Menyikapi
Banjir dan Karakter Air di Kota Beton
Nyoto Santoso ; Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2014
Melihat
geomorfologi Jakarta, limpahan air adalah niscaya. Sebuah kota pesisir di
dataran rendah yang menjadi muara 13 sungai yang mengalir dari sebuah
pegunungan di daerah yang curah huhjannya tingi, maka sudah sepantasnya,
Jakarta adalah kota air.
Enam abad lalu ketika Pangeran Jayakarta memilih Jakarta sebagai pusat kerajaan, beliau sudah tahu konsekuensinya berdasarkan geomorfologis tadi. Maka, Pangeran Jayakarta pun sengaja memelihara rawa, situ, mangrove, dan vegetasi air payau untuk ”menghiasi” Jakarta. Banyaknya sungai, rawa, dan danau membuat orang Portugis Belanda, dan Inggris yang saat itu menguasai dunia, tertarik dengan Jakarta karena mengingatkan mereka akan keindahan Venesia dan Skandinavia, tempat wisata favorit orang-orang Eropa Barat. Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Batavia, dia sebetulnya tak berminat menjadikan Batavia sebagai ibu kota ‘Hindia Belanda’. Pieter lebih suka menjadikan Batavia sebagai kota wisata. Saat itu, orangorang Belanda menjuluki Batavia sebagai ”Venesia van Java” . Kota wisata, jelas berbeda kepentingannya dengan ibu kota. Kota wisata harus dijaga keindahannya dan dijauhkan dari kepadatan lalu lintas dan penduduk yang bisa menimbulkan pemandangan buruk! Dalam kenangan orang-orang Belanda, Jakarta ini mirip dengan Venesia, kota air di Italia, yang menjadi tempat wisata favorit di Eropa. Tapi dalam perkembangannya, Jakarta akhirnya ditetapkan jadi ibu kota. Dan sebagai ibu kota, Jakarta terus mengalami perkembangan baik dalam jumlah penduduk, perumahan, perkantoran, industri, perdagangan, dan lain-lain. Sedikit demi sedikit ”Venesia di Java” itu berubah menjadi ”Kota Beton di Jawa” . Rawa Mangun, Rawa Bokor, Rawa Jati, Rawa Buaya, Rawa Sari, dan rawa-rawa lain yang jumlahnya ratusan—kini telah berubah menjadi hamparan beton—bukan hamparan air lagi. Di atas rawa-rawa tersebut, kini telah berdiri hotel, perkantoran, pusat perdagangan, perumahan, dan lainlain yang semuanya antitesa dari air. Maka jadilah kota yang dulu terkenal sebagai kota air, sekarang terkenal sebagai kota beton. Bahkan, penguaasa dan pengusaha sekarang, kalau melihat rawa di Jakarta pikirannya ”gemes”—ingin segera menguruknya dan membangun pusat perkantoran terpadu, apartemen, perkantoran dan lain-lain. Apa yang terjadi kemudian? Air tetaplah air. Ia punya hukumnya sendiri. Ia mengalir sampai jauh, kata Gesang dalam lagu Bengawan Solo. Air yang seharusnya mengalir sampai jauh ini, kini tertahan ”beton-beton raksasa”. Akibatnya, perjalanan air pun terhadang. Dan sesaui sifatnya yang lentur, air mencari jalannya sendiri, sesuai karakternya. Air bisa merambat ke tembok rumah, ke tembok gedung, ke tembok kantor, dan lain-lain dengan tujuan tegas— mengalir ke tempat yang lebih rendah dan lebih jauh. Dan itulah banjir. Jika kemudian banjir itu menenggelamkan jalan, rumah, kantor, dan lain-lain— itulah hukum alam yang mau tidak mau harus terjadi. Persoalannya adalah: mampukah kita menjinakkan air? Sebagai makhluk paling cerdas di muka bumi, manusia seharusnya bisa menjinakkan air yang tumpah dari langit dalam skala gigantis ini. Caranya: ikuti hukum alam dari air. Jika kita melihat geomorfologi Jakarta, maka jangan menjadikan tempat yang rendah untuk perumahan atau perkantoran. Kenapa Kampung Melayu, Cililitan Kecil, Kampung Pulo, dan Rawa Buaya tiap tahun selalu tenggelam? Karena wilayah tersebut berada di dataran rendah. Dataran rendah seperti itu seharusnya menjadi penampungan air. Karena itu, apa yang dikatakan Gubernur Jokowi benar— penduduk di Kampung Pulo dan Cililitan Kecil yang tiap musim hujan rumahnya tenggelam harus direlokasi. Kedua wilayah tersebut mestinya, secara geomorfologis, dijadikan situ atau rawa untuk menyelamatkan penduduk sekitarnya. Rasanya berita banjir di dua tempat itu tiap tahun berulang. Jika di Bogor hujan dan ketinggianairdipintuairKatulampanaik mencapai titik tertentu, kedua tempat itu niscaya tenggelam. Tahu kondisi seperti itu dari dulu, mestinya Pemda DKI melarang keras adanya pembangunan rumah di situ. Dalam peribahasa: jika keledai saja tak mau terperosok pada lubang yang sama, kenapa manusia tidak! Jokowi pernah menggagas pembangunan ‘deep tunnel’ atau terowongan bawah tanah untuk mengatasi banjir di Jakarta dengan biaya Rp16,4 triliun rupiah. Itu bagus, tapi harganya mahal sekali. Daripada mahal, kenapa tidak mencari solusi yang murah saja asal hasilnya sama? Yaitu merevitalisasi situ dan rawa, membuat rawa baru, membuat sejuta sumur resapan, membuat semiliar biopori, dan menormalkan (mengeruk lumpur) sungai. Di Thailand contohnya, untuk mengatasi banjir, pemerintah membuat banyak sekali rawa-rawabaru. Rawa-rawabaru difungsikanganda, untukmengatasi banjir di kala musim hujan, untuk membudidayakan ikan, dan untuk rekreasi. Seandainya Kampung Pulo dijadikan rawa atau danau kecil, lalu jadi tempat wisata, niscaya lokasi wisata tersebut akan mengurangi penyakit stres orang Jakarta. Pemda DKI sebetulnya sudah punya Perda tentang sumur Resapan. Pada Perda Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No 7 Tahun 2010 tuntang Bangunan Gedung disebutkan: Sumur resapan air hujan adalah sistem resapan buatan yang dapat menampung air hujan akibat dari adanya penutupan permukaan oleh bangunan gedung dan prasarananya yang disalurkan melalui atap, pipa talang maupun saluran dapat berbentuk sumur, kolam dengan resapan, saluran porous dan sejenisnya (Bab I Pasa 1, Poin 39). Sementara pada Pasal 2 Perda tersebut dinyatakan bahwa ”Penyelenggaraan bangunan gedung harus dilaksanakan berdasarkan azas kemanfaatan, keselamatan, kenyamanan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya.” Dari Perda tersebut, jelas sekali adanya keharusan untuk membangun penampungan air hujan sesuai dengan tutupan areal gedung tersebut. Tak hanya itu, Perda tersebut mengatur juga aspek keseimbangan dan keserasianbangunangedungdengan lingkungan sekitarnya. Tafsir dari perda tersebut, logikanya luas sekali dan indah untuk diterapkan dalam mengatasi banjir. Persoalannya, apakah perda itu dilaksanakan atau dilanggar— Itulah yang jadi keprihatinan kita semua. Wagub Basuki ”Ahok” Tjahaja Purnama pernah berkata keras: Banjir di Jakarta terjadi karena dinas-dinas terkait dan BPN mengizinkan pembangunan gedung-gedung perkantoran, pusat perdagangan, dan perumahan di tempat yang tidak semestinya dan melanggar perda. Apa yang dikatakan Wagub Basuki secara terang-terangan benar! Pembangunan prasarana gedung dan jalan, misalnya, tak hanya meninggalkan prinsip-prinsip hukum fisika air, di antaranya tidak memakai bahan yang bisa menyerap air ke dalam tanah, tapi juga menyempitkan areal yang seharusnya menjadi daerah resapan. Halaman perkantoran, hotel, dan pusat perdagangan di Jakarta, misalnya, sebagian besar dibuat dari semen beton atau aspal. Padahal areal tersebut bisa difungsikan untuk resapan air. Bahkan jalan-jalan lingkungan dan jalan setapak pun dibuat dengan semen beton yang tak menyerap air. Itulah sebabnya, air hujan dan air kiriman dari Bogor akhirnya meluap dan membanjiri Jakarta. Padahal jika air itu masuk dalam tanah, bisa menambah jumlah air tanah dan mengurangi amblesan tanah di Jakarta. Sekarang persoalannya terletak pada Pemda dan kita (stakeholder) di Jakarta – apakah akan membiarkan Jakarta dari tahun ke tahun tenggelam? Jika tidak, marilah kita menata kembali Jakarta sesuai dengan hukum air. Mari kita normalisasi rawa, situ, danau yang ada di Jabodetabek, lalu kita buat juga sumur resapan di setiap rumah, sumur dalam di lingkungan sekitar dan biopori di setiap jengkal tanah. Bila perlu, bangunan-bangunan milik Pemda DKI jadi percontohan: menjadikan halaman depan, belakang, samping kiri dan kanannya sebagai kolam penampung air atau sumur resapan dalam. Tentu dengan tutupan yang kuat dan berongga di atasnya sehingga permukaan tanah masih berfungsi sebagai tempat parkir dan aktivitas lainnya. Mulai kapan? Sekarang! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar