Sabtu, 01 Februari 2014

Kegagalan Dalam Membaca Kompleksitas Pemikiran Islam di Indonesia

Kegagalan Dalam Membaca

Kompleksitas Pemikiran Islam di Indonesia

Ahmad Syarif Syechabubakr  ;   Anggota Ruang Studi Jatinangor (RSJ),
Chief Editor Jurnal Islam As-Syiasah
INDOPROGRESS,  31 Januari 2014
                                                                                                            
                                                                                         
                                                      
ARTIKEL saudara Amin Mudzakkir mengenai lahir dan menangnya liberalism Islam di Indonesia sangat menarik. Artikel itu mengajak kita untuk kemudian menyelidiki kelahiran Islam liberal di Indonesia. Sayangnya artikel saudara Amin terkesan sangat terburu-buru dalam mendefiniskan gerakan Islam liberal, terutama ketika ia memasukkan Nurcholis Madjid (Cak Nur), Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Ulil Abshar Abdalla ke dalam satu lingkaran liberal yang seakan-akan ketiganya lahir dari tradisi intelektual yang sama. Saya rasa itu kecelakaan besar dalam artikel itu. Kompleksitas ide para intelektual Islam kemudian disadur begitu sederhana ke dalam liberalisme.

Apalagi saudara Amin tidak mendahului dengan mendefinisikan liberalisme jenis apa yang dibayangkannya. Sesaat kita bisa melihat ide liberal yang dimaksud adalah semangat terjun bebas melampaui adab dan tradisi dalam tafsir, seperti yang dilakukan Ulil. Tetapi kalau memang itu yang dimaksud, maka buku Akal dan Wahyu  karangan Harun Nasution yang menjelaskan Akal tidak pernah steril dari kepentingan dan kemashalatan Umat telah membantah ide tafsir terjun bebas ala Ulil. Atau apabila liberalisme adalah kemerdekaan subyek dari ikatan komunalnya, maka bagaimana menjawab Gus Dur yang dianggap sebagai pemersatu Umat di pesantren-pesantren di Jawa, yang bentuknya sangat komunal? Tidak ada individu yang merdeka dalam kaidah liberalisme di dalam pesantren, yang pola hubungannya sangat patron-kilen (Kiai-Santri). Gus Dur di dalam pesantren tidak ditafsirkan sebagaimana Gusdurian borjuis dan JIL tafsirkan.

Uniknya, kelompok Islam fundamentalis dan liberal sepertinya sepakat tanpa debat dengan liberalnya Gus Dur, Cak Nur dan Harun Nasution, dan kemudian juga sepakat bahwa Ulil Abshar adalah pewaris liberalisme mereka. Ini jelas menyesatkan!
Bahkan, jangan-jangan, Cak Nur, Harun Nasution dan Gus Dur adalah korban dari tafsir sederhana dari kelompok fundamentalis dan politisasi dari kelompok liberal yang memerlukan nama besar untuk menjalankan agendanya. Mengenai jargon-jargon pemikiran yang dipolitisasi adalah hal lumrah dalam konteks politik modern. Kita, misalnya, pernah melihat bagaimana konsep Ubersmensch Nietzsche kemudian digunakan oleh Nazi untuk melegitimasi ide-ide fasismenya.

Sepertinya ada kesalahan umum yang kita lakukan dalam membaca gerakan inteletualisme dan politik Islam di Indonesia, terutama dalam membaca gerakan intelektual tradisionalis. Saya akan membagi tulisan ini ke dalam dua bagian: Pertama, memberikan gambaran singkat mengenai tradisi Politik Islam di Indonesia, terutama dalam perspektif tradisional. Kedua mengenai lahirnya apa yang sekarang sering disebut sebagai cikal-bakal yang di klaim sebagai liberal Islam oleh banyak kalangan.

Islam: antara tradisi politik modern dan tradisional?

Islam di Indonesia dan dimanapun di muka bumi ini, tidak pernah menjadi sebuah gerakan ‘hanya ibadah’ saja. Dalam sejarah Indonesia, kita mendapati Perang Jawa (Diponegoro 1825-1830), pemberontakan Petani Banten (1888), Pemberontakan Aceh (1896-1901) dan lahirnya gerakan Nasionalis dan Komunis di dalam SI (Sarekat Islam) yang menggunakan warna Islam. Dalam momen-momen itu, Islam lahir sebagai sumber energi dari mobilisasi politik. Dan Islam dalam gerakan di atas menikah dengan ideologi yang lain, baik itu komunisme, ide-ide adat dan tentu saja kelompok nbasionalis. Di sini kita bisa melihat Islam sebagai idiologi yang cair, mampu menyerap yang lain di luar dirinya.

Sementara itu ada kelalaian dalam mendefiniskan politik Islam yang sepertinya hanya berfokus kepada nafsu untuk merebut kekuasaan institusional seperti Negara, dan mendirikan Negara Islam baik itu melalui jalur demokratis maupun pemberontakan. Kesalahan jenis ini sepertinya umum di lakukan oleh intelektual modern dalam menerjemahkan prilaku politik dan prilaku non politik dalam Islam. Kekuasaan dan otoritas dalam ide modern dipandang dalam konteks kekuasaan institusional, seperti Negara, Partai Politik, Institusi Militer, dll. Kekuasaan dalam pemaknaan Islam Tradisionalis tidak dipandang dan diukur melalui penguasaan atas institusi, tetapi kepatuhan individu/tubuh.

Disinilah perbedaan utama Islam Modern dan Islam Tradisionalis. Islam Modern mereproduksi kekuasaannya melalui sekolah-sekolah modern, dimana tingkat pengetahuan diukur dengan cara modern seperti tingkatan kelas, nilai raport dan prestasi individu dalam memahami pengetahuan-pengetahuan alam yang sistemis dan rasional. Inilah yang dilakukan oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad dan organisasi Islam modern lainnya pada awal 1900an.

Sementara Itu Islam Tradisionalis memproduksi kekuasaanya melalui ritual-ritual seperti Majelis Taklim, Maulid Nabi, Ziarah Kubur, membaca Wirid dengan jumlah yang ditentukan, membaca Al-Quran dengan mengulang apa yang diucapkan oleh Kiai. Transfer pengetahuan dalam Islam tradisionalis berlansung dalam ritual-ritual itu, melalui pengalaman relijius yang terkadang mistis. Melalui ritual-ritual inilah pengetahuan dan otoritas agama direproduksi. Dan ritual-ritual itu acapkali di sebut sebagai bid’ah oleh kalangan Islam Modernis.

Untuk menemukan bagaimana Islam Politik di definisikan di Indonesia, kita harus mundur lebih jauh kepada Snouk Horgronje. Horgronje adalah intelektual modern yang pertama kali mendefinisikan mengenai Islam Politik secara sistemis ke dalam kategori-kategori tertentu. Sebelumnya Sir Thomas Raffles berusaha melakukan itu, tetapi beliau tidak seberhasil Snouk Horgronje. Horgronje mendefinisikan Islam di Indonesia ke dalam tiga kategori: (1) Islam Ibadah (Ritual); (2) Islam dalam bidang sosial kemasyarakatan; dan (3) Islam Politiek.[1] Bagi Horgronje Islam politik adalah yang memberikan ancaman terhadap institusi-institusi kolonial, sehingga yang Islam tradisionalis yang berfokus pada ibadah tidak dianggap berbahaya atau apolitis. 

Klaim Horgronje ini kemudian diamini oleh studi-studi yang dipelopori oleh Cornell University AS, mengenai Indonesia modern. Saya hendak mengutip salah satu intelektual Islam modern paling berpengaruh, lulusan Cornell, Delliar Noer: ‘Dapatkah benteng Islam di Indonesia yang berpusat pada pesantren, surau, langgar dan masjid-mesjid itu yang bersifat tradisional itu mampu menghadapi tantangan ini? (Kolonialisme).’[2]Petikan dari Noer itu menyiratkan pesimisme atas kemampuan politik Islam Tradisionalis, dan di dalam bukunya Noer telah memberikan perhatian yang terlalu besar terhadap Islam Modern dan mengecilkan Islam Tradisionalis.

Pertanyaannya sekarang, apakah betul Islam Tradisionalis tidak ‘berpolitik?’ Jangan-jangan Horgronje benar, bahwa kelompok tradisionalis apolitis dan tidak bisa ‘bergerak.’ Untuk menguji aktivitas politik Islam Tradisionalis di Indonesia, kita sebenarnya bisa melihat pemberontakan-pemberontakan Islam sebelum 1900. Pemberontakan-pemberontakan itu bisa didefinisikan sebagai gerakan Islam tradisionalis, karena dipelopori oleh intelektual yang diproduksi oleh institusi dan dengan metode tradisionalis.

Salah satu yang bisa kita ambil contoh sebagai bahan diskusi adalah Pemberontakan Diponegoro. Banyak intelektual beranggapan bahwa pemberontakan Diponegoro adalah pemberontakan politik ekonomi ketika Belanda hendak mengakusisi Tegalrejo. Pendapat seperti ini, menurut saya, salah dalam mengenali posisi Islam di dalam pemberontakan tersebut. Meminjam ungkapan David. J. Banks, Islam dalam pemberontakan Diponegoro ‘as a progressive source of adat (Local Custom), and potential vehicle for the transformation of society.[3]’ Dalam konteks pemberontakan Diponegoro, Islam dan budaya Jawa berasimilasi melawan kolonial yang pada waktu itu merusak kosmologis Jawa, ketika sebagian pangeran Jawa berselingkuh dengan kolonial untuk mengganti hubungan produksi ekonomi yang berbasis Kawula-Gusti dengan basis Buruh-Majikan. Melalui penggantian itu, perkebunan dan pertanian tidak lagi meladeni tata-aturan budaya Jawa dengan ritual-ritualnya, tetapi meladeni pasar global di Eropa.

Jawa dan wilayah Indonesia lainnya sudah diperkenalkan oleh Islam dengan kata AdilHaq danHukum, sebelum sistem order colonial diakui sebagai tata-aturan publik pada 1900an. Tetapi kata-kata itu tidak kemudian sama seperti yang digunakan Islam Arab, dia berasimilasi mencerap dan dicerap oleh budaya Jawa, sehingga menghasilkan kata yang popular dikalangan masyarakat Jawa seperti Ratu Adil. 

Disinilah keunikan utama tradisi Politik Islam di kalangan Tradisionalis, yaitu sifatnya yang luwes sehingga mampu mencerap dan dicerap oleh ideologi selain dirinya.
Perang Diponegoro memberikan tiga hal kepada kita yang bisa digunakan untuk menganalisis gerakan Islam politik di Indonesia: pertama, Islam hadir sebagai ideologi yang luwes, yang kemudian membantu Umat dalam menjawab permasalahan kekinian; kedua, Islam memiliki komitmen yang kuat kepada Umat sehingga klaim terhadap kepentingan Umat dan ukhuhwah (persatuan) menjadi penting dalam gerakan politik Islam, termasuk mengenai kesejahteraan dan kebutuhan relijius dan duniawi (ekonomi politik). Umat dalam pengertian Islam Tradisionalis cenderung terikat pada lokalitas tempat ia berada, sementara dalam definisi Islam Modern relatif lebih menglobal. Ketiga,maka dari itu sebagai sebuah entitas baik Islam tradisional dan Modern tidak steril dari konstelasi politik ekonomi tempat ia berada.

Lahirnya Islam komunis, Islam nasionalis dan Islam liberal di Indonesia, menurut saya, merupakan konsekuensi dari keluwesan Politik Islam. Tetapi asumsi bahwa liberalisme yang menikah dengan Islam disamakan dengan liberalisme á la ‘Barat’ adalah kesalahan fatal, karena ketika Islam mencerap ide dan dicerap ide lain keduanya saling memodifikasi. Klaim liberal dari kacamata liberalisme ‘Barat’ akan menjadi sumber masalah dalam melihat mengapa Gus Dur menjadi sumber semangat komunal di pesantren di Jawa, Harun Nasution menolak tafsir ultra-liberal atas Al-Quran, dan Cak Nur lebih mengritik efektivitas organisasi Islam dalam menjawab kebutuhan umat.

Kelompok studi kritis Islam 1970an                                                                   

Setelah 1965 Islam Politik, terutama yang terlibat didalam politik praktis mengalami banyak sekali tekanan. Soeharto menolak merehabilitasi Masyumi, sementara NU yang aktif membantu Orba dalam meruntuhkan PKI, malah di minimalisir peranannya di dalam politik praktis. Pada 1970an, fusi partai dilakukan, gerakan politik Islam praktis mengalami pukulan besar. Mereka bukan hanya gagal mendapat dukungan dari umat, tetapi juga menunjukkan prilaku yang korup dan gagal menjawab keresahan Umat.

Pada tahun 1970an, intelektual-intelektual muda Islam mengalami keresahan luar biasa dengan situasi yang terjadi. Pada tahun 1970, kelompok studi yang terdiri dari Ahmad Wahib, Djohan Efendi, dan Dawam Rahardjo di Jogjakarta, melakukan diskusi rutin mengenai permasalahan dan ide-ide Islam di rumah Rektor UIN Jogja Mukti Ali, yang kemudian hari menjabat sebagai Menteri Agama. Djohan Efendi dan Ahmad Wahib adalah anggota aktif HMI yang pada tahun 1960 di bredel oleh Sukarno, dan kemudian ikut aktif dalam gerakan bawah tanah HMI pada era Sukarno. Setelah 1965, mereka merasa kecewa betul dengan penolakan rehabilitasi Masyumi. Lebih lagi, mereka kecewa dengan cara HMI mengambil langkah politiknya yang begitu mudah dikooptasi oleh Orba. Sementara itu di Jakarta, gerakan kritisisme Islam di pimpin oleh Nurcholis Madjid (Cak Nur). Walau mayoritas anggota HMI di Jakarta pada waktu itu berbasis di Universitas Indonesia, Cak Nur adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Dia sangat popular sehingga terpilih dua kali sebagai ketua HMI pada masa krusial pembentukan Orde Baru, 1966-1969 dan 1969-1971.

Cak Nur cukup unik, dia lahir dari keluarga NU di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur. Walau dibesarkan di keluarga Islam Tradisionalis dan lulusan Gontor, Cak Nur menolak bergabung dengan NU, dia malah bergabung dengan Masyumi yang basis pendukungnya dari Islam Modern. Di Masyumi dia malah sering di cemooh karena berasal dari keluarga NU. Masyumi memiliki kekecewaan luar biasa terhadap NU, apalagi setelah NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi setelah Muktamar di Palembang pada tahun 1952, dan kemudian mendukung NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) Sukarno yang mendepak Masyumi dan PSI.

Cak Nur yang pernah di juluki Natsir Muda ini, juga memiliki keresahan yang sama dengan apa yang dialami oleh koleganya di Jogjakarta. Tetapi beliau relatif berani memformulasikan permasalahan Umat Islam pada waktu itu, lebih lagi karena ia memiliki posisi yang strategis untuk mendefiniskan permasalahan tersebut. Cak Nur, mengamati betul bagaimana organisasi Islam pada era Orde Baru mengalami kemunduran yang luar biasa, bukan hanya konsekuensi dari sikap represif Orde baru terhadap Islam Politik, tetapi juga karena praktik korup politisi Islam baik dalam mencari keuntungan maupun dukungan politik. Sementara permasalahan Umat yang lebih luas seperti moralitas politik dan hilangnya ruang interpretasi atas permasalahan hidup Umat Islam semakin terdegradasi.

Sisa-sisa intelektual Masyumi pada waktu itu kemudian membentuk DDII (Dewan Dakwa Islam Indonesia), yang kemudian secara massif menyebarkan ide-ide Islam ke pelosok Indonesia. Tapi Cak Nur sepertinya tidak puas dengan itu. Lebih lagi dia merasa ada gap yang jauh antara elite politik dan intelektual Islam dengan umat Islam pada waktu itu.

Proyek reformasi Cak Nur

Salah satu yang juga penting di dalam pemikiran Cak Nur adalah posisi Umat yang menjadi pusat perhatiannya. Permasalahan akses terhadap keadilan dan haq dalam politik dan ekonomi adalah apa yang dihadapi Muslim di Indonesia.

Cak Nur melihat bahwa penyebab utama dari hal tersebut adalah pensakralan beberapa jargon politik Islam, yang sepertinya lepas dan tidak boleh lagi di kritik. Salah satunya adalah Negara Islam dan memasukkan Sharia kepada hukum positif, sehingga sharia adalah permasalahan bagaimana memberikan hukuman bagi yang melanggar, bukan masalah mengatur kehidupan Umat. Siapapun yang mengritik Negara Islam kemudian dianggap tidak Islami. Ini yang diresahkan oleh Cak Nur.
Maka dari itu, Cak Nur merasa perlu mereformasi pemikiran Islam. Untuk itu beliau mempelopori program reformasi pemikiran Islam dengan (1) Sekularisasi; (2) kebebasan pemikiran; dan (3) ide pembaruan dan sikap yang terbuka. Sekilas ide-ide program Cak Nur terlihat sangat Liberal.

Tetapi marilah kita membahas apa yang dimaksud dengan Sekularisasi á la Cak Nur, dan di sini saya hendak meminjam definisi Greg Barton: ‘Sekularisasi is defined by Nurcholis in contradiction to Sekularisme, the latter term being employed to designate the atheistic system of thought, or world view, that is commonly intended by use of term secular humanism. Sekularisasi he defines as being a process rather than a belief system.[4]’ Bagi Cak Nur sekularisasi adalah proses desakralisasi atau mematerialkan ide-ide Islam.

Cak Nur melalui tiga program reformasinya mencoba menurunkan ide-ide Islam yang sakral dan tidak lagi bisa diperdebatkan ke bumi, sehingga bisa digunakan dan menjawab permasalahan umat. Cak Nur berupaya menjadikan konsep-konsep yang abstrak menjadi lebih materialis. Konsep mematerialkan yang sakral ini dipinjam Cak Nur dari Muhammad Iqbal: ‘The Statement that Islam is Bolshevism plus God (Iqbal), means Muslim posses similarity in looking at the world and its problem with communist (realistic, objective, and do not make excessive valuations regarding objective materials), the difference lies in the fact that Islam holds a world-view (weltanschauung) which correlates the existence of God.’ [5]

Pada tingkat ini, Cak Nur mengritik Politik Islam yang dijalankan oleh kelompok Modern yang berpijak pada ide-ide Sakral yang tidak lagi boleh diperdebatkan. Bagi Cak Nur, kesakralan Islam tidak terletak pada ide yang kaku dan mati, tetapi bagaimana ide dan akal mampu menjawab permasalahan Umat. Untuk itu mematerialkan (mendesakralisasi) ide-ide Islam adalah hal yang mutlak. Walaupun Cak Nur menekankan pentingnya penggunaan rasio dan akal dalam desakralisasi, tetapi dia juga mengamini bahwa akal dan rasio adalah Amanah,  sehingga harus digunakan sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap Umat. Bagi Cak Nur, semua yang menyangkut kehidupan umat bisa di desakralisasi dan di materialkan kecuali Tuhan. Disinilah afirmasinya atas ide Muhammad Iqbal yang terkenal dengan  jargon: Islam is Bolshevism plus God.

Konsekuensi dari desakralisasi ini adalah tidak ada lagi yang membedakan antara dunia spiritual dan dunia material. Bagi Cak Nur, hanya dengan cara inilah kita bisa menjadi Muslim secara Kaffah (Menyeluruh). Contoh yang paling kentara mengenai pemisahan antara dunia dan agama: ketika seorang Ustad yang tertangkap korupsi lengkingan Allahuakbar dikumandangkan, dimana bagi pengikutnya si Ustad adalah representasi kealiman, sehingga umat buta akan perilaku korupnya. Perilaku seperti itu yang di kritik oleh Cak Nur sebagai akibat dari pemisahan yang sakral dan yang duniawi, yang menyebabkan kesadaran palsu atas realitas beragama.

Program sekularisasi Cak Nur ini mendapat tantangan dari kelompok Politik Islam Modern yang merasa mendesakralisasi Negara Islam akan membahayakan legitimasi dari usaha untuk mendirikannya. Sementara kelompok Islam puritan merasa program sekularisasi ini akan membahayakan elite Islam, karena dengan sekularisasi peta kekuasaan elite Islam dan ulama akan mengalami perubahan yang drastis.

Tentu saja sekularisasi Cak Nur berbeda dengan sekulerisme ‘Barat’ yang mencoba memisahkan moralitas agama dari kehidupan administratif bernegara. Contoh yang paling baru adalah usaha Kanada untuk mempraktikkan undang-undang yang melarang simbol agama (seperti, jilbab, kalung salib, topi Yahudi, sorban Sikh dan lainnya) dipakai oleh pegawai negeri.  Sekularisasi Cak Nur malah ingin menemukan kembali moralitas agama dalam kehidupan bernegara. Ketika Cak Nur memperkenalkan slogan Islam Yes, Partai Islam No, dia sedang mengritik gerakan Islam politik modern yang mereproduksi pensakralan ide-ide seperti Negara Islam dan Hukum Sharia yang untouchable dari kritik, bukan mendepolitisasi Islam. Dengan demikian, sekularisasi Cak Nur tidakcompatible dengan program liberalisme ‘Barat’ yang mencoba memerdekakan individu dari ikatan dan tanggung jawab komunalnya kepada Umat, apalagi mencoba mendepolitisasi Islam.

Sementara itu, liberalisme Islam yang dipelopori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) adalah barang baru yang lahir paska 1998, ketika terjadi perubahan drastis kebijakan ekonomi Indonesia dari kapitalisme patrimornial Orde Baru ke kapitalisme neoliberal. Pada era Orba kompetisi bebas á la neoliberal tidak pernah menemukan posisi yang nyaman, yang ada hanya kronisme Orba yang menguasai ekonomi Indonesia. Barulah setelah 1998, neoliberalisme diperkenalkan secara mapan, dengan deregulasi kebijakan fiskal dan finansial, terutama dalam hal distribusi kredit dari bank, yang menaruh persaingan bebas ke dalam jantung kehidupan masyarakat kita. 

Neoliberalisme di Indonesia sebelum 1998 adalah neoliberal setengah hati, dimana rezim hanya berpartisipasi di dalam konteks global khususnya di produksi minyak. Sementara di dalam negeri, Soeharto masih segan menderegulasi beberapa kebijakan dan menerapkan persaingan bebas di Indonesia.

Konsekuensi neoliberalisme setelah 1998 adalah masyarakat di tekan untuk menjadi kompetitif. Islam tradisionalis cenderung gagal berpartisipasi karena mereka agak berjarak dengan pendidikan modern dan semangat taklid (patuh pada kiai) tidak sesuai dengan agenda neoliberal. Di sinilah Ulil Abshar lahir, di ruang dimana kebutuhan akan reformasi kehidupan Muslim yang lebih sesuai dengan semangat neoliberal lahir. Bahwa ada kemiripan antara Ulil dan Cak Nur tidak membenarkan adanya aliran intelektual yang sama antara keduanya. Dan ide-ide Ulil bukanlah barang baru, sudah dibicarakan oleh intelektual sebelum dia. Yang baru adalah Ulil menaruhnya dalam konteks kebutuhan akan Muslim yang kompetitif bagi pasar tenaga kerja di era neoliberal.

Gerakan Radikal Islam setelah 1998, juga berbeda dari gerakan Usro Abdullah Sungkar dan Abubakar Ba’asyir sebelum 1998. Gerakan radikal Indonesia setelah 1998 mendapatkan dukungan dari kelas yang disebut Gayatri Spivak sebagai unorganized labor atau oleh Marx sebagai Lumpen Ploretariat, yakni mereka yang berprofesi sebagai pedagang gorengan, buruh harian, pedagang kaki-lima dan asongan. Lumpen proletariat atau Unorganized labor ini terjepit di antara Toserba, dicekik oleh preman-preman, diseret Satpol PP dan terkadang hanyut di telan banjir. 

Mereka luput dari amatan intelektual NU dan Muhammadiyah yang sedang sibuk ikut interfaith dialoque atau meneruskan studi di Eropa dan Amerika, sementara sampai sekarang kita belum melihat adanya organisasi kiri di Indonesia yang fokus pada lumpen. Dan ketika mereka terserap oleh organisasi garis keras dan melancarkan aksi seperti di Sampang Madura, kelompok liberal mengecilkan isunya sebagai State failure atau minimnya toleransi beragama. Di sini, jelas bahwa kaum liberal cenderung menghindari analisis struktur politik ekonomi di belakang gerakan radikal di Indonesia sekarang.

Singkat kata, intelektual Islam di Indonesia lahir dari pergulatan yang sengit yang terkait pada masanya, sehingga mendefinisikan orang-orang seperti Cak Nur, Gus Dur dan Harun Nasution ke dalam satu ‘kantong’ liberal adalah bentuk dukungan kepada agenda liberalisme itu sendiri, dan juga mengecilkan pergulatan intelektual mereka. Lebih lagi kalau hanya liberal yang bisa kita baca dari mereka, jangan-jangan kita lupa bergulat dengan diri sendiri.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar