih secara langsung. Pada masa ini seharusnya demokrasi Indonesia sudah
naik kelas dari transisi demokrasi ke konsolidasi demokrasi atau bahkan ke
kedewasaan demokrasi. Pada Pemilu 2014 ini pula seharusnya kampanye-kampanye
politiknya benar-benar mencerdaskan kehidupan bangsa dan bermartabat.
Bentuk-bentuk
kampanye negatif seharusnya sudah digantikan dengan kampanye yang adu
program. Kita juga tak perlu menghina jika ada seorang yang berwajah desa dan
tidak memiliki presidential look
maju sebagai calon presiden. Demokrasi memberi kesempatan kepada siapa pun
untuk menjadi capres atau terpilih sebagai Presiden RI. Itulah esensi yang
hakiki dari demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar