Basa-Basi
Politik Impor Beras Vietnam
Pangki T Hidayat ; Staf Peneliti Bulaksumur Empat Research
dan Consulting (BERC), Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 08 Februari 2014
Fenomena kebijakan “nyeleneh”
kembali menyeruak ke permukaan seiring dengan akan digelarnya ritual
akbar demokrasi Indonesia, Pemilu 2014, April mendatang.
Siapa pun tahu, di negara ini
demokrasi memerlukan biaya yang tak sedikit. Akibatnya, sering kali muncul kebijakan-kebijakan
yang terkesan hanya ingin mengeruk pundi-pundi keuntungan semata.
Begitu pula yang terjadi di tahun politik saat ini,
kasus impor beras Vietnam menyeruak menjadi bumbu tidak sedap bagi
pemilu mendatang. Lebih dari itu, keberadaan beras tersebut di pasaran jelas
merugikan para petani lokal.
Harga beras medium lokal berkisar Rp 9.000 per kg,
sedangkan beras impor dari Vietnam ini dijual dengan harga Rp 8.500
per kg.
Meskipun selisih harga hanya Rp 500 per kg, namun bagi
para petani gurem jelas memiliki dampak yang luar biasa. Kehidupan petani
gurem yang sudah sulit menjadi semakin sulit lagi, karena beras lokal yang
mereka tanam menjadi kurang diminati di pasaran.
Di Indonesia, sektor pertanian memegang peranan penting
dalam menopang kehidupan bermasyarakat. Ada sekitar 40 juta jiwa yang bekerja
sebagai petani dan setidaknya ada 160 juta jiwa yang menggantungkan hidupnya
dari sektor ini.
Artinya, sekitar 64 persen dari total sekurangnya 250 juta
jiwa penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Oleh
sebab itu, pemerintah seharusnya menyiapkan program-program perlindungan
untuk sektor pertanian tersebut, khususnya program perlindungan untuk para
petani gurem.
Berdasarkan data dari BPS, jumlah petani gurem di
Indonesia menyusut sebesar 4,77 juta jiwa sepuluh tahun terakhir ini. Data
tersebut didapat dari survei pertanian yang dilakukan BPS pada Mei 2013.
Artinya, kini sektor pertanian semakin menjadi lahan yang tak diminati.
Bertani dipandang sudah tak lagi relevan dengan banyaknya
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi masyarakat. Dengan semakin menyusutnya
jumlah petani, potensi kemandirian pangan yang diamanatkan UU Nomor 18 Tahun
2012 tentang Ketahanan Pangan bisa saja hanya menjadi sebuah wacana.
Seyogianya, pemerintah memberikan jawaban tegas atas
munculnya kebijakan yang tak elok tersebut. Alih-alih demikian, yang terjadi
ialah saling tuding dan lempar tanggung jawab atas siapa yang berwenang
di balik adanya impor beras Vietnam tersebut. Lempar tanggung jawab
dan saling tuding bukan menjadi wacana baru di negara ini, melainkan telah
berlangsung beberapa dekade.
Hal ini jelas merupakan cermin lemahnya koordinasi
di antara kementerian terkait. Potret buram seperti ini rasa-rasanya
sangat tak elok untuk ditunjukkan kembali setelah 68 tahun negara ini
merdeka. Artinya, sepatutnya para pemegang kekuasaan saat ini sudah memiliki
jiwa kesatria dan berani bertanggung jawab, bukan sebaliknya.
Merujuk dari fenomena budaya masyarakat Indonesia, beras
atau nasi ialah komoditas makanan pokok mereka. Beras sudah melekat di dalam
jiwa masyarakat, tidak mempunyai beras artinya tidak makan nasi, tidak makan
nasi berarti tidak kenyang. Oleh sebab itu, Indonesia menjadi negara pemakan
nasi terbanyak di dunia. Tingkat konsumsi beras tiap orang di Indonesia
mencapai 130-140 kg per tahun.
Belajar dari Pengalaman
Ada dua hal yang bisa dicermati dari kontroversi impor
beras Vietnam, yakni perlunya pembenahan koordinasi pejabat negara
dan kemungkinan perubahan paradigma bahwa “makan” tak harus nasi. Lemahnya
koordinasi di antara pejabat negara jelas bukan merupakan wacana baru.
Sayangnya, niat pembenahan hanya muncul mana kala muncul sebuah kasus seperti
saat ini.
Ketika kasus tersebut menghilang seiring berjalannya
waktu, niat dan upaya pembenahan koordinasi antarpejabat negara turut sirna.
Contoh lain, paradigma seperti ini secara nyata juga dapat terlihat dari
upaya penanganan banjir di Jakarta, penanganan penegakan hukum, dan
pemerataan pendidikan secara nasional.
Upaya-upaya yang tak konsisten seperti ini hendaknya
dihilangkan. Harus ada upaya yang serius dan aturan yang tegas terkait
koordinasi antarpejabat negara dan pemangku kekuasaan lainnya. Dengan begitu,
tidak akan ada lagi saling tuding dan lempar tanggung jawab antarpejabat
negara seperti yang selama ini terjadi.
Selain itu, idiom yang telah melekat di masyarakat
yakni “makan” adalah nasi harus pelan-pelan diubah. Bukan persoalan bahwa
nasi itu tidak bergizi, melainkan karena keistimewaan sumber karbohidrat
seperti nasi di Indonesia ini sangat banyak. Misalnya, jagung, ketela, maupun
sagu yang begitu melimpah di Indonesia bagian timur.
Aneka sumber karbohidrat ini jelas perlu dimanfaatkan.
Dengan pemanfaatan berbagai jenis sumber karbohidrat tersebut secara merata,
akan memunculkan keuntungan secara ekonomi bagi masyarakat maupun bagi
negara.
Bandingkan saja, harga beras rata-rata di kisaran
Rp 8.000 hingga Rp 12.000 tiap kg, dengan harga yang sama
masyarakat bisa memperoleh 2-3 kg jagung maupun ketela yang sama-sama
merupakan sumber karbohidrat. Selama ini wacana seperti itu sudah ada, hanya
saja paradigma “inkonsistensi” di negara ini memang sulit dihilangkan.
Seyogianya, sebagai masyarakat kita bisa melihat dengan
cermat perilaku pejabat negara saat ini. Fenomena saling lempar tanggung
jawab impor beras Vietnam jelas membuktikan bahwa pejabat negara dan
pemangku kekuasaan yang ada tidak konsisten dalam menegakkan pembenahan
koordinasi antarpejabat yang telah lama diwacanakan.
Bagi masyarakat, panggung politik 2014 hendaknya menjadi tonggak
perubahan untuk tidak memilih kembali pejabat negara yang inkonsisten
terhadap pembenahan koordinasi antarpemangku kekuasaan. Jika tidak, kasus
seperti impor beras Vietnam yang merugikan petani kita, jelas akan
selalu berulang dan tidak ada pejabat yang bertanggung jawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar