Presiden, Pers,
Kata
Bandung Mawardi ; Pengelola
Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 12 Februari 2014
PRESIDEN mengeluh itu lazim?
Kita tidak perlu prihatin atas deretan keluhan atau lara presiden yang sering
disampaikan ke publik dengan ekspresi wajah sendu dan tubuh gagah. Presiden
memang memiliki batas kesabaran, kelemahan, kegenitan. Presiden itu jabatan
sangar, tapi tak melarang ada keluhan alias "curhat". Kita terlalu
biasa mendapat curhat dari para artis di acara gosip-gosip televisi, mulai
asmara sampai pakaian. Pelbagai hal disampaikan dengan dramatis. Penonton
terharu. Ingat, presiden itu tokoh terhormat! Presiden berbeda dengan artis.
Kita tentu ingin presiden tak gampang mengumbar keluhan di pelbagai acara.
Kebiasaan mengeluh bakal membuat kita risi, tak lagi terharu atau turut
bersedih.
Apakah kita sedang membuat gosip untuk SBY? Presiden tak pantas diserbu dengan gosip. Sembilan tahun, SBY telah menghimpun ratusan sampai ribuan kritik dan fitnah. Kita tak ingin menambahi antologi gosip bagi biografi politik SBY. Urusan keluhan presiden adalah kegawatan dalam politik Indonesia. Kebiasaan mengeluh bakal membuat "drama politik" mirip "drama artis" di televisi dan tabloid-tabloid gosip. Aduh! Di Bengkulu, 9 Februari 2014, SBY berkata: "Dalam sepuluh tahun terakhir, saya merasakan sikap sinis dan kurang bersahabat dari pers terhadap saya." Kita tak kaget lagi jika presiden berpidato dengan pilihan kata yang mengandung pengertian jelek, buruk, negatif. SBY memang rajin menggunakan kata-kata berkaitan nasib apes di mata pers: gosip, kritik, gunjingan, sinis, kecaman, minir, fitnah. SBY melanjutkan: "Tiada hari tanpa kritik dan kecaman. Tiada hari tanpa gunjingan dan desas-desus untuk saya dan keluarga saya" Kebiasaan SBY menggunakan kata-kata itu bisa mengganggu pengetahuan bahasa publik dalam kehendak politik beradab. Pilihan kata SBY pun membuat kamus bahasa cenderung memuat "luka" dan "lara". Kata-kata yang digunakan dalam politik bergelimang pengertian-pengertian yang berkebalikan dari ajaran etika dan adab. Kumpulan kata itu tak cuma diucapkan oleh SBY dalam pelbagai pidato. Bacalah buku berjudul Selalu Ada Pilihan (2004) garapan SBY! Pembaca pasti menemukan kata-kata itu digunakan tak jemu, berulang, dan melimpah. Pembaca bisa membuat indeks agar bisa menghitung jumlah pemakaian kata, berlanjut menafsirkan bahasa kejiwaan SBY, dan situasi politik Indonesia. SBY adalah ahli pidato dan ahli menulis meski cenderung berpihak ke kata-kata beraroma negatif. Kita mesti mengingat petuah Dorothea R.H. dalam puisi berjudul Sampah Kata-kata. Puisi bersinggungan dengan tokoh dan situasi politik mutakhir. Dorothea menulis: aku tersesat di negeri sampah kata-kata/ kubangun rumah kecil dalam puisi hati nurani. Dua larik puisi, ajakan bagi kita tak terlena dengan Indonesia sebagai "negeri sampah kata-kata." Kita sering membuat sampah kata, membuang secara sembarang. Apakah kata-kata dari SBY termasuk menambah timbunan "sampah kata-kata" di Indonesia? Kita menjawab berbekal ingatan dari pelbagai pidato dan pembacaan atas tulisan-tulisan SBY. Bukalah buku Selalu Ada Pilihan! Ada tulisan-tulisan berjudul sangar: Tiada Hari Tanpa Kritik dan Kecaman, Hujan Fitnah yang Sambung-menyambung, Kecurigaan yang Tiada Henti, Kata-Kata Bisa Sangat Kasar dan Kejam, Pers Bisa Sangat Kritis dan Sangat "Minir" Tetapi Ada Juga Baiknya, Keluarga dan Teman Pun Ikut Jadi Korban. Sekian judul itu bukan judul puisi, tapi judul artikel berisi "curhat" atau pengalaman SBY menjadi presiden, sejak 2004. Judul-judul puitis. Apakah dipengaruhi kebiasaan SBY menggubah puisi dan lagu? Puitis tak selalu menimbulkan imajinasi keindahan, kebaikan, kedamaian. Di artikel-artikel berjudul puitis, SBY sering menulis dengan kata-kata mengenai kesedihan, hati terluka, korban, derita. Dari alinea ke alinea, artikel-artikel SBY adalah refleksi demi melawan serangan para juru fitnah, gosip, kritik. SBY "melawan" dan membuat pembelaan dalam ratusan halaman. Apakah sikap SBY dalam pidato dan tulisan berbeda? Kita tentu menjawab: sama. Kita diharapkan untuk "mengasihani" dan menghormati SBY agar terbebas dari segala keburukan. Kutipan puisi mesti kita suguhkan ke SBY, ikhtiar tak larut dalam derita kata. Subagio Sastrowardojo mengingatkan: "Kata sejati menjelma ketika nasib tak lagi terderita". Kata-kata masih mungkin dipergunakan dengan maksud kebaikan, kehormatan, kemuliaan. SBY mesti memilih kata agar politik menjadi puitis, mengandung imajinasi girang, suka cita, kebahagiaan. Berkata pun adalah berpuisi demi politik beradab. Begitu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar