Kasmaran Tan Malaka Bermatematika
Iwan Pranoto ; Guru Besar Matematika
ITB
|
KOMPAS,
10 Februari 2014
ADAKAH pahlawan nasional yang
memiliki sikap begitu kasmarannya bermatematika, berlogika, ketimbang Tan
Malaka?
”…otak
yang sudah dilatih oleh matematika lain sikapnya terhadap sesuatu persoalan
daripada otak mentah,”
demikian Tan Malaka bertutur di Madilog. Tan menekankan bahwa
bermatematika tak saja berguna meniti karier dan mengejar gaji, tetapi
bermatematika akan mengembangkan kecakapan hidup seseorang, khususnya
mengembangkan kemampuan berpikir.
Di kalimat sebelumnya Tan
menuturkan, walau bidang pekerjaan seseorang tak berkait langsung dengan
matematika, tetap akan terbantu jika nalarnya pernah dilatih lewat pengalaman
bermatematika. Tentu saja pandangan Tan pada pendidikan matematika ini
relevan sampai hari ini. Pernyataan ini mengirimkan pesan tentang guna
bermatematika. Apakah anak-anak kita hari ini memahami guna matematika untuk
mengembangkan kecakapan berpikir sama seperti Tan?
Di bagian lain Tan bertutur, ”Tetapi dalam perasaan kekurangan benda
itu penulis banyak mendapatkan benda pada ilmu tak berbenda, pada matematika
ini.” Dengan itu Tan mengungkapkan hasil renungan hubungan pribadinya
dengan matematika. Sebuah ironi: saat
kekurangan materi, Tan justru menemukan kepuasan dalam ilmu tak bermateri,
yakni matematika.
Sebuah oase
Kegiatan bermatematika bagi Tan
adalah sebuah oase menyejukkan jiwa, sangat jauh dari sebuah beban. Bahkan,
gangguan kesehatan dan kesulitan hidup yang dialaminya dirasa sirna saat
bermatematika. Tan mengirimkan pesan betapa asyik bermate- matika. Apakah
perasaan anak- anak kita saat bermatematika hari ini sama asyik seperti Tan?
Tan asyik bernalar dan menikmati
proses berdialog dengan pemikirannya. Pengalaman bermatematika yang dilalui
membuat dirinya menikmati menyibak alam pikiran. Terlebih, selain nalarnya
sibuk memahami gagasan orang lain, yang lebih utama, Tan gigih menjelajah dan
membangun pemikiran sendiri.
Bapak Bangsa ini asyik bertualang
dalam semesta penalarannya karena demikianlah sejatinya: pemahaman berbeda
dengan pengetahuan. Jika pengetahuan diserap dari luar masuk ke dalam benak;
pemahaman justru dirumuskan dari dalam benak, disampaikan ke luar. Betapa
beruntung republik ini punya Bapak Bangsa seperti Tan Malaka yang menghargai
bermatematika, berlogika, dan bernalar.
Namun, hari ini ceritanya sangat
berbeda. Orang, bahkan pejabat, sekarang justru kerap berkata, walau dulu tak
pandai matematika, toh ia dapat punya kedudukan penting, perusahaan, uang
banyak; dan berhasil jadi pejabat. Biasanya kemudian pendengarnya ikut
mengamini dan bersama tertawa terbahak-bahak. Yang sangat menggetirkan jika
ucapan ini diutarakan di depan para pelajar dan pelajar tertawa saat
mendengarnya. Di masyarakat yang amat mengagungkan penguasa, ucapan ini akan
menorehkan guratan dalam dan membekas di benak pelajar.
Tak cakap bermatematika bukan
lelucon yang pantas jadi bahan tawa. Sudah lebih satu dekade anak Indonesia
di urutan nyaris terbawah dalam tes matematika internasional, seperti TIMSS
dan PISA. Padahal, di hidup sekarang, tak cakap bermatematika sama dengan
buta huruf.
Hampir mustahil mempelajari
keilmuan apa saja di era sekarang jika tak cakap bermatematika. Kenyataannya,
saat orang dapat marah jika dikatakan tak mampu membaca, justru orang dapat
tertawa jika dikatakan tak menguasai matematika. Keadaan ini sangat
bertolak belakang dengan Tan Malaka yang gigih bernalar menggunakan
logika dan pengalaman dalam bermatematika untuk mendasari pemikirannya.
Teguhnya Tan bernalar disiratkan
lugas dalam tulisannya. Kesadarannya dan juga keberaniannya ”merdeka 100
persen” tentunya hasil proses bernalar. Jika Freire mengatakan bahwa proses
penyadaran butuh sekaligus kesempatan dialog dan menindak, Tan menjalani
keduanya. Pendidikan formal, budaya intelektual Minangkabau, dan lingkungan
saat itu membekas saat membangun keyakinannya dalam berpikir melalui
iklim dialogis.
Tentu semua Ibu dan Bapak Bangsa menyadari
hak diri dan bangsanya merdeka konsekuensi logis pendidikan yang ia jalani.
Pertanyaan pengandaian yang logis sekarang adalah: ”Seandainya dididik dalam sistem pendidikan serta kurikulum seperti
sekarang ini, apakah mereka akan menyadari haknya memerdekakan diri serta
bangsanya? Atau mereka justru akan menerima dan mensyukuri keadaan tertindas
sebagai manusia yang patuh?”
Gairah merdeka
Sistem dan iklim pendidikan perlu
menyediakan dua peluang bagi pelajar dan gurunya: berdialog dan menindaki
pemikirannya. Hanya dengan pendidikan seperti itu, setiap warga akan menyadari
diri dan menyala gairahnya untuk merdeka. Sebuah republik hanya dapat dirawat
jika warganya bergairah merdeka bernalar.
Tantangannya sekarang adalah
membuat strategi guna merawat kasmaran bernalar dalam jiwa pelajar dan guru.
Untuk itu, pembenahan program
pendidikan keguruan dan penyediaan forum berlatih guru berbasis internet
mungkin satu-satunya peluang Indonesia merawat republik ini. Hanya dengan
memanfaatkan teknologi abad ke-21, kendala dana serta kondisi geografis
Nusantara tak memengaruhi upaya merawat guru, pelajar, dan semua warga dalam
kasmaran bernalar. Ini upaya paling masuk akal memijah kasmaran Tan
bermatematika di abad ke-21.
Sementara itu, kita semua harus
terus menyebarkan gelora kasmaran belajar semua keilmuan, termasuk
matematika. Belajar itu nikmat dan hak hakiki setiap putri-putra bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar