Ihwal Pencari Suaka ke
Australia
A Agus Sriyono ; Dubes RI untuk
Selandia Baru (2010-2013)
|
KOMPAS,
11 Februari 2014
DALAM konferensi pers di
Canberra baru-baru ini, Menteri Imigrasi Australia Scott Morrison
menyampaikan permintaan maaf pemerintahnya kepada Pemerintah Indonesia
sehubungan dengan pelanggaran wilayah perairan ”secara tak disengaja” oleh
kapal Australia.
Sedikitnya lima pelanggaran dalam
dua bulan terakhir karena ”kesalahan navigasi”. Pelanggaran dilakukan saat
dilaksanakan Operasi Perbatasan Berdaulat untuk mengusir pencari suaka ke
Australia kembali ke Indonesia.
Episode ini menjadi salah satu
kerikil dalam hubungan Indonesia-Australia. Kerikil lain adalah penyadapan.
Sebagai negara berdaulat, Australia berhak menolak nonwarga negaranya
memasuki wilayahnya. Namun, sebagai negara pihak pada sejumlah konvensi
internasional, ”Negeri Kanguru” ini punya kewajiban internasional melindungi
pencari suaka yang ingin ke Australia. Martabat mereka perlu dihargai.
Persoalan bagaimana perlindungan
dikelola bergantung pada kebijakan nasional Australia di bidang keimigrasian
dan manaje- men perbatasan. Kebijakan pemrosesan pencari suaka di negara
ketiga merupakan salah satu pilihan yang tepat. Saat ini, Australia memiliki
pusat pemrosesan di Nauru dan Pulau Manus, Papua Niugini.
Penetapan tempat
pemrosesan didasarkan pada kepakatan bersama antarpemerintah. Dengan adanya
pusat pemrosesan ini, mestinya para pencari suaka tak lagi dikembalikan paksa
ke negara di mana perahu pembawa pencari suaka berasal.
Wajib melindungi
Dari sudut pandang hukum in-
ternasional, sebagai negara pihak pada Konvensi tentang Status Pengungsi 1951
beserta protokol- nya, Australia wajib melindungi para pengungsi dan pencari
sua- ka. Konvensi tentang Status Pe- ngungsi, Konvensi Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Poli- tik, serta Konvensi tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya mewajibkan Australia tunduk pada prinsip nonderogable nonrefoulement. Artinya,
Australia wajib memenuhi ketentuan dalam konvensi dan wajib menerima
pengungsi dan pencari suaka yang datang dari Indonesia guna diproses lebih
lanjut untuk menentukan statusnya. Jadi, kebijakan turn back the
boats melanggar konvensi-konvensi ini.
Sebagai kampiun hak asasi manusia
(HAM), sudah selayaknya Australia menghormati konvensi itu. Guna memperoleh
status hukum dan perlindungan yang layak, para pengungsi dan pencari suaka
seharusnya mendapat akses prosedural secara benar. Perlakuan terhadap para
pencari suaka juga harus memperhatikan kaidah HAM secara universal.
Pelanggaran terhadap sejumlah konvensi dikhawatirkan dapat menimbulkan
sangkaan adanya pelanggaran HAM.
Juru bicara Amnesty Interna-
tional, Graeme McGregor, mengingatkan Pemerintah Australia bahwa mereka bukan
tak mungkin melanggar hukum internasional dengan memaksa kapal para imigran
berlayar ke perairan Indonesia (Kompas, 18/1/2014).
Selain itu, kebijakan unilateral
Australia juga bertentangan dengan kesepakatan bilateral dengan Indonesia
yang ditandatangani di Lombok (2006). Traktat Lombok yang merupakan kerangka
kerja sama keamanan menekankan pentingnya konsultasi dua negara. Kebijakan
Operasi Perbatasan Berdaulat yang ditetapkan secara sepihak jelas tak nyaman
bagi Indonesia. Seharusnya kebijakan itu tak diambil sepihak, tetapi
dibicarakan dengan Indonesia demi kepentingan bersama.
Bersama menanggulangi
Dalam tataran multilateral, forum
Bali Process on People Smuggling,
Trafficking in Persons and Related Transnational Crime, di mana Indonesia
dan Australia merupakan penggagas, telah menyediakan landasan bagi upaya
penyelesaian masalah pencari suaka. Dari lima prinsip penyelesaian menurut
kerangka kerja sama ini, pilihan repatriasi, resettlement, pengembalian secara sukarela, dan kerja sama
pengamanan perbatasan dapat dijadikan pedoman bagi penyusunan langkah
implementasinya. Australia tak mungkin menyelesaikan masalah ini sendirian.
Dari sisi pandangan negara asal,
transit, dan tujuan pencari suaka, melalui Jakarta Declaration telah ditegaskan adanya komitmen bersama
menanggulangi soal pencari suaka atas dasar pembagian beban dan tanggung
jawab bersama. Tindakan unilateral Australia melalui kebijakan Operasi
Perbatasan Berdaulat sekali lagi bertolak belakang dengan semangat Deklarasi
Jakarta yang disepakati 13 negara pada 20 Agustus 2013.
Bagi Indonesia, soal pencari suaka
yang dilatari tindak pidana penyelundupan manusia merupakan beban tersendiri.
Selain beban keuangan karena makin meningkatnya jumlah pencari suaka yang
transit di Indonesia, mulai mengemuka persoalan sosial dan kemanusiaan.
Terdapat kekhawatiran para pencari suaka yang urung menuju Australia ingin
menetap di Indonesia dengan status hukum tak jelas. Secara bersamaan,
ketersediaan anggaran dan kapasitas rumah detensi imigrasi sangat terbatas.
Dalam jangka pendek, untuk
menanggulangi masalah pencari suaka dan penyelundupan manusia, Indonesia
perlu meningkatkan patroli laut serta penegakan hukum, baik terhadap pencari
suaka maupun para penyelundup manusia yang sengaja mencari keuntungan
finansial. Kerja sama dengan UNHCR dan IOM perlu lebih ditingkatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar