Idealisme
Politisi Muda
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat
Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2014
Hanya
di dunia politik orang bisa mencapai karier serbacepat, jauh melampaui
kecepatan suara. Keputusan mendadak yang bersifat rahasia dapat membuat
seseorang meloncat secara tak masuk akal ke dalam posisi superistimewa.
Orang yang ibaratnya ”luntang-lantung” tibatiba bisa menjadi menteri. Pantas tak pantas dia menteri. Itulah dunia politik dan hak-hak istimewanya. Kita tahu loncatan karier di dalamnya tak mengenal aturan dan hukum-hukum biasa yang konvensional dan menjemukan sebagaimana di dalam birokrasi pemerintahan. Di sana orang bisa ”mati berdiri” dalam antrean sangat panjang menanti kenaikan jabatan yang bisa saja tak pernah terjadi hingga tiba masa pensiun. Dunia politik memang lain. Kita tahu kemunculan Orde Baru juga menampilkan banyak fenomena baru. Kaum muda yang betul-betul masih muda belia bisa menjadi menteri hanya karena pernah memimpin mahasiswa yang turun ke jalan secara patriotik untuk merombak mentalitas para pemimpin yang telah menjadi beku. Idealisme anak muda ini tinggi menjulang hingga langit di atas sana merasa cemas bakal terdesak makin ke atas, di mana ruang kosong sudah tak tersedia lagi. Tapi, demi berlalunya waktu, apa yang tampak menggelembung itu kempes dengan sendirinya dalam waktu cepat di tengah kenyamanan hidup mapan yang tak terduga. Itu nasib baik generasi 1960- an. Generasi 1940-an beda lagi. Zaman itu kaum muda berpolitik dengan pertaruhan nyawa dan kebebasan pribadi demi perjuangan kemerdekaan dengan semangat patriotisme yang tak kalah membara. Mereka bekerja keras, dikejar-kejar pemerintah jajahan, ditangkap, dibuang, dan dipenjara untuk dilumpuhkan. Tapi, mereka tak pernah lumpuh. Corak kepemimpinan mereka memang lain: lebih matang, lebih mendalam, dan lebih penuh penghayatan akan makna hidup yang sering getir dan penuh tragedi. Ketika generasi ini berhasil memerdekakan bangsanya, mereka siap, terlatih, dan matang menjadi pemimpin. Tidak ada kejutan dadakan. Tak ada orang ”pinggir jalan” yang digiring ke jabatan tinggi. Semua profesional. Semua terpelajar. Semua siap saling mengakomodasi. Semua berwatak inklusif. Wawasan mereka tertuju hanya pada satu titik: keindonesiaan. Citra Indonesia itu mereka bayangkan sebagai ”rumah” bersama. Kalau dirumuskan dalam idiom politik-kebudayaan kontemporer, sebutan mereka itu ”kaum pluralis” yang terbiasa hidup dalam tatanan ”multikultural”. Tidak ada seorang pun tokoh culas yang memainkan politik keagamaan dengan pikiran ”kotor” hanya demi memanjakan keserakahan politiknya sendiri. Dalam dua dekade terakhir ini, ada pencarian kembali dengan sungguh-sungguh akan makna dan sikap ”inklusif”, ”akomodatif”, dan semangat bersaudara yang dulu menjadi cara hidup leluhur kita. Kini kita juga rindu pada hidup yang menghargai multikulturalisme dan akrab terhadap pluralitas budaya yang dicontohkan para leluhur kita sendiri. Kita gigih berjuang mengembalikan ”zaman emas” itu dengan rasa penasaran, adakah itu mungkin untuk diwujudkan. ”Kita?” Siapa ”kita” di sini? Masih adakah orang yang memiliki kerinduan seperti itu?”
Kehidupan
pada hari-hari ini memang agak pengap. Politisi, juga yang muda-muda,
memandang politik secara gersang; politik hanya jenjang meraih kekuasaan.
Wawasan dan sikap sebagian tokoh bisnis dan militer sama kering kerontangnya. Orangorang itu pun menganggap politik sekadar sebagai jalan meraih kekuasaan dan selesai. Kalau ditanya, kekuasaan untuk apa? Untuk kekuasaan itu sendiri? Untuk menindas rakyat? Untuk memupuk kekayaan? Bukankah ada keluhuran lain: kekuasaan untuk memenuhi idealisme bahwa dengan kekuasaan di tangan kita bebaskan bangsa dari kebodohan, ketertindasan, kemiskinan, dan tindak kekerasan yang tak mengenal dialog dan kompromi? Dengan kata lain, politik untuk kekuasaan dan demi kekuasaan itu sendiri pendeknya haram jadah. Suara seperti ini, alhamdulillah, juga muncul di tengah kita, dari kalangan pebisnis, orang baru sama sekali di dunia politik, kaum muda, dan wanita. Dia punya idealisme sendiri mengenai cara mengoperasikan kekuasaan. Politisi muda, orang baru ini, namanya Fahira Idris. Orang boleh memanggilnya Ira. Dari dunia bisnis dia mencoba beralih ke politik. Ini menyiratkan suatu tanda: dia berpolitik bukan karena mencari pekerjaan. Beda betul bila dibandingkan dengan beribu-ribu orang lain, yang berduyun-duyun masuk politik tanpa gagasan, tanpa idealisme, selain pragmatisme kering dan dangkal: demi cepat kaya, cepat terkenal, dan mentereng. Kegembiraan berpolitik dan nuansa rohani di dalamnya hendak ditampilkan anak muda ini. Dia menepis anggapan bahwa politik itu kotor. Dia juga menolak penilaian bahwa politisi pun dengan sendirinya kotor. Tidak. Politik bisa dibikin punya rohani. Politisi bisa tampil dengan wawasan dan sikap sekaligus dengan tindakan- tindakan mulia yang didambakan para ”empu kehidupan” yang memberi contoh kebajikan hidup dan segenap kemuliaan. ”Bagi saya,” katanya, ”Politik bisa menjadi sarana memecahkan persoalan-persoalan penting yang sedang dihadapi masyarakat dan bangsa. Politik harus bisa menjadi sahabat kaum muda. Saya merasa mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa dengan jalan politik itu masalah-masalah kaum muda kita pecahkan. Pendidikan kaum muda, langkah mencerdaskan kehidupan mereka, dimulai dari sikap politik, diteruskan dengan keputusan politik, dilaksanakan melalui birokrasi, yang dikontrol oleh kesadaran yang punya warga moral yang jelas. ”Ini semua memang kelihatan sederhana, tapi pelaksanaannya ruwet dan kompleks. Bagi saya, yang penting di sini ialah bukti bahwa politik tidak harus kotor dan bahwa politisi tidak harus buruk. Politik itu mulia menurut saya,” katanya lagi. Ira, kompletnya Fahira Idris, putri Dr Fahmi Idris, pengusaha sukses, politisi senior, yang tak tampak hiruk-pikuk di media, tapi jelas membawa ‘wong bejo’, orang beruntung, diberkati. ”Wong bejo” tak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Lebih-lebih beliau juga taktis, ”skillfu”’. Bersih citra politik dan birokrasinya. Menjabat menteri di zaman Habibie, memperoleh lagi jabatan sama di zaman Gus Dur. Diteruskan lagi di zaman SBY. Dalam tiga periode itu beliau ”clean”. Fahira, dengan kapasitas yang berbeda, semangat dan pengalaman di zaman berbeda, muncul di dunia politik. Dia membuktikan kebenaran pepatah ”buah tak jatuh terlalu jauh dari pohonnya”. Tapi dia bukan bayangan sang ayah. Dengan kepribadian yang lain dan karakter khas ”anak zamannya” dia buktikan, kalau bisa berbisnis dengan baik, mengapa berpolitik tidak? Dia mau maju menjadi DPD RI untuk DKI Jakarta. Gagasan dan strategi politik yang hendak ditempuhnya? Biasakan kaum muda untuk hidup tanpa kekerasan, siap menghadapi persoalan dengan berunding, buka kesempatan dialog, dan jangan dirangsang untuk mencari menang-menangan sendiri. Kebenaran lebih penting dari kemenangan. Apakah ini artinya? Watak inklusif, akomodatif, dan memberi orang lain ruang gerak yang fair, adil, jujur, untuk menunjukkan bahwa politik itu punya banyak sisi keagungan. Sekali lagi, ini bukti, politik bukankah politik tidak kotor? Apa lagi? Dia diam-diam juga merindukan apa yang mulia dalam politik akomodatif, respek pada pluralitas, yang dicontohkan para leluhur kita tadi. Pesan sang ayah? ”Tak usah disebut.” Katanya. Baik, saya, yang menulis pemikirannya, memberinya tantangan yang pasti tak mudah: politisi dengan idealisme, bukan segalanya. Jadi, jangan bikin idealismemu mati muda seperti banyak contoh mengecewakan dalam sejarah politik yang terus bergulir sejak dulu hingga hari ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar