Memilih Ratu Adil
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen
Politik FISIP Universitas Airlangga; Kandidat PhD Asia Research Center
Murdoch University
|
KOMPAS,
12 Februari 2014
SAAT ini sudah jamak bila kita
mendengar kebencian publik terhadap dunia politik atau kinerja politisi dan
pemimpin.
Alasan umum yang kerap
kali muncul, setelah terpilih melalui prosesi politik elektoral, kerap kali
pemimpin politik melupakan konstituen dan mandat yang telah mereka pegang.
Publik kemudian kembali tersisihkan di pinggir arena.
Apabila kita runut ke
belakang, boleh jadi persoalannya lebih pelik dari sekadar pengkhianatan
mandat. Masalah muncul sejak di awal. Ketika publik mengantarkan politisi
menjadi pemimpin, kita sering kali memperlakukan mereka ibarat ratu adil:
hanya mengelu-elukan mereka dengan cek kosong untuk menyelesaikan segala
masalah di tengah menumpuknya kekecewaan. Ketika hal ini terjadi, kerap kali
kelanjutannya bukanlah sebuah perubahan yang lebih baik. Harapan tidak
menjelma menjadi kenyataan dan gelap tidak berubah menjadi terang.
Fluktuasi politik
Kondisi seperti inilah
yang mungkin saja muncul menjelang suksesi kepemimpinan nasional 2014, di
tengah mulai tumbuhnya loyalitas serta fanatisme terhadap figur yang
diproyeksikan sebagai ratu adil baru. Saat mengusung figur politik yang akan
ditampilkan sebagai pemimpin nasional, seperti sosok Joko Widodo, Prabowo
Subianto, dan tokoh-tokoh lainnya, kita melupakan kerja untuk membangun
dialog intensif antara agenda-agenda publik sebagai tawaran perubahan dengan
program dan janji para pemimpin untuk memimpin Indonesia ke depan.
Tulisan ini tidak
ingin mengkritik tampilnya para politisi dengan kapasitas ataupun
performanya. Tulisan ini ingin mengoreksi bagaimana saat ini penciptaan opini
tentang para calon pemimpin yang dianggap dapat membawa perubahan telah
melupakan agenda penting tentang apa yang seharusnya diubah untuk Indonesia
yang lebih baik. Juga daftar perubahan apa saja yang harus dimasak dan
dikelola oleh tuntutan publik dan bagaimana mengubahnya dengan
kebijakan-kebijakan konkret di tengah kondisi yang ada. Ketika hal ini absen
dalam aksi politik yang kita lakukan pada momen suksesi 2014, alih-alih
sebuah perubahan otentik, yang terjadi adalah lahirnya kekecewaan baru karena
ternyata figur pemimpin yang kita usung bekerja dengan pikirannya sendiri:
tidak berdasarkan rujukan konkret dari aspirasi pemilihnya.
Ada hal yang patut
dicermati untuk direnungkan agar momen perubahan 2014 tidak terantuk pada
tembok sejarah fluktuasi harapan dan kekecewaan seperti sebelumnya. Kerap
kali dalam momen suksesi politik demokratis, para intelektual ataupun elite
bersikap partisan dengan menyodorkan figur pemimpin, tetapi melupakan bahwa
dalam demokrasi adalah entitas civil society, bukan elite yang
menentukan perubahan.
Di tengah antusiasme
tentang figur pemimpin yang akan menghadirkan perubahan, kita melupakan
pentingnya menata dan mengelola agenda-agenda publik serta prioritas yang
terukur untuk memengaruhi masa depan politik, juga mengawasi arena politik
dan kepemimpinan nasional. Alih-alih membentuk perubahan politik di masa
depan, situasi seperti ini berpotensi menciptakan tokoh sentral dalam sorotan
cahaya panggung opera dan menjadikan rakyat tak lebih sebagai penonton.
Padahal, dalam proses demokrasi, para aktor strategis seperti intelektual,
tokoh masyarakat sipil, dan elite politik memiliki tugas sejarah untuk
bersama-sama mendewasakan proses politik ataupun interaksi antara pemimpin
dan rakyatnya.
Seperti diutarakan
Matthew Flinders (2012) dalam Defending
Politics: Why Democracy Matters in Twentieth First Century, bahwa
apatisme politik kerap berawal dari ketergantungan politisi terhadap
konstituen. Ini yang membuat mereka menebar janji-janji populis, sementara
rakyat memercayai janji-janji tersebut tanpa syarat. Dalam kondisi demikian,
jalan untuk merehabilitasi ranah politik membutuhkan hadirnya kedewasaan
berpolitik.
”Negara pengurus”
Kedewasaan berpolitik
dibangun melalui dua ukuran. Pertama, tampilnya barisan warga negara aktif
yang berpartisipasi dalam penentuan agenda-agenda politik konkret. Kedua,
munculnya pemimpin yang mampu membuat skala prioritas kebijakan (dari agenda
yang telah dirumuskan warga) yang memungkinkan dapat dieksekusi sesuai
kapasitas politik yang dimilikinya.
Melalui hubungan
antara negara dan masyarakat sipil yang intens, arena demokrasi menjadi arena
pembelajaran, di mana rakyat berpartisipasi menentukan program politik untuk memengaruhi kebijakan ataupun mengevaluasinya.
Warga negara yang aktif dan dewasa menyadari, pemimpin bukanlah superhero
yang dapat menyelesaikan segala persoalan. Pemimpin hanyalah agensi yang
diberi mandat sebagai aktor yang menjalankan perannya—meminjam istilah Mohammad
Hatta—di dalam negara pengurus.
Dalam relasi antara
negara dan masyarakat sipil di dalam konstruksi negara pengurus, bukan saja
negara dan aparatusnya dibatasi untuk tidak memiliki kekuasaan tak terbatas,
tetapi dinamika kehidupan politik bernegara juga ditentukan pertama-tama oleh
inisiatif-inisiatif perubahan oleh warga negara. Agenda-agenda itu kemudian
dirumuskan dalam skala prioritas kebijakan oleh aparat negara sebagai
pengelola di dalam bangunan negara pengurus.
Sebagai ilustrasi,
kita dapat belajar pada capaian-capaian politik progresif dari negara lain
seperti Amerika Serikat. Keberhasilan perjuangan untuk meruntuhkan segregasi
rasial dan menegakkan kebebasan sipil bukanlah dihasilkan dengan pemberian
cek kosong kepada pemimpin seperti John F Kennedy ataupun penerusnya.
Keberhasilan politik itu dibangun melalui sejarah perlawanan dan pengelolaan
agenda politik pergerakan sosial dari akar rumput; dari politik warga negara
yang dengan tekanan ataupun aksi kolektif mampu mendesakkan elite politik
untuk merealisasikan tuntutan politik tersebut menjadi sebuah perubahan
konkret.
Demikian pula yang
harus kita cermati untuk menentukan masa depan republik ini dengan segenap
persoalan di dalamnya. Kalangan aktor-aktor strategis yang menjadi pembentuk
opini dalam tahun politik 2014 seharusnya tidak hanya mendorong sentimen
militansi publik kepada calon pemimpin. Kita tidak hanya berfokus pada
nama-nama calon pemimpin sebagai kandidat ratu adil.
Tugas awal yang
mendesak sebelum masuk pada langkah politik selanjutnya adalah mengikatkan
agenda-agenda perubahan fundamental dalam republik demokratik kepada para
kandidat dengan berpartisipasi dan mengawasi jalannya pemerintahan dengan
menyadari batasan kondisi-kondisi yang ada.
Jalan pencerahan
politik seperti ini penting untuk diambil agar nanti kita tidak sekadar
memilih ratu adil, kemudian terantuk pada kebencian yang lebih dalam pada
ruang politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar