Sulit
Memilih…
James Luhulima ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
08 Februari 2014
KOMISI III DPR, Selasa
(4/2), melalui voting menolak tiga calon hakim agung yang diajukan Komisi
Yudisial. Ketiga calon hakim agung yang ditolak itu adalah Suhardjono, Hakim
Pengadilan Tinggi Makassar; Maria Anna Samiyati, Wakil Kepala Pengadilan
Tinggi Palu; dan Sunarto, Hakim Tinggi Pengawas.
Keputusan itu diambil
Komisi III DPR setelah Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa DPR hanya dapat
menyetujui atau menolak calon hakim agung yang diajukan Komisi Yudisial dan
tidak lagi memilih dari calon hakim agung yang diusulkan KY seperti
sebelumnya.
Penolakan oleh Komisi
III DPR itu tidak diikuti dengan elaborasi lebih jauh sehingga muncul kesan
bahwa tengah terjadi pamer kekuasaan di panggung politik Indonesia. MK di
satu sisi menggunakan kekuasaannya untuk membatasi wewenang Komisi III DPR,
dari memilih calon hakim agung yang diusulkan KY menjadi hanya menerima atau
menolak calon hakim agung yang diajukan KY. Di sisi lain, Komisi III membalas
pembatasan wewenangnya oleh MK dengan menolak ketiga calon hakim agung yang
diajukan KY.
Namun, terlepas dari
apakah terjadi pamer kekuasaan atau tidak, saya lebih ingin menyoroti betapa
sulitnya memilih hakim agung yang bersih. Jika mengacu kepada tiga calon
hakim agung yang diajukan KY, disebutkan bahwa KY telah memilih ketiga calon
hakim agung itu melalui seleksi yang berat dan ketat, dan KY menyebut ketiga
calon hakim agung itu sebagai hakim bersih dan antisuap.
Komisioner KY Bidang
Perekrutan Hakim, Taufiqurrohman Syahuri, menegaskan, tiga calon hakim agung
itu menyisihkan 50 peserta seleksi yang lain. Namun, hasil seleksi KY yang
berat dan ketat itu ditolak lewat voting oleh 48 anggota Komisi III
yang hadir. Meskipun menghargai keputusan DPR, ia mengatakan, ”DPR seharusnya
percaya saja kepada lembaga KY dalam hal uji kualitas. KY mempunyai pedoman
uji kelayakan.”
Bisa saja KY
mengatakan telah mempunyai pedoman uji kelayakan, tetapi Gandung Pardiman,
salah seorang anggota Komisi III DPR dari Partai Golkar, mengatakan,
penolakan itu karena kualitas calon hakim agung yang diajukan KY di bawah
standar. Tidak mudah untuk memutuskan penilaian siapa yang lebih benar, KY
atau DPR. Namun, yang kita tahu adalah sangat sulit untuk memilih hakim agung
yang baik.
Apa yang terjadi di MK
bisa dijadikan salah satu contoh. Hakim konstitusi terdiri atas sembilan
orang. Tiga orang diusulkan DPR, tiga orang usulan Presiden, dan tiga orang
lainnya usulan Mahkamah Agung.
Secara teoretis, jika
sistem pemilihan hakim konstitusi itu baik, sembilan hakim konstitusi yang
terpilih itu pasti bersih. Namun, dalam kenyataan, keadaannya tidaklah persis
seperti itu. Ketika hakim konstitusi Akil Mochtar mendapatkan dukungan
mayoritas hakim konstitusi untuk memimpin MK menggantikan Mahfud MD, semua
berpikir bahwa ia baik-baik saja.
Kenal atau tidak
Ketika diwawancara di
ruang kerjanya, dua hari setelah terpilih menjadi Ketua MK, Akil ditanya
tentang banyaknya orang yang meragukan independensinya karena memiliki latar
belakang partai politik. Ia mengatakan, ”Selama
lima tahun menjadi hakim di sini (MK), saya bisa menjaga independensi. Kalau
saya bukan orang independen, kalau saya orang yang bisa disetir atau
diintervensi oleh kekuatan-kekuatan lain, tidak mungkin tujuh orang (hakim)
itu pilih saya. Memangnya mereka bodoh. Mereka hakim-hakim yang
berpengalaman, beberapa guru besar malah.”
Melalui jawaban itu,
Akil ingin menegaskan kepada pewawancaranya dan juga khalayak bahwa tujuh
dari sembilan hakim konstitusi memilihnya sebagai Ketua MK periode 2013-2015
karena reputasi dan rekam jejaknya yang baik. Ia mengalahkan Harjono dan
Hamdan Zoelva dalam tiga putaran. Akil memperoleh tujuh suara dan Harjono dua
suara. Adapun Hamdan kalah di putaran kedua.
Ketika kemudian Komisi
Pemberantasan Korupsi menangkap tangan Ketua MK Akil Mochtar di rumah
dinasnya di Jalan Widya Chandra III No 7, Jakarta, 2 Oktober 2013 pukul
22.00, dengan tuduhan menerima suap, semua terkejut. Pertanyaan yang langsung
muncul adalah benarkah ketujuh hakim konstitusi mengenal Akil? Mengapa mereka
memilih Akil dan bukan salah satu dari dua calon lainnya?
Tentu tidak mudah
untuk menjawabnya. Bagaimana dengan DPR, yang mengajukan Akil sebagai calon
hakim konstitusi dari DPR. Tahukah DPR akan reputasi dan rekam jejak Akil?
Itu lebih mudah ditanyakan, daripada dijawab. Seperti kata pepatah, dalamnya
lautan bisa diukur, tetapi dalamnya hati siapa yang tahu.
Bahkan, ketika
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 29 Juli 2013, mengangkat mantan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi untuk
menggantikan Achmad Sodiki yang masa jabatannya berakhir 16 Agustus 2013,
keputusan Presiden dikritik publik. Ketua YLBHI Alvon K Palma saat itu
menyebutkan, semasa menjadi Menteri Hukum dan HAM, Patrialis dinilai tak
pro-pemberantasan korupsi. Waktu yang akan membuktikan penilaian itu benar
atau salah.
Memilih hakim agung
atau juga hakim konstitusi memang tidak mudah karena yang
saat diseleksi,
yang diteliti, atau yang diselidiki itu reputasi dan rekam jejak atau sesuatu
yang terjadi di masa lalu. Padahal, bisa saja seseorang yang pada masa lalu
reputasi dan rekam jejaknya baik berubah seiring dengan perjalanan waktu.
Persoalannya, kita terlalu sibuk untuk menyadari terjadinya hal itu. Dan,
ketika pada suatu waktu ia ditangkap KPK, kita semua terkejut…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar