Sabtu, 01 Februari 2014

Congress for Cultural Freedom, CIA, dan Kulturkampf Perang Dingin

Congress for Cultural Freedom,

CIA, dan Kulturkampf Perang Dingin

Goenawan Mohamad  ;   Sastrawan, Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
GOENAWANMOHAMAD.COM,  31 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Bagian I: Genesis

Di tahun 1939, seorang pengajar filsafat berumur  37 tahun membentuk Committee for Cultural Freedom: Sidney Hook. Dalam komite ini duduk juga John Dewey, filosof terkenal, pelopor aliran Pragmatisme.

Waktu itu Hook  guru besar di New York University. Ia juga pemimpin redaksi majalah sosialis, The New Leader. Ia, anak imigran Yahudi yang sangat miskin, ikut mendirikan Partai Pekerja Amerika. Sebagai pemikir, ia mencoba memadukan Pragmatisme dengan Marxisme. Bukunya, Towards the Understanding of Karl Marx: A Revolutionary Interpretation, (1933),meneguhkan posisinya sebagai penafsir  Marx terpenting di Amerika waktu itu.

Di tahun 1929, Hook pergi ke Jerman dengan beasiswa Guggenheim.  Dari Berlin ia ke Moskow untuk penelitian di Insititut Marx-Engels. Dari kota sosialis itu ia menulis sepucuk surat yang bergairah kepada ayahnya:  Moskow masih berantakan, tapi “tiap batu bata, tiap jalan, tiap mesin, adalah lambang semangat baru… urat nadi antusiasme mengalir di bawah permukaan segala hal.”

Bayangkan, tulisnya pula, di sini bendera merah jadi lambang negara dan Internationale jadi lagu kebangsaan!

Meskipun ia tak pernah jadi anggota Partai,  ia bergabung dengan  serikat sekerja guru kota New York yang dipimpin orang-orang komunis. Dengan pengetahuannya yang ulung tentang Marxisme, ia berhasil meng-komunis-kan sejumlah cendekiawan, termasuk pemuda yang kelak dikenal sebagai kritikus sastra terkemuka Amerika, Lionel Trilling.

Tapi di awal tahun 1930-an, Hook — yang menganggap diri berguna bagi Marxisme sebagai “logical disinfectant”, unsur yang membersihkan cara berpikir   — mulai menyaksikan bagaimana Partai Komunis Amerika jadi monolitik:  memecat sejumlah aktivis partai terkemuka yang tampak dekat dengan pemikiran Trotsky.

Trotsky memang sebuah pesona. Tokoh Revolusi Oktober 1917 yang berjuang bersama Lenin ini bukan saja seorang penulis dan pemikir yang cemerlang, tapi juga “man of action”  yang  bisa memimpin Tentara Merah dalam pertempuran. Tapi nasibnya terpelanting. Menjelang tahun 1924 Lenin sakit-sakitan dan kemudian wafat dan Trotsky tergeser. Pelan tapi pasti Stalin, dalam kedudukan sebagai sekretaris jenderal Partai, mengambil-alih posisi pimpinan tertinggi.

Trotsky membentuk faksi oposisi; ia menulis kritik atas keadaan partai dan aparatnya dalam satu risalah yang beredar secara rahasia di tahun 1928,  yang di New York jadi bacaan para aktivis komunis — teman-teman Hook.

Di Kremlin-Moskow, lain halnya: dalam pertarungan politik di tubuh Partai Komunis di Kremlin-Moskow, Trotsky  kalah.  Terpojok dan terancam, ia menyingkir ke luar negeri dan tak pernah kembali sejak tahun 1929.  Stalin memburunya. Tapi posisi sebagai seorang tokoh yang dikejar-kejar itulah yang  justru  menyebabkan Trotsky punya aura tersendiri.

Hook bukan salah satu pengikutnya. Tapi ia memang suka dengan sikap orang-orang Trotkyist yang terbuka untuk bertukar-pikiran. Pada gilirannya Hook makin anti-Stalinis ketika  sejumlah tokoh penting Bolsyewik dituduh bersekongkol dengan Trotsky dan berencana membunuh Stalin.

Proses ini, yang  dikenal sebagai “Peradilan Moskow”, dimulai sejak 1935 dan berlanjut hingga 1938. Sejumlah pejuang  Revolusi Oktober 1917 bukan saja dinyatakan berkomplot dengan Trotsky, tapi juga didakwa bekerja diam-diam dengan kaum Nazi di Jerman,  bahkan mau menyerahkan kedaulatan negara ke tangan Inggris. Akhirnya, dengan tuduhan yang tak masuk akal itu, mereka dieksekusi.

Melalui partai-partai komunis seluruh dunia, Stalin mewartakan bahwa  “Peradilan Moskow” bukanlah sebuah peradilan pura-pura; Trotsky, kata para pembesar Kremlin, memang  pengkhianat.

Kaum kiri di mana-mana, yang mengetahui perjuangan  Trotsky, tak mempercayai pernyataan Stalin.  Perbenturan sengit berkobar.

**

Di tahun  1937 Hook ikut terlibat. Ia bergabung dengan sejumlah orang di Amerika mendirikan komite pembelaan untuk Trostky.  John Dewey yang memimpin.
Dalam usia 78,  Dewey dikenal sebagai salah satu suara kaum progresif (yang di AS disebut “liberal”) yang mendukung cita-cita masyarakat sosialis. Ia pernah berkunjung ke Uni Soviet dan kagum akan keadaan pendidikan di negeri itu. Bahwa ia bersedia memimpin komite itu karena baginya seorang progresif harus ikut bersikap dalam kasus Trotsky. Jika tokoh Revolusi Rusia ini bersalah sebagaimana dituduhkan Stalin, kata Dewey, “tak ada hukuman yang cukup berat baginya”. Tapi jika ia bersih, ia harus dinyatakan demikian. Dewey: “Kepalsuan dan persekusi bukan dasar yang sehat bagi masyarakat sosialis yang kukuh.”

Di ujung pengusutan, Komite Dewey memutuskan –  agaknya sudah bisa diduga –  Trotsky tak bersalah.  Stalin dianggap hanya cari dalih untuk menyingkirkan pesaingnya.

Toh benturan dalam gerakan komunisme berlanjut, kadang-kadang dengan korban jiwa. Sebenarnya tak bisa dikatakan secara konklusif bahwa Trostky bersih. Tapi kampanye kaum Stalinis yang menghantam dan membabat siapa saja yang menentang kebijakan pimpinan Partai dengan label “Trotskyist”  mengesankan dengan kuat betapa berbahayanya berbeda pendapat dalam orde Stalinisme.

Di masa itu pula semakin keras sikap Hook: orde itu dianggapnya mala besar. Tak mengherankan bila simpatinya kepada Trotsky menguat. Dalam pelarian, mungkin karena tanpa kekuasaan di tangan, orang ini mengingatkan semangat yang berkobar di tahun-tahun awal kemenangan Revolusi Rusia: kebebasan  mencipta, berpikir, dan bereksperimen, yang di awal tahun 1920-an melahirkan seni rupa, karya desain, dan sastra  yang mempesona. Kemerdekaan mencipta itu yang dikemukakan kembali di Mexico, misalnya. Di tahun 1938,  bersama perupa komunis Diego Riviera, Frida Kahlo, dan penyair surrealis Prancis André Breton, Trotsky (tanpa mencantumkan namanya sendiri) menulis sebuah manifesto yang mengecam kontrol aparat Stalin atas kebebasan “seni revolusioner”.

Dalam arti tertentu, Trotsky-lah, yang tampak memberi alternatif  yang lebih menarik ketimbang Stalinisme, yang membuat orang-orang kiri tak serta merta menjadi anti-komunis.

Tapi di tahun-tahun 1930-an, ketika Stalin makin identik dengan  Partai, sikap anti-Stalinisme dengan cepat berkembang jadi permusuhan terhadap komunisme.
Berdirinya Committee for Cultural Freedom tak bisa dilepaskan dari perkembangan sikap Hook dan Dewey. Pada masa itu pula di Uni Soviet mulai terdengar represi. 

Antara tahun tahun 1920-an sampai dengan 1930-an, ratusan (bahkan ada yang mencatat, sampai kira-kira 2000 orang) sastrawan, ilmuwan, teatrawan dan pemikir, ditangkap. Banyak yang dieksekusi. Yang terkenal penyair  Osip Mandelstam, sastrawan Isaac Babel dan sutradara Meyerhold. Mereka dikurung — mereka mati.
Kekuasaan Stalin kian tampak efektif dan menakutkan, ketika di tahun 1940, di kamar kerjanya di Coyoacan, Mexico, Trotsky dibunuh dengan kampak es oleh Raymond Mercader, seorang agen rahasia Kremlin.

Sembilan tahun kemudian, Sidney Hook menyaksikan sesuatu yang tambah mencemaskannya.  Maret 1949, di Hotel     Waldorf Astoria, sebuah hotel kelas atas di kota New York, berlangsung sebuah pertemuan yang disponsori Kominform, lembaga yang dibentuk Stalin  pada 1947 untuk  menyebarkan garis politik Kremlin yang antara lain melalui kebudayaan.  Pertemuan di New York itu adalah untuk mengkampanyekan “pesan perdamaian”.

Daftar yang datang impresif: 800 tokoh sastra dan kesenian Amerika. Antara lain Dramawan Arthur Miller, Musikus Aaron Copland dan Norman Mailer, waktu itu masih seorang novelis muda.  Datang juga tokoh-tokoh dari Uni Soviet; yang paling menonjol komponis Dmitri Shostakovich. Mereka menyerukan perdamaian dunia dan mengecam politik Amerika. Copland menegaskan itu: “Kebijakan Pemerintah Amerika sekarang mau tak mau akan membawa kita ke Perang Dunia Ketiga.”

Para seniman yang ikut dalam pertemuan perdamaian itu tentu bukan datang karena mereka digerakkan Kominform. Orang-orang Amerika progresif ini punya alasan sendiri, yang sah, untuk memandang negatif apa yang terjadi di tanah air mereka.
Kehidupan seni di Amerika jauh dari prinsip yang mereka yakini, terutama di masa itu. Yang dominan adalah produksi dan distribusi  hal-hal yang oleh Adorno dan Horkheimer kemudian disebut sebagai “industri budaya”  — film, radio,  musik, kartun, seni pertunjukan, yang diproduksi secara massal, produk-produk yang  dikemudikan kekuatan modal dan dikonsumsi peminat yang pasif.

Kecaman terhadap kesenian yang hanya melayani pasar ini mulai ditulis Adorno dan Horkheimer sejak awal tahun 1940-an. Kita tahu mereka intelektual yang dibesarkan tradisi Jerman yang menganggap kreativitas berada dalam seni yang “serius”.  Di mata kedua orang itu (yang dalam derajat tertentu melanjutkan Marxisme)  tak  ada beda antara “industri budaya” film Hollywood dengan propaganda fasisme.

Di luar kesenian, sosok gelap Amerika juga tampak  sehari-hari:  ketimpangan sosial yang tajam, kapitalisme yang tak terkendali, paranoia orang ramai terhadap mereka yang beda (“Yahudi”, “Katolik”), komunistofobia yang akut, rasisme yang menindas orang kulit hitam,  permusuhan bisnis besar terhadap serikat sekerja, dan langkah-langkah FBI yang represif.

Semua itu membuat para pengarang dan seniman — yang umumnya cenderung berada di pihak yang tertindas — memandang Amerika sebagai bangunan kekuatan jahat.

Itu  juga agaknya yang dulu  membuat Hook, anak Yahudi melarat dari Brooklyn itu,  mendukung gagasan sosialisme, meskipun kemudian ia mengambil jalan yang terpisah dari orang-orang yang ikut dalam pertemuan di Waldorf Astoria. Bagi  Hook, orang-orang ini ikut memperkuat Stalinisme.

Ia pun berusaha menggagalkannya. Ia bentuk kelompok yang disebutnya “Americans for Intellectual Freedom”.  Dengan bantuan serikat buruh setempat (kita ingat: ia pendiri Partai Pekerja), ia dan kelompoknya, antara lain pengarang perempuan terkenal, Mary MacCarthy, berhasil menempati satu kamar di hotel itu. Mereka ikut masuk dalam ruang sidang dan mengajukan pertanyaan yang merepotkan di waktu diskusi panel berlangsung.

Tak cuma itu. Hook juga  menyelenggarakan sebuah rapat umum di Taman Bryant di dekat hotel. Media umumnya memberitakan kejadian itu, (kecuali The New York Times — yang reporternya ternyata anggota Partai Komunis Amerika).
Dalam arti tertentu, Hook berhasil.

Pada perkembangan berikutnya ia makin militan — dan makin mengambil garis keras terhadap komunisme dan Uni Soviet, gejala  yang kemudian menegas dan menajam pada sejumlah intelektual New York yang bekas simpatisan komunis. Kata Hook: “Beri aku seratus juta dollar dan 1000 tenaga yang berdedikasi, dan aku jamin aku bisa bikin satu gelombang kerusuhan di antara massa — ya, bahkan di kalangan tentara — di dalam imperium Stalin sendiri.”

Omong besar, tentu, tapi gayung bersambut.

**

Waktu itu, bagian dari CIA yang dimaksudkan untuk menjalankan operasi tertutup, Office Policy Coordination, (OPC), belum menemukan perannya yang jelas. OPC baru setahun berdiri, dipimpin Frank Wiener, bekas agen OSS (Office of Strategic Services) yang bertugas memata-matai Uni Soviet. Waktu itu Wiener hanya punya sejumlah kecil tenaga — dan merasa kewalahan menghadapi langkah-langkah Soviet, dengan strategi yang digariskan Willi Münzenberg, penulis buku  Propaganda als Waffe (Propaganda sebagai Senjata), bapak propaganda komunisme.

Münzenberg seorang tokoh dengan riwayat yang dramatis. Ia bergabung dengan kaum Bolsyewik sejak awal; ia anggota grup inti di sekitar Lenin sejak di Zurich, Switzerland, sebelum Revolusi Oktober. Ia juga salah seorang pendiri Partai Komunis Jerman di tahun 1918. Ketika Hitler berkuasa dan bergerak menghabisi orang komunis, Münzenberg pindah ke Paris.

Prestasinya yang terbesar adalah membangun simpati dari masyarakat luas — khususnya kaum cendekiawan dan seniman — kepada cita-cita komunisme. Dengan dana yang besar dari Moskow, ia berhasil. Dalam salah satu biografinya (yang ditulis setelah arsip-arsip di Kremlin bisa diperoleh), disebutkan ia memiliki pengaruh pada organisasi bantuan kemanusiaan, suratkabar, majalah, teater, studio film dan bioskop “dari Buenos Aires sampai ke Tokyo”.  Karena ia bisa menunjukkan semangat yang bersungguh-sungguh menentang fasisme dan imperialisme, penyebaran agenda Münzenberg disambut para sastrawan dan seniman terkenal. Sebuah “Kongres Penulis Sedunia untuk Mempertahankan Kebudayaan” diselenggarakan di Paris, Juni 1935.

Ke dalam pengaruh Münzenberg masuk novelis Amerika John Dos Passos dan Upton Sinclair, dan tentu saja tokoh teater sayap kiri dari Jerman, Bertolt Brecht.  Münzenberg bahkan bisa mendapatkan pendukung di Hollywood, melalui kerja Otto Katz, seorang agen Komintern yang datang membina simpatisan di pusat perfilman itu.

Berkat usaha  Münzenberg pula “Damai” jadi semboyan Uni Soviet yang memikat. Picasso, pelukis komunis itu, melambangkannya dengan satu gambar burung merpati putih.  Dengan segera, AS tampak di posisi “anti-Damai”.

Memang kemudian Münzenberg digeser  dari organisasi komunisme internasional. Teman-temannya ditangkapi dan dihukum mati. Ia sendiri mencoba bertahan untuk loyal, sampai  akhirnya ia merasa harus menyerang Stalin secara terbuka, ketika di tahun 1939 Stalin mengadakan kesepakatan dengan Jerman. Dengan kesepakatan ini, keleluasaan Hitler  terbuka untuk menduduki Polandia. Dalam koran yang diterbitkannya selama ia aktif di Paris, Die Zukunft, Münzenberger menyebut Stalin  “pengkhianat” Revolusi.

Lima bulan setelah Paris jatuh ke tangan Jerman, persisnya 22 Oktober 1940, orang menemukan mayat Münzenberg di hutan di luar kota Montaigne. Sudah beberapa pekan jenazah itu tertinggal di sana. Ada tanda-tanda tubuhnya bekas digantung. Tak diketahui adakah ia bunuh diri, atau dibunuh agen rahasia Stalin, atau dihabisi algojo Jerman.

Meskipun demikian, hasil kerjanya tak hilang. Pembuatan jaringan dan pola kampanye yang disusunnya diteruskan Kominform. Organisasi ini  dibentuk di bulan September 1947  di Moskow untuk menghadapi langkah AS dengan “Marshall Plan” — sebuah rencana bantuan besar-besaran untuk Eropa yang rusak oleh Perang Dunia II, dengan tujuan agar negeri-negeri itu tak jatuh ke kekuatan komunis.

Kominform melaju. Di bawah A. Zhdanov, tangan kanan Stalin, Kominform berkongres pertama kali 22-29 September 1947 di Szklarska Poremba, Polandia. Dalam kata-kata Zhdanov: ada dua kubu besar, “Timur” dan “Barat”, dan tak ada yang di tengah-tengah  — sebuah pandangan yang persis dianut musuh-musuhnya di Washington. 

Siapapun harus memihak. Dari pertemuan itu Zhdanov menyatakan:  partai-partai komunis seluruh Eropa didukung luas kaum intelijensia, seniman dan ilmuwan.
Dan itulah yang dihadapi para perumus strategi dan taktik  Amerika, terutama Wiener dari OPC. Khususnya setelah Kominform berhasil membuat pertemuan besar di Waldorf-Astoria di New York itu.

Tak ayal, aksi Sidney Hook  memberi pimpinan OPC ide untuk melawan langkah-langkah Kominform — seraya  menggabungkannya dengan pengalaman OPC dalam bermain gelap, misalnya ketika di tahun 1947 Wiener membentuk “Operation Mockingbird” untuk mempengaruhi media dalam dan luar negeri.

Di tahun 1949, OPC menghubungi orang-orang Prancis dari suratkabar sosialis Franc-Tireur. Mereka mengorganisir pertemuan “Hari Internasional Perlawanan terhadap Kediktaturan dan Perang” — dengan suara anti-Stalinis yang keras. Biaya perjalanan buat delegasi Jerman, Italia dan Amerika dibayar OPC. Dari AS datang Sydney Hook dan seorang  aktivis Partai Sosialis Amerika, James T. Farrel, novelis yang menulis trilogi terkenal Studs Lonigan.

Tapi konferensi tanggal 30 April di Paris itu dianggap gagal oleh sang sponsor. Terutama karena kaum intelektual sosialis itu, seraya menentang komunisme, juga bersuara anti-Amerika. Terutama karena riuh rendah kaum anarkis di dalamnya membuat Wiesner kesal. “Kambing-kambing dan monyet-monyet” itu, katanya, mendeskreditkan kerja dan pernyataan orang-orang progresif (“liberal”) yang serius.
Proyek yang  jauh lebih berhasil terjadi di Berlin.

**

Di Jerman, ada beberapa orang intelektual dan aktivis yang ingin menyelenggarakan sebuah pertemuan kaum kiri yang anti-komunis.

Adalah sepasang bekas anggota Partai Komunis, Franz Borkenau dan Ruth Fischer.  Borkenau seorang dari dunia akademi yang pernah jadi sejarawan resmi Komintern. Fischer tokoh Partai Komunis Jerman yang faksinya dikeluarkan dari Partai atas  perintah orang-orang Stalin. Aktivis perempuan ini, yang pernah bekerja dengan Münzenberg, punya ide untuk membuat jaringan eks-komunis dan kaum kiri anti-Stalin. Salah satu tujuan: memberi dukungan kepada Tito, pemimpin komunis Yugoslavia yang setahun sebelumnya, Juni 1946, dikeluarkan dari Komintern, organisasi komunis internasional, karena ingin memilih jalan sosialisme sendiri.

Fischer pun terbang  ke Washington DC. Ia menemui  orang OPC. Sebagaimana dikatakannya dalam sepucuk surat kepada temannya, seorang diplomat, Fischer menggagas sebuah pertemuan “semua bekas-Komunis”, plus wakil yang tepat dari kelompok anti-Stalinis di kalangan cendekiawan Amerika, Inggris, dan Eropa. Tujuan: menyatakan simpati kepada Tito dan Yugoslavia dan “kaum oposisi di Rusia yang tak bisa bersuara”.

Pihak OPC tak segera merespons. Ada keragu-raguan dari atas.  Pemerintahan Presiden Truman enggan membantu sejumlah orang bekas kaum merah macam Fischer, terutama karena Gedung Putih waktu itu dianggap “lunak kepada komunis” oleh kalangan Senator garis keras.

Tapi kemudian muncul Michael Josselson. Orang ini lahir di Estonia di tahun 1908, anak seorang pedagang kayu Yahudi yang setelah Revolusi Rusia pindah ke Berlin dan hidup sebagai bagian dari generasi  déracinés,mereka yang tercerabut dari akar, orang-orang yang kehilangan tanah air. Di tahun 1920-an itu Josselson kuliah di Universitas Berlin dan Freiburg. Tapi sebelum selesai, ia bekerja di Toserba Gimbels-Saks milik orang Amerika dan diberi tugas di Paris. Di tahun 1936 ia pindah ke AS. Tak lama kemudian ia jadi warganegara. Baginya, sebagai orang yang kehilangan tanah kelahiran, Amerika adalah janji masa depan.

Ketika Perang Dunia II pecah, ia jadi bagian dari tentara yang dikirim ke Eropa. Dengan latarbelakangnya dan kefasihannya berbicara empat bahasa, ia ditaruh di bagian intelijen di pasukan yang masuk ke Jerman. Ketika Hitler kalah, ia jadi tim “Kampgruppe Rosenberg” yang menginterogasi tahanan dan menyeleksi mana yang anggota Nazi dan mana yang bukan.

Setelah dikembalikan jadi orang sipil di tahun 1946, Josselson  terus bekerja untuk pemerintah AS di Berlin, urusan kebudayaan. Kota yang kalah ini, terletak di Jerman Timur, dipecah jadi dua, Timur dan Barat. Dalam keadaan itu, Berlin dikuasai negara-negara pemenang perang. Terutama AS dan Uni Soviet. Dari sinilah antara lain bermula ketegangan di antara dua kekuatan itu yang kemudian dikenal sebagai “Perang Dingin” — konflik yang panjang, berliku-liku, dengan operasi terbuka atau rahasia, yang melibatkan hampir semua orang di hampir semua negeri, tak jarang dengan darah dan besi, dan baru berakhir hampir  setengah abad kemudian, ketika Partai Komunis Uni Soviet runtuh.

Josselson berada di garis depan awal Perang Dingin itu.

Di tangannya ide Fischer yang masih mentah itu terwujud. Tapi ia mengubahnya: yang hendak ia buat bukanlah sebuah pertemuan aktivis politik, melainkan pertemuan kaum seniman dan cendekiawan. Ia menyebutnya “Congress for Cultural Freedom”, dengan gagasan meneguhkan asas-asas kebudayaan dan politik “Barat” yang menolak “semua tantangan totaliter”.

Bersama dia, Melvin J. Lasky, seorang jurnalis Amerika yang pernah jadi editor The New Leader di bawah Hook; ia juga  seorang simpatisan Trotsky. Di Berlin, setelah Hitler jatuh,  Lasky bekerja membantu pemerintah pendudukan AS.
Dalam umur 29, Lasky telah punya kontak luas dengan para cendekiawan Jerman: ia memimpin majalah Der Monat yang memperkenalkan karya sastra dan pemikiran Barat ke khalayak intelektual Jerman, setelah selama di bawah Naziisme, karya-karya dari Eropa yang lain dimusuhi.

Tindakannya yang terkenal ialah ketika ia datang, sebagai reporter, ke konferensi pengarang yang diorganisir pihak Soviet di Berlin Timur di musim gugur 1947. Dengan wajah dan janggut seperti Lenin, dengan bahasa Jerman yang tanpa cacat, ia tiba-tiba tampil bicara. Selama 35 menit di depan sidang ia  memuji para sastrawan Jerman yang melawan represi Hitler. Tapi ia juga mengetengahkan nasib sastrawan Rusia yang menanggungkan  “negara polisi baru”, Uni Soviet; ia sebut prosekusi terhadap penyair Anna Akhmatova.

Di masa itu, ketika orang-orang Amerika dan Rusia masih sering berhubungan di kota bekas pusat Nazi itu, tindakan Lasky tak menimbulkan konflik terbuka. Meskipun ada yang mengatakan, Perang Dingin Kebudayaan, sebuah bentuk baru Kulturkampf, dimulai hari itu.

Tapi “perang” Lasky tak selamanya sejalan dengan garis pemerintahan pendudukan AS. Dalam satu tulisan dalam Der Monat di tahun 1948 ia mengritik “kelemahan dan kebingungan” penguasa Sekutu yang tak mengutamakan kemerdekaan kebudayaan. Ia mengecam sensor yang waktu itu diberlakukan di wilayah Jerman yang diduduki. Kemerdekaan kebudayaan, menurut Lasky, akan membawa masyarakat Jerman pasca-Nazi ke suasana demokratis — dan akan menunjukkan unggulnya sistem Barat dibanding sistem Soviet.

Dengan sikap semacam itu, masuk akal jika Lasky tak begitu disukai pejabat pemerintah pendudukan dan dijauhi OPC.

Tapi  dengan bersemangat Lasky membantu Josselson. Ia mengirimkan usulannya ke Sidney Hook yang menyambutnya dengan gembira. Di Berlin — kota yang salah satu sisinya dikuasai Partai Sosialis Persatuan yang komunis dengan dukungan Tentara Merah Soviet –  ide Josselson didukung luas di kalangan cendekiawan dan politisi. Misalnya walikota Ernst Reuter, seorang tokoh sosialis-demokrat yang antikomunis yang ingin membangun kembali Jerman yang baru.

Dengan anggaran 50 ribu dari OPC, pertemuan besar para cendekiawan yang kemudian jadi Congress for Cultural Freedom (CCF) dibuka di Istana Titania, 26 Juni 1950.

Yang hadir — masing-masing diundang sebagai pribadi –  mengesankan. Ada para filosof terkemuka: Bertrand Russell, (yang kemudian jadi Ketua Kehormatan CCF, tapi akhirnya mengundurkan diri), John Dewey, Benedetto Croce, Karl Jaspers, dan Jacques Maritain. Ada sejumlah besar intelektual yang di masa kekuasaan Hitler dan Mussolini jadi pembangkang dan meninggalkan negeri mereka, atau jadi anggota gerilya Perlawanan (Resistance) melawan pendudukan Nazi dan kaum Fascist, pernah ditangkap dan dipenjarakan. Ada juga yang melarikan diri dari negeri-negeri yang baru dikuasai partai-partai komunis.

Dan, last but not least, ada Novelis Arthur Koestler dan Ignazio Silone — dua sastrawan yang memberi warna tersendiri bagi perkembangan CCF.

**

Koestler keturunan Yahudi Hungaria, fasih bermacam-macam bahasa, pernah tinggal  di Israel sebagai wartawan untuk penerbitan Jerman; saat itu jadi seorang Zionis. Pada tahun 1931, ketika  berumur 25, ia jadi anggota Partai Komunis Jerman.
Juli 1932, partai meluluskan permintaannya untuk mengunjungi Uni Soviet. Ia diberi tugas meliput Pembangunan Lima Tahun Pertama yang dilancarkan Stalin. Ia kunjungi pelbagai pelosok, dari Ukraina sampai dengan Asia Tengah, di mana secara kebetulan, dalam kereta api, ia bertemu penyair kulit hitam Amerika, Langston Hughes, yang diundang Kremlin sehubungan dengan pembuatan film tentang rasialisme di Amerika. Tapi kunjungan 18 bulan itu berlangsung ketika kelaparan melanda pedalaman. Laporan yang ditulisnya akhirnya tak bisa diterbitkan. Tapi  ia tetap setia kepada Partai.  Ia tinggal di Paris dan bekerja untuk Münzenberg selama enam bulan, antara lain dalam majalahDie Zukuinft.  Ketika Perang Saudara Spanyol pecah, Münzenberg mengirimnya ke negeri itu, menyamar sebagai reporter Hungaria dari koran “sayap kanan” untuk memata-matai kaum nasionalis di bawah Franco.

Tapi di Málaga, Februari 1937, ia ditangkap dan disekap pasukan fasis. Ia tak ditembak mati karena ada usaha isteri dan teman-temannya yang mendesak pemerintah Inggris untuk membebaskannya, dengan alasan Koestler seorang jurnalis.  Tapi selama tiga bulan dalam sel itu, tiap malam ia menyaksikan puluhan tahanan digiring ke tempat eksekusi. Horor itu mengubah dirinya.

Ia mulai mencari “tata realitas yang lebih tinggi”, mulai merasakan dengan akut harga kehidupan orang seorang (ia kemudian penganjur yang gigih agar negara meniadakan hukuman mati) — dan  mulai melihat betapa mengerikannya tindakan Stalin menghabisi musuh-musuhnya dalam partai.

Pengalamannya dalam sel itu kemudian ditulisnya dalam Dialogue with Death (terbit tahun 1942). Ada yang menganggap ini karyanya yang terkuat  — meskipun Koestler lebih dikenal sebagai penulis Darkness at Noon (pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judulGerhana).

Novel ini, aslinya ditulis dalam bahasa Jerman, menceritakan nasib Rubashov, seorang tokoh komunis semasa awal revolusi tapi kemudian ditangkap dan ditembak mati — mirip dengan tokoh-tokoh Bolsyewik yang ikut Oktober 1917 dan kemudian jadi korban pembersihan Stalin.

Waktu itu Koestler sudah keluar dari Partai Komunis, langkah yang mula-mula diambilnya secara diam-diam, karena ia melihat masih kuatnya Fascisme di Eropa; ia tak ingin melemahkan perlawanan kaum kiri. Tapi  seperti teman dan mentornya, Münzenberg, ia patah hati ketika Stalin membuat kesepakatan dengan rezim Nazi untuk tak menghalangi Jerman menduduki Polandia.

Dan seperti Sidney Hook, patah hati itu membuat  hubungannya dengan komunisme patah arang. Di pertemuan pertama CCF di Berlin itu Koestler adalah suara garis keras. Kebetulan, sehari sebelum pembukaan, datang kabar bahwa pasukan Korea Utara, dengan dukungan Kremlin, menyerbu Korea Selatan –  satu perkembangan yang sangat menegangkan di Berlin yang dikelilingi wilayah di mana pasukan Soviet siaga.

25 Juni yang cerah itu, di pembukaan, Koestler mengritik tajam sikap mereka yang tak memihak. Baginya, dunia sedang memasuki konflik baru dan kaum intetektual sedang menghadapi pilihan: bukan antara sosialisme dan kapitalisme, atau antara kiri dan kanan, melainkan antara “tirani total” dan “kebebasan relatif”.  CCF, katanya, harus memusatkan kegiatannya untuk “perang politik antikomunis”, antara lain dengan mengorganisir rapat-rapat umum dan menyebarkan propaganda di wilayah yang dikuasai Soviet –  meniru  yang dilakukan Münzenberg.

Pendirian ini juga dikemukakan James Burnham. Burnham, yang sejak 1922 sampai 1949 adalah gurubesar filsafat di New York University, dalam banyak hal mengikuti Hook, koleganya: mencoba memasukkan Marxisme dalam pemikiran Amerika,  dan aktif dalam Partai Pekerja Amerika yang kemudian  jadi Partai Pekerja Sosialis.

Ia juga jadi penghubung gerakan ini dengan Trotsky -meskipun ia menentang sikap Trotsky yang menganjurkan agar jika Uni Soviet diserang Amerika negeri sosialis pertama itu tetap harus dipertahankan, dengan atau tanpa Stalin. Bagi Burnham, serbuan Uni Sovet ke negara sekitarnya telah menjatuhkan kredibilitas negeri sosialis pertama itu.  Di pertemuan CCF, ia menggambarkan kemungkinan buruk jika Eropa mencari “Jalan Ketiga” dan menolak baik Uni Soviet maupun AS. Sebab jika AS menarik diri dari komitmennya ke Eropa, kebudayaan yang bebas akan terancam.

Pandangan macam ini tak disukai kalangan intelektual Eropa.  Peserta dari Inggris, Prancis, Italia, dan Skandinavia resah mendengarnya. Mereka lega ketika muncul alternatif: suara Ignazio Silone.

Orang ini, lebih dikenal sebagai penulis novel Fontamara  dan Pina e Vino(Bread and Wine), adalah salah satu pendiri Partai Komunis Italia di tahun 1921. Ketika Mussolini dan kaum fasis berkuasa, aktivis yang belum lagi berusia 30 itu hidup dalam pengasingan. Di tahun 1927 ia dikirim Partai untuk masuk kembali ke Italia guna memimpin gerakan di bawah tanah. Karena perselisihan dengan garis politik dari Moskow, Silone dikeluarkan dari partai di akhir tahun 1930-an.

Beberapa puluh tahun setelah ia meninggal, diketemukan dokumen bahwa Silone juga jadi informan polisi Fascist — sesuatu yang mengejutkan dan membingungkan orang banyak di Italia, terutama para pengagumnya. Tapi di dalam pertemuan awal CCF itu, pendiriannya yang menolak sikap Koestler diterima sebagai pendirian yang paling sehat. Silone tak menyetujui konfrontasi. Ia menganjurkan agar “Barat” lebih melakukan reformasi sosial dan politik agar dapat menghadapi komunisme yang masih dirasakan punya daya tarik moral yang tinggi.

Josselson, yang mengemudikan pertemuan ini diam-diam, menyetujui ide Silone. Juga — dan ini menarik — komandan  OPC, Wiener. Kedua orang itu sadar bahwa jika CCF membawa suara konfrontatif ia akan tampak betul sebagai instrumen hegemoni Amerika — dan para cendekiawan Eropa akan menolak itu. Di Eropa, di kalangan intelektual, sebagaimana pasti disadari Josselson, anti-komunisme tak serta merta berarti pro-Amerika.

Albert Camus, misalnya, yang tak ikut bergabung dengan CCF.  Ia mendirikan “Groupes de Liaison Internationale”, bagian dari EAG (Europe-America Group) yang di tahun 1947 dibentuk oleh  Nicola Chiaromonte.

Chiaramonte adalah pengarang Italia, (bukunya a.l. The Paradox of History: Stendhal, Tolstoy, Pasternak, and Others), yang ikut bertempur, seperti banyak sastrawan lain, di pihak pasukan kiri dalam Perang Saudara Spanyol. Ia kemudian hidup di New York.  EAG-nya didukung antara lain oleh novelis Mary MacCarthy. Dalam  manifestonya yang terbit dalam bulanan Révolution Prolétarienne di tahun 1948,  kelompok ini menunjukkan “non-alignment”-nya.

“Alasan kita hidup”, kata manifesto itu, sedang terancam baik oleh ideologi Stalinis maupun oleh “pemujaan Amerika terhadap teknologi”. Yang terakhir ini memang tak bersifat totaliter, tapi dalam caranya sendiri, yang datang dari Amerika itu juga “total”: melalui film, pers dan radio, ia membentuk kehidupan manusia.

EAG — yang dananya dimulai dengan  gotong royong, tanpa bantuan pemerintah manapun — berumur pendek: bubar di tahun 1949.  Di pihak intelektual Amerika terjadi perselisihan, terutama setelah Hook, yang ikut bergabung, menghendaki sikap konfrontatif terhadap komunisme. Pilihan ini ditolak oleh yang lain.

Sementara itu, di Eropa ada hambatan tersendiri: Camus tak bisa aktif; penderita 
TBC ini harus menghemat energinya. Tapi semangat netralitas para cendekiawan ini meluas dan kuat — dan itu sebabnya bahkan OPC tak mau ambil risiko menentang itu.

Maka tergeserlah  mereka yang sepaham dengan Koestler (“ex-komunis yang penuh dendam, imprimis Arthur Koestler”, dalam kata-kata  A.J. Ayer, filsuf Inggris yang datang ke pertemuan CCF itu). Selama tahun 1950–51, beberapa tokoh kunci yang melahirkan CCF, terutama Koestler, dan dalam batas tertentu juga Burnham, tak masuk organisasi yang baru dibentuk itu.

Tak berarti ketegangan antara pendukung “garis Koestler” dan yang menentangnya menghilang dari CCF — sebuah ketidak-akuran yang pelan-pelan menghabisi nyawanya.  Dengan dukungan tersembunyi CIA, CCF juga akhirnya dirundung ketegangan lain,  konflik lain.

Mundurnya Bertrand Russel sebagai salah seorang Ketua Kehormatan tak bisa dilepaskan dari konflik itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar