Pertumbuhan Tanpa Pembangunan
Setyo Budiantoro ; Direktur Eksekutif
Perkumpulan Prakarsa,
Pengajar Pascasarjana Kajian Kemiskinan Universitas
Brawijaya Malang
|
KOMPAS,
12 Februari 2014
PERTUMBUHAN ekonomi Indonesia
naik 5,78 persen pada 2013. Namun, ironisnya kemiskinan justru bertambah 0,48
juta orang.
Target penurunan kemiskinan
menjadi 9,5-10,5 persen meleset jauh karena kemiskinan justru meningkat
mendekati 11,5 persen dan intensitas kesengsaraan orang miskin makin hebat.
Pengangguran juga bertambah.
Pengangguran terbuka bertambah 220.000 orang atau meningkat 6,25 persen.
Berarti meleset dari target penurunan 5,8-6,1 persen pada 2013. Pengangguran
terdidik bertambah, kecuali pada level SD ke bawah dan SMP. Ironis, makin
terdidik justru menganggur.
Makin banyak ekspresi kekecewaan
dan frustrasi karena pemerintah tak mampu menyejahterakan masyarakat. Menurut
survei, ketidakpuasan publik terhadap pemerintah mendekati 85 persen (Kompas,
18/12/14). Mengapa pembangunan progrowth tak
mampu mewujudkan propoor dan projob seperti yang
dijanjikan?
Pembangunan mundur
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
tahun ini terendah dalam empat tahun terakhir. Yang lebih mengkhawatirkan
lagi adalah struktur ekonomi kita. Dalam 10 tahun terakhir, ekonomi Indonesia
kembali mengandalkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) mentah. Ini
kemunduran besar karena seperti kembali ke tahap awal pembangunan.
Tahun 2004 kontribusi sektor
penggalian dan pertambangan tak sampai 9 persen dari produk domestik bruto
(PDB), tetapi setelah itu meningkat hingga mendekati 12 persen.
Berbagai komoditas Indonesia hasil
eksploitasi SDA membanjiri dunia tanpa nilai tambah berarti. Kita tidak mampu
memanfaatkan rantai nilai komoditas global. Indonesia hanya menyuplai
komoditas mentah atau semimentah, nilai tambahnya dimanfaatkan oleh
negara-negara lain.
Deindustrialisasi prematur
Kontribusi industri pengolahan
Indonesia menurun drastis sejak 2004 dari lebih dari 28 persen terhadap PDB
merosot menjadi kurang dari 24 persen pada 2013. Sektor industri pengolahan
yang tidak berkembang membuat proses rantai nilai (value chains) dan nilai tambah (value added) lunglai. Kemampuan industri pengolahan menyerap
tenaga kerja pun melambat.
Studi dari Harvard Kennedy School
(2013) juga memperlihatkan ekspor industri manufaktur merosot dari 57,1
persen pada tahun 2000 menjadi 37,5 persen dari nilai total ekspor pada 2010.
Maka, penyerapan tenaga kerja mengecewakan, terutama di sektor manufaktur.
Pertumbuhan ekonomi naik, tetapi penyerapan tenaga kerja loyo.
Sebenarnya negara-negara maju,
seperti Jerman, Amerika Serikat, Swedia, dan Inggris, juga mengalami
deindustrialisasi. Namun, itu terjadi saat pendapatan per kapita telah
mencapai 9.000 dollar-11.000 dollar AS per tahun. Sektor industri mulai
mengalami kejenuhan sehingga menurun kontribusinya terhadap PDB, lalu sektor
jasa meningkat.
Indonesia mengalami apa yang
disebut Rodrik (2014) deindustrialisasi prematur. Deindustrialisasi terjadi
ketika pendapatan per kapita masih 3.000 dollar AS per tahun lalu bergeser ke
pertumbuhan cepat di sektor jasa dan kembali mengandalkan eksploitasi SDA.
Serapan tenaga kerja sektor jasa keuangan dan telekomunikasi jauh lebih kecil
daripada industri pengolahan.
Pertanian terpuruk
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sangat concern dengan
persoalan pembangunan dan menyampaikan pembangunan pertanian adalah kunci
mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Akan tetapi, apa yang terjadi jauh
dari realitasnya.
Selama 2005-2012, volume impor
beras, jagung, kentang, dan kubis justru melonjak 10 kali lipat atau
meningkat lebih dari 100 persen setiap tahun. Yang terburuk justru impor
beras yang melonjak hampir 150 persen per tahun. Impor ubi kayu olahan
meningkat 8 kali lipat dan pisang berlipat 5 kali pada kurun waktu yang sama.
Bahkan, impor cabai segar berlipat hampir 7 kali selama empat tahun terakhir
atau melonjak 160 persen per tahun.
Dengan banjir bandang impor produk
pangan, jelas sektor pertanian Indonesia makin terpuruk. Belum lagi impor
ternak atau daging. Seperti diketahui bersama, mayoritas kemiskinan terjadi
di pedesaan dan mereka hidup dari pertanian. Realitas itu membuat orang
miskin di desa makin miskin.
Kesenjangan melonjak
Sisi lain ekonomi Indonesia adalah
orang kaya bertambah banyak dan makin kaya. Credit Suisse melaporkan,
pertumbuhan jumlah orang kaya di Indonesia tercepat di dunia dengan
peningkatan 5 kali lipat dalam satu dekade. Perkumpulan Prakarsa menghitung,
pada 2008 akumulasi kekayaan 40 orang terkaya setara dengan kepemilikan 30
juta penduduk, lalu pada 2011 melonjak setara dengan kepemilikan 77 juta
penduduk.
Perbankan adalah entitas mayoritas
yang menguasai sektor keuangan. Jumlah total tabungan di perbankan kini
mencapai lebih dari Rp 3.500 triliun. Namun, kurang dari 0,6 persen pemilik
rekening menguasai lebih dari 70 persen tabungan atau sekitar Rp 2.500
triliun. Artinya ketimpangan sudah makin mengkhawatirkan. Indonesia mengalami
kesenjangan terburuk sepanjang sejarah, tampak rasio gini yang sudah berada
di 0,41.
Dudley Seers, seorang ekonom
pembangunan terkenal dari Oxford, menulis The Meaning of Development pada 1970-an. Dia
mengatakan, tolok ukur pembangunan ada tiga, yaitu apa yang terjadi dengan
kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan. Jika salah satu memburuk,
sangatlah aneh disebut pembangunan meski pendapatan berlipat.
Sedihnya, di Indonesia ketiganya
kini memburuk. Inilah yang disebut pertumbuhan tanpa pembangunan. Ekonomi
tumbuh, tetapi kesejahteraan masyarakat justru terpuruk. Semoga pemerintahan baru nanti mengubah haluan pembangunan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar