Salah Kaprah
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 09 Februari 2014
Di musim banjir seperti ini semua orang mengeluh, marah-marah,
menderita, minta bantuan pemerintah, berdoa supaya banjir cepat pergi, kalau
banjir tidak pergi-pergi juga, Gubernurlah yang dimarahi (bukan Tuhan) dan
dikatakan Gubernur gagal memenuhi janji-janji kampanyenya (karena Tuhan tidak
pernah ingkar janji).
Pokoknya banjir dianggap bencana, dianggap musuh, dan semua yang
dianggap terkait dengan banjir dianggap sebagai musuh juga. Padahal, lihatlah
Singapura yang terpaksa mengimpor air dari Johor Baru, Malaysia, dan Provinsi
Riau, Indonesia. Lihatlah Arab Saudi. Mereka yang sudah pernah umrah atau
haji bisa merasakan betapa sulit dan mahalnya air di sana. Hanya Mekkah yang
beruntung karena mendapat karunia Allah berupa sumur zamzam.
Maka, bagaimana mungkin kita yang mendapat rahmat Allah berupa
air yang melimpah ruah malah memusuhi air itu? Padahal sudah sejak berabad-abad
bangsa Indonesia mahir mengelola air. Sistem irigasi persawahan telah membuat
lahanlahan persawahan sepanjang pantura Pulau Jawa dan lahanlahan subur di
Sulawesi Selatan menjadi lumbung-lumbung padi untuk memasok beras kepada
penduduk se-Indonesia. Begitu juga sistem subak di Bali. Tapi bagaimana
sekarang?
Dengan cepat sawah berubah jadi pabrik atau permukiman.
Kepemilikan lahan sawah per kapita petani merosot drastis sehingga petani
tidak bisa lagi hidup dari bertanam padi. Begitu juga produksi beras jadinya
merosot terus, padahal jumlah penduduk Indonesia meningkat terus. Bukan itu
saja, masyarakat yang dulunya sudah terbiasa makan yang bukan nasi, seperti
jagung (Madura, NTT) atau sagu (Papua), malah diajari makan nasi. Maka
kebutuhan akan beras makin besar sehingga harus impor. Hasil hutan sagu Papua
terbuang sia-sia karena orang Papua tidak lagi makan papeda (sagu).
Padahal luas hutan sagu Papua hampir 50% luas hutan sagu dunia.
Istilah bencana bolehlah diberikan kepada daerah-daerah yang miskin sumber
air, yang bisa setahun penuh tidak mendapat hujan. Atau letusan gunung api
seperti Sinabung. Namun manusia bisa kok membangun Las Vegas, kota rekreasi
terbesar dan termewah sedunia, di atas padang pasir dan sarang ular rattle
yang sangat berbisa. Orang Jepang membangun pencakar-pencakar langitnya
dengan sistem antigempa.
Bahkan di Jakarta pun kita punya Taman Rekreasi Bina Ria Ancol
yang didirikan di atas tempat yang dulu adalah tempat jin buang anak (karena
itu ada sinetronnya yang berjudul Si Manis dari Jembatan Ancol). Jadi, kalau
kita berpikir secara benar kita akan mampu menjelaskan sesuatu secara benar
dan bertindak secara benar juga. Orang yang berpikir secara benar tahu persis
bahwa air akan mencari jalan sendiri ke mana pun dia pergi. Tidak peduli
perkampungan atau Istana Presiden.
Dia tahu kalau tinggi air di Bendungan Katulampa sudah mencapai
sekian ratus sentimeter, berarti itu sudah siaga I dan penduduk Jakarta
bersiaplah untuk mengungsi, pasukan SAR silakan siap dengan perahu-perahu
evakuasi. Tapi kalau kecerdasan itu ditambah dengan kecerdikan, orang akan
bisa mencarikan jalan air sedemikian rupa sehingga air itu tidak mengganggu
manusia, malah bisa dimanfaatkan oleh manusia. Renovasi waduk-waduk,
membangun taman-taman dan hutan-hutan kota sebagai daerah resapan air, serta
mengatur pemakaian air tanah adalah beberapa langkah cerdik manusia untuk
berdamai dan menguasai air.
Tapi memang salah satu kelemahan orang Indonesia adalah sulit
untuk diajak berpikir yang benar. Kita ini kebanyakan tidak mau atau malas
mengecek benar atau salah pengetahuannya. Misalnya, ketika banyak pengendara
sepeda motor menyerobot jalan yang melawan arus, pengendara-pengendara motor
yang lain mengira bahwa berkendara melawan arus tidak apa-apa, tidak salah,
walaupun jalan semakin macet. Padahal ia tahu bahwa melawan arus adalah
salah. Ini yang dalam bahasa Jawa disebut salah kaprah, sing bener ora lumrah (yang
salah dianggap benar, yang benar dianggap tidak wajar). Berpikir salah
kaprah ini banyak sekali di Indonesia.
Terutama di kalangan para pemimpinnya. Kalau kita bisa berpikir
benar saja (tidak perlu jenius), kita tidak bisa marah pada banjir, apalagi
kepada Gubernur yang sebenarnya sama sekali bukan penyebab banjir. Banjir
sudah ada sejak zaman sebelum kakek-nenek kita lahir, maka bertemanlah dengan
banjir itu, jangan memusuhinya. Orang Belanda, yang negaranya dua meter di
bawah permukaan laut, tidak pernah kebanjiran karena mereka mampu mengelola
laut dengan membuat damdam yang sangat kokoh untuk membendung gelombang badai
laut.
Kalau kita bisa berpikir benar, kita akan mendorong pemakan sagu
untuk kembali ke makan sagu, pemakan jagung kembali ke jagung dan
meninggalkan beras. Bahkan kita akan mendorong pemakan nasi (termasuk
kita-kita ini sendiri) untuk makan yang bukan nasi seperti singkong, mi,
kentang, jagung dan (ini yang penting) tetap tidak merasa kelaparan. Kalau
kita bisa berpikir benar, kita akan mendorong penghentian pembangunan pabrik-pabrik
yang memakan banyak lahan pertanian dan kita ganti sumber pendapatan
masyarakat dengan jasa pariwisata dan budaya (yang memang merupakan modal
kita) ketimbang menggenjot industri yang banyak tergantung pada impor.
Kita lebih berinvestasi ke laut ketimbang di darat.
Universitas-universitas tidak perlu berlomba dalam bidang sains dan teknologi
(yang sudah jauh lebih maju di Barat) untuk masuk 100 besar perguruan tinggi
dunia, tetapi justru berlomba di bidang seni dan budaya (karawitan, tari,
tulisan lontar, tradisi, dll), sebab di situlah justru kekuatan Indonesia.
Orang asing belajar seni dan budaya di universitas-universitas
besar di Indonesia, sementara mahasiswa Indonesia sendiri sangat kurang
minatnya terhadap ilmu-ilmu seperti itu. Kesimpulannya, berpikir salah kaprah itulah yang telah menjadikan pembangunan
Indonesia salah arah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar