Minggu, 02 Februari 2014

BPI : Babak Baru Ekosistem Perfilman Indonesia

BPI : Babak Baru Ekosistem Perfilman Indonesia

Marselli Sumarno   Pengajar di Institut Kesenian Jakarta
KOMPAS,  02 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Setelah melalui proses selama bertahun-tahun, Badan Perfilman Indonesia akhirnya resmi terbentuk lewat suatu musyawarah besar di Jakarta, pekan silam. Dari musyawarah besar itu, muncul wajah-wajah baru, sembilan koordinator BPI. Kesembilan orang terpilih itu adalah Embi C Noor (KFN), Gatot Brajamusti (Parfi), Nazir (APROFI), Kemala Atmojo (IKAFI), Robby Ertanto (PILAR), Anggi Frisca (SI/IC), Rully Sofyan (ASIREVI), Gerzon R Ayawaila (KOMUNIKATIF), dan Alex Komang (RAI) yang didaulat menjadi Ketua Koordinator BPI.

Yang menarik, BPI menjadi tonggak sejarah yang menandakan babak baru perfilman nasional Indonesia karena, pada masa silam, baik Badan Film Nasional (BFN) maupun Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) dirasakan terlampau birokratis. Padahal, masyarakat perfilman justru sangat membutuhkan ruang gerak untuk dapat maju dan berkembang. Belajar dari pengalaman, BPI sejak pembentukannya berusaha menerapkan semangat reformasi yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Kesembilan pengurusnya dipilih oleh 40-an organisasi dan asosiasi perfilman. Aspirasi masyarakat perfilman berusaha mendudukkan pemerintah bukan hanya sebagai fasilitator, melainkan juga sebagai mitra strategis dan tunduk kepada undang-undang.

BPI adalah sebuah badan nasional yang pembentukannya diamanatkan oleh Undang-Undang Perfilman Nomor 33 Tahun 2009, sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam memajukan perfilman Indonesia. Dalam undang-undang itu diatur bahwa bidang perfilman ada di dalam dua naungan kementerian, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenpar dan EK). Seperti yang disampaikan Menpar dan EK Mari Elka Pangestu dalam pidato pembukaannya di Musyawarah Besar Pembentukan BPI: ”… BPI haruslah mengakomodasi sebuah ekosistem industri perfilman yang mampu merawat keberlangsungannya sendiri.”

Dalam koridor tugas dan fungsinya, BPI diharapkan dapat menjadi pendorong tumbuh sehatnya setiap lini dalam ekosistem industri film Indonesia: kreasi-teknologi-produksi-ekshibisi-distribusi-studi-apresiasi. BPI dicanangkan untuk menjadi wadah yang dapat menaungi organisasi-organisasi dan asosiasi-asosiasi perfilman, baik pusat maupun daerah, sehingga diharapkan dapat merepresentasikan kehendak masyarakat film yang terarah sekaligus dapat menumbuhkan kesadaran insan perfilman untuk berorganisasi dan menyalurkan aspirasinya melalui organisasi atau asosiasi profesinya.

Sinematografer

Salah satu asosiasi yang sangat mendukung terbentuknya BPI adalah kumpulan profesional para penata kamera atau yang disebut Sinematografer Indonesia (SI), di tangan mereka gambar-gambar yang menjadi bahasa utama sinematografis akan ditentukan pencapaiannya. SI yang sudah beranggotakan tak kurang dari 70 orang ini dipimpin secara presidium oleh beberapa sinematografer andal, antara lain Agni Aryatama, Roy Lolang, Arya Tedja, Arif R Pribadi, dan Surajudin Datau.

Menurut Agni, ia pernah menghadiri konferensi produksi film Asia Pasifik di Seoul, Korea Selatan, Juli 2009. Tema konferensi tersebut adalah ”Bagaimana Bisa Hidup dengan Membuat Film”. Sebab, sejak tahun 1990-an hingga memasuki abad baru, film-film Korea Selatan tumbuh subur dan maju. Masalahnya, pertumbuhan pesat itu tidak dinikmati oleh para pekerja film karena keuntungan yang diperoleh tidak dikaitkan dengan sistem pengupahan. Maka, diperlukan pembentukan serikat pekerja film dan perjanjian pengupahan secara kolektif dengan asosiasi produser agar terjadi hubungan kerja yang saling menguntungkan dan meletakkan dasar-dasar upaya bagi perlindungan hak-hak para pekerja film.

Lebih jauh Agni mengemukakan, perjanjian pengupahan secara kolektif tersebut telah memperbaiki kondisi pasar kerja dalam industri sinema Korea Selatan. Apabila hal itu dapat direalisasikan di Korea, bagaimana jika diterapkan juga di Indonesia. Inilah sebabnya mengapa Agni dan kawan-kawan membentuk SI.

Dengan kata lain, SI adalah komponen yang siap masuk ke dunia sistem industri. Sebagaimana Anggi Frisca sebagai sinematografer muda yang mewakili SI dalam Musyawarah Besar Pembentukan BPI menyampaikan visi ”membangun peradaban Indonesia yang lestari dengan kesejahteraan masyarakat perfilman”. Anggi juga terpilih sebagai salah seorang koordinator BPI.

Produser

Dari sekian banyak organisasi dan asosiasi yang bergabung mendukung BPI, hanya ada satu organisasi yang belum mau bergabung, yakni Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI). PPFI adalah organisasi film tertua yang sudah eksis sejak zaman Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik pada awal 1950-an. Merekalah yang, antara lain, memperjuangkan eksistensi film nasional di Tanah Air. Kalaupun mau dikatakan mengapa PPFI belum mau masuk ke BPI, barangkali karena mereka masih bersikap wait and see terhadap BPI.

Masalah permodalan barangkali bukan yang paling utama, tetapi yang ingin dibangun dari bawah adalah bagaimana mengangkat derajat dan kesejahteraan para profesional yang terlibat dalam ekosistem perfilman. Demi menjamin hal itu, sangat dibutuhkan suatu jalur peredaran yang lebih menguntungkan produksi film nasional.

Sebagai gambaran, pada tahun-tahun belakangan ini sulit sekali mendapatkan film Indonesia yang betul-betul meledak di pasaran. Sulit menemukan film yang memperoleh 2 juta lebih penonton, seperti yang telah dicapai oleh film 5cm (2,5 juta penonton) dan Habibie dan Ainun (4,6 juta penonton) pada tahun 2012. Sejauh ini, produksi pada tahun 2013 yang cukup bagus perolehan sementara penontonnya adalah Soekarno (900.000),Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1,7 juta), 99 Cahaya di Langit Eropa (1,25 juta).

Artinya, memang dibutuhkan penanganan yang sangat serius mengenai peredaran film nasional untuk dapat menemukan pasar yang lebih luas, mengingat potensi penonton Indonesia yang begitu besar.

Selain masalah peredaran film, yang juga harus diperhatikan adalah nilai produksi yang di dalamnya termasuk cerita, gambar, tema-tema yang mengena untuk kondisi masyarakat kontemporer Indonesia, pemain-pemain berbakat, penyutradaraan, dan para profesional di bidang film lainnya.

Semua hal yang sudah disinggung di atas merupakan pekerjaan rumah lama bagi BPI yang menapaki babak barunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar