Minggu, 02 Februari 2014

Angpau

Angpau

Sarlito Wirawan Sarwono   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  02 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Bertepatan dengan Hari Raya Imlek, seorang karyawan (yang dikenal doyan ikut demo buruh) berkata kepada taukenya, “Bos, minta angpaunya, dong?!” Si bos langsung naik pitam, “Angpau, angpau!!! Giliran Imlek, elu minta angpau, giliran Lebaran, elu minta THR! Kapan giliran gua???

” Angpau adalah amplop berwarna merah (bisa bergambar atau bertulisan kaligrafi) yang berisi uang, yang dalam tradisi Cina (terutama dalam perayaan- perayaan seperti Imlek atau pesta perkawinan) biasa diberikan oleh orang tua atau orang dewasa kepada anak-anak atau orang yang belum menikah (termasuk kalau yang belum menikah itu sudah bekerja sebagai manajer dengan gaji belasan juta rupiah). 

Tetapi, angpau bisa juga diberikan sebagai tanda terimakasih atau balas jasa misalnya kepada pemain barongsai (dengan memasukkan angpau ke mulut binatang jadi-jadian itu) atau kepada sinshe (dokter tradisional) yang sudah mengobati kita. Dalam masyarakat muslim di Indonesia (konon juga di Malaysia dan Brunei), kebiasaan angpau dari Cina ini diakulturasi ke dalam kebiasaan memberi uang kepada anak-anak. Baik anak sendiri, anak kerabat, atau anak tetangga. 

Itulah sebabnya istri saya selalu sibuk menukarkan uang receh (paling receh bernilai Rp5.000, bukan Rp500 loh! Kadang-kadang malah Rp20.000) setiap menjelang Lebaran. Maka itu, uang Rp1.000.000 cepat habis begitu dua hari Lebaran. Setelah salat id, biasanya anak-anak tetangga ngider dari rumah ke rumah, maksudnya minal aidinan dan cium tangan, tetapi yang punya rumah (termasuk istri saya) enggak enak kalau tidak memberi anak-anak itu uang receh. 

Hitung saja berapa anak yang ikut rombongan keliling itu. Nanti di pertemuan keluarga besar saya, belasan lagi cucu-cucu keponakan, terus geser ke pertemuan keluarga besar istri saya, anak-anak kecil banyaknya seperti kelinci. Bedanya dengan angpau model Cina, uang Lebaran tidak dibungkus amplop merah, tapi diberikan begitu saja. Kalaupun pakai bungkus, warna bungkusnya hijau, bukan merah. Tetapi, seperti biasa, kalau orang Indonesia meniru, menirunya lebay (berlebihan). Begitu juga dengan peniruan angpau. 

Kalau angpaunya orang Cina terbatas buat anak-anak, barongsai, dan sinshe, hadiah Lebaran orang Indonesia berkembang menjadi THR yang wajib hukumnya walaupun tidak masuk hukum syariah. Malah anggota DPR yang gajinya sudah puluhan juta pun dikabarkan masih minta THR dari SKK Migas. Maka itu, jangan heran kalau si buruh tukang demo masih tega minta THR dan angpau ke taukenya yang membikin si tauke ini naik pitam.

*** Dulusemasasaya masihdiSD sampai SMP, keluarga kami tinggal di Tegal. Ayah saya, yang 100% pribumi dan muslim, punya banyak teman keturunan Cina karena ayah saya kebetulan dokter (waktu itu di Tegal jumlah dokter bisa dihitung dengan jari) dan hobi main kartu (bridge) yang lawan mainnya pengusahapengusaha Cina lokal. Maka itu, setiap perayaan Imlek, rumah kami selalu dimasuki prosesi toapekong. 

Toapekong adalah patung-patung dewa-dewi yang selalu disimpan di kelenteng, tetapi setahun sekali, setiap Imlek, patung-patung itu diarak keliling kota dengan digotong beramai-ramai oleh umat Konghucu dengan diawali oleh liong (ular naga) dan barongsai (singa). Prosesi ini memasuki rumah-rumah warga yang dianggap terpandang agar si empunya rumah mendapat restu dan rezeki yang berlimpah dari dewa toapekong. Tidak terkecuali rumah orang tua saya yang sama sekali bukan pemeluk Konghucu. 

Sebagai anak-anak, saya dan adik-adik saya suka sekali kalau toapekong masuk ke rumah karena liong dan barongsai pun ikut masuk. Saya menyaksikan betapa puluhan orang berusaha menggotong toapekong-toapekong (yang ditempatkan dalamrumah- rumahan) yangterus menerus bergoyang dengan kuatnya. Puluhan laki-laki itu berganti-ganti menggotong toapekong dan setiap kali hanya beberapa menit karena konon berat sekali. Teriakan-teriakan komando bersahutan untuk mengatur keluar-masuk penggotong dan keringat pun bercucuran dari wajah dan tubuh mereka. Kerja keras, tetapi penuh kegembiraan. 

Sayang sekali, kemudian agama Konghucu dilarang oleh Presiden Soeharto. Katanya, kelenteng-kelenteng itu dipengaruhi RRC (Republik Rakyat Cina) yang pascaperistiwa G 30 S pada 1965 memang menjadi musuh pemerintah Orde Baru karena paham komunismenya dikhawatirkan akan membangkitkan kembali PKI (Partai Komunisme Indonesia) dari kuburnya. Sekitar 35 tahun saya tidak melihat toapekong, liong, dan barongsai lagi sampai mereka tiba-tiba bermunculan di mal-mal sesudah Presiden Gus Dur mengizinkan lagi perayaan Hari Raya Imlek dan mengakui agama Konghucu. 

Yang menarik adalah bahwa selama puluhan tahun dilarang itu, toapekong, liong, dan barongsai tidak hilang, masih tersimpan dengan baik, bahkan pemain-pemainnya yang mahir kungfu (dulu disebut: kuntau) masih ada, dan muda-muda, bukan generasi sepuh. Artinya, budaya itu hidup terus walaupun sudah dimatikan oleh penguasa. Sejak 10-15 tahun yang lalu kenceng sekali upaya dari beberapa pihak untuk menghapuskan kebiasaan-kebiasaan atau budaya-budaya yang tidak sejalan dengan syariah Islam. 

Makaitu, pagelaranwayangkulit di Sukoharjo (Jawa Tengah) diserbu, diskusi di Salihara diserang (2012), patung-patung wayang di Purwakarta (2011) dirobohkan, bahkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (di Indonesia dinyatakan sebagai hari libur nasional) pun dinyatakan sebagai bidah. Yang mengherankan, kok ya masih ada orang-orang yang mengira bahwa kebudayaan bisa dimatikan dengan paksa melalui kekerasan. Sungguh suatu upaya yang sia-sia, apa pun alasannya. Gong Xi Fa Cai, Selamat Tahun Baru 2565 (Tahun Kuda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar