Isi
Kontrak Karya Jelang Pemilu
Augustinus Simanjuntak ; Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra, Surabaya
|
JAWA
POS, 08 Februari 2014
KONTRAK karya antara
pemerintah RI dan perusahaan tambang asing, tampaknya, sudah tidak bisa
dilepaskan dari nuansa politik menjelang Pemilu 2014. Ini bukan lagi soal
ketulusan atau niat baik pemerintah dalam membuat sebuah kebijakan yang
populer, tetapi soal momen yang sudah tidak tepat untuk melahirkan
kebijakan-kebijakan fundamental pada akhir masa jabatannya. Memang, tidak ada
kata terlambat untuk kepentingan rakyat.
Namun, publik akan bertanya, mengapa baru sekarang? Sebagaimana diberitakan, pemerintah telah melarang ekspor bahan-bahan tambang mentah guna meningkatkan industri lokal dan menciptakan lapangan kerja baru. Karena itu, setiap perusahaan tambang wajib membangun smelter di Indonesia. Jika belum membangun smelter, perusahaan tambang, terutama asing, dikenai tarif bea keluaran progresif hingga 60 persen. Sekali lagi, mengapa kebijakan berani itu baru muncul setelah berpuluh-puluh tahun kekayaan alam kita diekspor? Anehnya, dalam status kontrak karya yang masih berjalan, para pejabat terkait di negeri ini seolah sedang ''bertarung'' menghadapi perusahaan tambang besar dalam menelurkan butir-butir kebijakan itu. Pemerintah seolah mengarahkan rakyat untuk bersama-sama menjadikan perusahaan tambang sebagai sasaran tembak saat dunia politik kita sedang memanas akhir-akhir ini. Muncullah berita bahwa perusahaan asing mengancam mem-PHK pekerjanya dan membawa pemerintah ke jalur arbitrase. Namun, diberitakan pula bahwa pemerintah tidak takut dengan ancaman tersebut. Bahkan, Menteri ESDM Jero Wacik berkata, ''Satu bangsa bersatu, masak takut?'' Selain itu, Menko Perekonomian Hatta Rajasa diberitakan geram kepada perusahaan tambang yang tidak mengerti tujuan penerapan bea keluar bahan tambang. Dia mengatakan, ''Sangat jelas bahwa kita akan melaksanakan undang-undang. Freeport dan Newmont harus bangun smelter.'' Seperti tidak mau tertinggal dengan isu kontrak karya, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso pun mengungkapkan, tidak masalah jika kontrak Freeport diperpanjang dengan Amerika Serikat, asalkan sebagian hasil tambang diperuntukkan bagi pembangunan di Papua (6/2). Asas Kontrak Menurut PBB Dalam pembuatan kontrak karya, pemerintah dan perusahaan asing seharusnya sama-sama tahu tentang asas-asas berkontrak yang dianut UNIDROIT (International Institute for the Unification of Private Law). UNIDROIT merupakan salah satu unit di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang khusus mengharmoniskan kontrak-kontrak bisnis internasional. Menurut asasnya, keadilan dalam kontrak perlu dilihat secara menyeluruh, mulai proses pembuatan hingga implementasi kontrak. Karena itu, langkah pertama adalah asas: The parties are free to enter into a contract and to determine its content (Pasal 1 UNIDROIT Principles). Artinya, para pihak bebas membuat kontrak, termasuk menentukan isinya. Dari sisi Indonesia, seluruh rakyat Indonesia (lewat proses demokrasi) harus bebas menentukan isi kontrak karya. Pemerintah tidak boleh menandatangani kontrak karya tanpa persetujuan rakyat. Publik berhak tahu isi kontrak itu. Perusahaan asing pun bebas. Namun, kebebasan asing wajib memperhatikan mandatory rules (aturan yang bersifat memaksa) yang berlaku di negara kita -vide pasal 1 (4) UNIDROIT. Isi kontrak tersebut menjadi bukti bahwa bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memang benar-benar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jadi, kontrak karya yang dibuat pejabat dan asing tanpa persetujuan rakyat merupakan tindakan sewenang-wenang. Negara asal perusahaan tambang besar tentu paham tentang pentingnya transparansi dalam mengambil kebijakan pemerintahan, termasuk dalam pembuatan kontrak karya. Karena itulah, UNIDROIT menegaskan: Each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade. Maksudnya, kejujuran dan kesepakatan yang adil bagi para pihak sangat penting. Pertanyaannya, apakah pemerintah yang terdahulu sudah melakukan proses demokrasi sebelum kontrak-kontrak karya ditandatangani? Sejauh mana rakyat dilibatkan dalam pembahasan substansi kontrak-kontrak tersebut? Jika ternyata proses demokrasi belum dilakukan, kontrak karya bisa dianggap cacat prosedur dan wajib ditinjau ulang. Berkaca pada maraknya kasus korupsi dalam proyek-proyek pemerintah selama ini, ketertutupan pembuatan dan implementasi kontrak karya wajar memicu kecurigaan di masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan adanya persekongkolan jahat (corruption by contract) dalam pembuatan kontrak karya antara oknum elite-elite politik terdahulu dan asing sehingga ekonomi kita sangat dirugikan. Penerimaan negara menjadi kecil karena keuntungan besar justru mengalir secara ilegal kepada kelompok oknum yang bersekongkol tersebut. Karena itu, UNIDROIT Principles melarang segala bentuk negosiasi yang dilakukan dengan niat buruk. Kontrak yang dilakukan dengan niat buruk, yang dibuktikan dengan hasil penyelidikan tim perwakilan rakyat atau penegak hukum, bisa ditinjau ulang. Konsekuensinya, kontrak baru dibuat dengan kedudukan para pihak yang sejajar (tanpa tekanan) sehingga membawa keuntungan yang adil bagi semua pihak. Khusus royalti yang terlalu kecil atau senjang (gross disparity), UNIDROIT juga sudah mengatur bahwa kontrak memang tidak boleh membawa keuntungan yang sangat besar (excessive advantage) bagi salah satu pihak sehingga tidak adil bagi pihak lainnya. Kontrak semacam itu juga sudah sepatutnya ditinjau ulang. Kita tunggu saja hasil renegosiasi pemerintah dengan perusahaan-perusahaan tambang asing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar