Akal-akalan
Permen Digital
Amir Effendi Siregar ; Ketua Pemantau
Regulasi dan Regulator Media
|
KOMPAS,
05 April 2014
PADA 27
Desember 2013 Menkominfo mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 32/2013 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Televisi secara Digital dan Penyiaran Multipleksing
Melalui Sistem Terestrial. Akhir Februari lalu Asosiasi Televisi Jaringan
Indonesia (ATVJI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) melayangkan
somasi agar pemerintah mencabut aturan ini. Awal Maret 2014 ATVJI kembali
menggugat dan meminta Mahkamah Agung membatalkan Permen No 32/2013. Permen
ini memang tampak memaksakan diri, akal-akalan, kejar tayang,
dan—lagi-lagi—bertentangan dengan undang-undang. Mengapa?
Permen
No 32/2013 adalah pengganti Permen No 22/2011 tentang Penyelenggaraan
Penyiaran Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap Tidak Berbayar, yang
dinyatakan tidak sah oleh MA pada 3 April 2013. Permen No 22/2011 itu digugat
oleh ATVJI dan ATVLI.
Di
Putusan 38/P/HUM/2012, yang disampaikan pada 26 September 2013, ketika
mengabulkan gugatan ATVJI, MA tegas menyatakan, Permen No 22/2011 ”...bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang No 32 Tahun 2002
tentang Penyiaran... dan karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum”. Selanjutnya, MA memerintahkan menteri
mencabut permen itu.
Berdasarkan
putusan MA itu, semua keputusan turunan Permen No 22/2011 seharusnya tak sah
dan harus menyesuaikan diri dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, apa yang tercantum dalam Permen No 32/2013 tampak akal-akalan dan
memaksakan diri.
Dalam
Ketentuan Peralihan Pasal 25 dinyatakan bahwa lembaga penyiaran swasta yang
telah ditetapkan oleh menteri sebagai Lembaga Penyiaran Penyelenggara
Penyiaran Multipleksing (LPPPM) berdasarkan Permen 22/2011 tetap diakui
keberadaannya, termasuk hak menyelenggarakan penyiaran multipleksing dan hak
penggunaan spektrum frekuensi radio yang telah dimilikinya, serta tetap dapat
menjalankan kegiatannya. Ini adalah perlawanan terhadap MA yang, menurut
Menkominfo pada Mei tahun lalu, ”lebay” bila permen ini dianggap melawan MA.
Uniknya,
Permen No 32/2013 dalam ketentuan menimbang hanya mengutip putusan MA yang
mengabulkan gugatan ATVJI tanpa mengutip Putusan MA No 40
P/HUM/2012—disampaikan akhir Desember 2013—yang juga mengabulkan gugatan
ATVLI. MA juga menyatakan Permen No 22/2011 bertentangan dengan peraturan di
atasnya dan ”...karenanya tidak sah dan tidak berlaku umum”.
Pertahankan konsentrasi
Pemerintah
tampak terburu-buru mengeluarkan Permen No 32/2013. Sebetulnya ada apa?
Secara substansial, isi Permen No 22/2011 dan Permen No 32/2013 tak berbeda.
Permen No 22/2011 membagi dua lembaga penyiaran, yaitu Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Program Siaran (LPPPS) dan LPPPM. Bentuk ini tak dikenal dalam
UU Penyiaran.
Permen
No 32/2013 menetapkan dua fungsi penyelenggaraan penyiaran. Pertama,
penyelenggaraan penyiaran televisi secara digital melalui sistem terestrial
dilaksanakan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, LPP Lokal, Lembaga
Penyiaran Swasta (LPS), dan Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK). Kedua,
penyelenggaraan penyiaran multipleksing melalui sistem terestrial
dilaksanakan LPP TVRI dan LPS.
Dua
fungsi ini juga tak dikenal dalam UU Penyiaran, tetapi pemerintah mengakali
UU dengan menyatakan pelaksana multipleksing adalah LPP TVRI dan LPS, bukan
lembaga baru seperti LPPPS dan LPPPM. Ini adalah juga bentuk diskriminasi
terhadap LPK dan LPP Lokal.
Lebih
jauh lagi, Permen No 32/2013 sama dengan Permen No 22/2011 hanya memberi izin
penyelenggaraan penyiaran multipleksing bagi yang sudah memiliki izin
penggunaan spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP).
Itu adalah lembaga yang kini eksis.
Semua
ini memperlihatkan bahwa Permen No 32/2013 juga mempertahankan konsentrasi
kepemilikan. Penyiaran tetap dikuasai oleh lima kelompok besar, Grup MNC, TV
One/ANTV (VIVA), SCTV/Indosiar, Metro TV, dan Trans TV yang juga adalah
pemenang penyelenggara multipleksing di banyak zona. Permen No 22/2011
membagi Indonesia dalam 15 zona dengan 216 wilayah, sementara Permen No
32/2013 membaginya dalam 33 provinsi dengan 236 wilayah.
Kemudian
LPS yang akan melakukan penyiaran digital harus bekerja sama dengan LPS yang
menyelenggarakan penyiaran multipleksing dan membayar sewa. Ini yang disebut
sebagai ”anak kos” oleh beberapa lembaga penyiaran di daerah.
Lebih
menarik lagi, RUU Penyiaran versi pemerintah yang sedang dibahas di DPR
justru lebih terbuka dengan menyatakan bahwa penyelenggara multipleksing
adalah badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas, yang bidang
usahanya hanya menyelenggarakan layanan multipleksing untuk penyiaran dan
juga oleh LPP. Sementara itu, RUU Penyiaran versi DPR memberi kesempatan
terbuka kepada banyak pihak dengan menyatakan penyelenggara multipleksing
berbentuk badan hukum yang bergerak di bidang penyiaran yang dimiliki
konsorsium atau oleh satu atau lebih badan usaha milik negara, badan usaha
milik swasta.
KPI dimarjinalkan
Permen
32 tetap menyingkirkan peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang seharusnya
dilibatkan dalam proses seleksi lembaga penyelenggara multipleksing,
sebagaimana dinyatakan oleh UU Penyiaran, khususnya Pasal 33 Ayat (4d): ”...izin alokasi dan penggunaan spektrum
frekuensi radio oleh pemerintah atas usul KPI”. Lebih menyedihkan lagi,
pemerintah membiarkan penyiaran analog mati dengan sendirinya dengan
membiarkan persaingan terbuka antara penyiaran analog dan digital.
Seharusnya
negara secara sistematis dan terencana mengatur migrasi penyiaran analog ke
digital, termasuk perencanaan meningkatkan efisiensi dan memaksimalkan
penghasilan untuk negara. Peraturan seharusnya memberi peluang bagi semua
pihak secara terbuka dan adil menjadi pemain di industri penyiaran. Konsentrasi
kepemilikan harus dipecah. KPI harus diberi peran penting. Digitalisasi
televisi seharusnya diatur oleh UU. Bila pemerintah bersikeras dengan Permen
No 32/2013, ini memang ”lebay”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar