Menjaga Warisan Arkeologi
Djulianto Susantio ; Arkeolog
|
TEMPO.CO,
12 Februari 2014
Arkeologi dipandang sebagai ilmu yang kering
karena sering diidentikkan dengan penanganan benda-benda budaya masa lampau
dari dalam tanah saja. Negara kita yang sangat luas, dengan masa lampau yang
cemerlang, menjadikan ladang penelitian begitu beragam. Hal itu pula yang
menyebabkan arkeologi sebenarnya tidak kering. Yang kering justru anggaran
yang diterima dari pemerintah untuk konservasi.
Di lain pihak, kita menghadapi kendala minimnya apresiasi masyarakat terhadap warisan-warisan masa lampau. Kemungkinan banyaknya pelecehan terhadap warisan-warisan arkeologi disebabkan oleh masih sangat terbatasnya tenaga arkeolog yang ada. Bayangkan, kita memiliki 30-an provinsi, sebaliknya jumlah arkeolog yang ada begitu minim. Ada berbagai penyebab kelangkaan tenaga arkeolog. Pertama, karena penerimaan tenaga arkeolog tidak dibuka setiap tahun, meskipun satu per satu arkeolog senior mulai pensiun. Di pihak lain, para arkeolog muda enggan ditempatkan di daerah terpencil. Masalah penghasilan bisa saja menyebabkan banyak arkeolog enggan berkiprah di bidangnya. Begitulah, sejak dulu banyak sekali pencemaran atau pelecehan terhadap warisan-warisan arkeologi karena kurangnya tenaga pengawas, penyuluh, penjaga, pelestari, dan lain sebagainya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana agar kita bisa memberdayakan masyarakat. Di banyak tempat, terlihat pola pikir masyarakat sudah berubah, umumnya menjadi konsumtif dan ekonomis. Karena pola pikir inilah ketidakpedulian sering terjadi. Meskipun di suatu tempat ada situs, misalnya, bila mereka ingin menanam, ya, mereka akan tetap menanam. Kasus seperti ini selalu berulang di perkebunan kentang yang terdapat di situs Percandian Dieng. Masyarakat di sekitar Trowulan umumnya tahu bahwa bata-bata merah yang tersisa adalah peninggalan Kerajaan Majapahit. Namun mengapa mereka tetap menggerusinya untuk dijadikan bahan baku pembuatan semen merah, ya, karena masalah ekonomi dan kebutuhan perut: konsumtif dan ekonomis. Bukan hanya rakyat kecil, pengusaha kelas kakap pun sama saja. Situs Rancamaya di daerah Bogor sudah banyak disorot di media cetak sebagai peninggalan Kerajaan Pajajaran. Apa yang terjadi kemudian? Di area situs tetap berdiri berbagai perumahan mewah, sehingga menenggelamkan upaya pemahaman akan masa lampau masyarakat Sunda. Padahal banyak intelektual terdapat di jajaran perusahaan real estat itu. Mereka seolah-olah tidak tahu, tidak mau tahu, pura-pura tidak tahu, atau tidak mau peduli, entahlah. Memberdayakan masyarakat tentu bukanlah hal yang mudah. Padahal, kalau masyarakat sadar betul bahwa di daerahnya terdapat situs, yang untung adalah masyarakat sekitar juga. Artinya begini, bila situsnya terpelihara, maka bisa mendatangkan wisatawan, sehingga desa tersebut menjadi terkenal. Banyak wisatawan berarti banyak lapangan pekerjaan. Berbicara arkeologi tentulah tidak bisa dipisahkan dari kepariwisataan. Memberdayakan masyarakat juga tidak ubahnya meningkatkan taraf hidup mereka. Menjaga warisan arkeologi sekaligus meningkatkan kegiatan pariwisata, jelas perlu rumusan-rumusan tertentu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar