Minggu, 02 Februari 2014

Peka

Peka

Samuel Mulia ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS,  02 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Nyaris setiap pagi seorang teman memposting foto dirinya di media sosial. Kalau saya katakan foto dirinya, itu tak hanya wajahnya, tetapi termasuk juga sepatunya, topinya, dan semua atribut yang menempel di raganya.

”Bad Boy”

Soal foto wajah, ia mengategorikan dengan kondisi jiwanya saat itu, bukan berdasarkan berbagai gaya yang disuguhkan. I am feeling blue, misalnya atau, capek banget hari ini. Kalimat yang terakhir ini menyertai foto dirinya yang sedang dalam keadaan tidur. Anda jangan menanyakan saya, siapa yang diperintahkannya untuk mengabadikan dirinya dalam kondisi mata tertutup itu.

Hal yang menarik bukanlah soal foto-foto dirinya, tetapi komentarnya berikut ini. Buat kalian yang merasa foto-foto selfie ini membosankan, gak papa kok saya di unshare aja. Awalnya, saya hanya membaca sekadarnya. Itu saja karena membaca melalui gadget milik seorang teman dekat, karena baru beberapa minggu terakhir ini saya memutuskan untuk berhenti sementara menggunakan media sosial apa pun bentuknya.

Membaca beberapa postingan di media sosial itu lumayan menarik. Menarik itu ada dua. Menarik beneran, dan menarik yang membingungkan. Nah menarik yang membingungkan itu, yaa...postingan yang disertai pernyataan macam contoh di atas tadi.

Setelah mengulang membaca pernyataan teman di atas, saya mulai berpikir, bahwa sesungguhnya, pernyataan itu menggambarkan kalau ia sendiri menyadari bahwa apa yang diperbuat itu akan berdampak menjengkelkan banyak orang.

Kalimatnya yang tampak mulia itu, sejujurnya hanya alat melindungi dirinya sendiri atas perbuatan yang sejak awal, sudah disadarinya akan memiliki akibat buruk. Kalau orang lain meng-unshare, artinya tindakan itu adalah tindakan yang dilakukan orang lain dan bukan dirinya.

Artinya, yang akan menjadi bad boy-nya adalah orang lain dan bukan dirinya. Padahal, pernyataan yang dibuatnya itu adalah sebuah tindakan seseorang yang sungguh bad. Tetapi, ia tidak akan dihakimi demikian, karena ia hanya membuat pernyataan.

Secara normal, manusia yang bernurani sehat, akan menghindari melakukan sebuah perbuatan tidak baik termasuk mencegah dirinya sendiri dari  azzsazmemposting hal buruk di sebuah ranah publik. Itulah pentingnya memiliki nurani yang ”empat sehat lima sempurna”. Orang yang nuraninya sehat akan memiliki kepekaan.

”Do Not Disturb”

Seperti yang pernah saya tuliskan, tahun 2013 adalah tahun yang penuh siksaan buat saya. Sehingga tahun ini, saya memutuskan untuk menjauhi sumber kesakitan itu yang salah satunya, adalah hubungan dengan beberapa teman.

Memasuki tahun baru, tepat pada 1 Januari, saya mengetok palu untuk melarikan diri dari mereka yang membuat hidup saya seperti neraka. Saya sendiri tak tahu sampai kapan pelarian itu akan terus terjadi, tetapi setelah menjalaninya selama satu bulan lebih sedikit, harus saya akui hidup saya jauh lebih sehat dan menyenangkan.

Baru saya ketahui bahwa satu dari sekian cara untuk memelihara kondisi sehat nurani dan pertemanan adalah memutuskan pertemanan itu. Bukan memusuhi. Maka segala bentuk cara berhubungan dengan mereka saya putuskan. Untuk sementara, saya tak mau terganggu. Saya sedang menggantungkan tanda do not disturb.

Keputusan saya untuk menjadi sehat, ternyata telah dianggap sebagai sebuah tindakan memusuhi oleh mereka yang menjadi sumber kesakitan itu. Di sinilah saya makin yakin bahwa nurani yang sehat itu akan membantu seseorang untuk peka mengerti dengan benar antara memutuskan dan memusuhi.

Kalau seseorang memiliki kepekaan karena nurani yang sehat, maka seseorang itu akan mengerti mengapa orang lain memutuskan menjauhinya, kemudian ia mengintrospeksi diri, dan berani mengakui bahwa ia memang berbuat kekeliruan yang membuat orang lain memutuskan hubungan.

Dalam waktu yang bersamaan, cerita miring itu menyemangati saya untuk belajar menaikkan tingkat kepekaan saya yang memang rendah sekali sebagai seorang teman. Saya sedang berusaha menghindari menjadi tidak peka. Teman dekat saya pernah berkomentar begini. ”Elo itu cuma punya dua cara dalam memandang hidup. Your way or no way. Enggak bisa gitu kale.

Orang itu kalau tidak peka akan menjadi mudah marah, akan menjadi mudah menghakimi. Kepekaan itu menyelamatkan banyak hal. Untuk saya dan untuk orang lain. Karena menjadi tidak peka, mau dilakukan karena sengaja atau tidak, itu mencerminkan sebuah ketidakdewasaan seorang makhluk dewasa.

Peka itu melahirkan pengertian dan kemampuan untuk menerima, bahwa orang lain memiliki cara pandang yang berbeda, mau Anda setuju atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar