Sabtu, 25 Januari 2014

Tilikan tentang UU Desa

Tilikan tentang UU Desa

Ivanovich Agusta   ;    Sosiolog Pedesaan IPB
KOMPAS,  25 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
DITETAPKANNYA Undang-Undang tentang Desa pada tanggal 18 Desember 2013 bagaikan kulminasi tujuh tahun demonstrasi perangkat.

Diakomodasinya tuntutan elite pendemo di antara 122 pasal perundangan ini mengindikasikan bakal berubahnya wajah 70.000-an desa se-Indonesia.
Kebijakan publik di negara sedang berkembang diciptakan bukan sekadar guna melayani masyarakat, melainkan sekaligus untuk mengubahnya. Hendak dilakukan sesuai peringkat desa, pembangunan nantinya dilaksanakan dalam batas sedesa dan kawasan kerja sama beberapa desa (Bab IX Pasal 78-85).

Tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, selama periode 2010-2014 pemerintah berencana memasuki 12.500 desa dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sementara melalui utang luar negeri, program pemberdayaan menjajaki lebih dari 50.000 desa. Sayang, dalam sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, perangkat desa melaporkan masing-masing jenis program pembangunan hanya memasuki 3 persen hingga 31 persen desa se-Indonesia.

Konsekuensi target serendah itu ialah dibutuhkan 700 tahun bagi APBN untuk mendanai seluruh fasilitas desa. Donor luar negeri mungkin menyingkat jalan pembangunan, tetapi toh masih dibutuhkan waktu hingga 100 tahun lagi.

Undang-Undang Desa memiliki sisi percepatan pembangunan. Memang sebagian isinya berupa pencantuman kembali pokok-pokok peraturan menteri dalam negeri (permendagri), seperti alokasi dana desa (ADD), aset desa, badan usaha milik desa (bumdes), kerja sama desa, sistem informasi desa, kelembagaan sosial, dan lembaga adat.

Bedanya terletak pada penguatan legalitas serta penajaman substansi. Dapat diperkirakan, aspek ekonomi, sosial, dan budaya desa akan berkembang.
Data BPS menunjukkan, rata-rata penerimaan desa Rp 254 juta per tahun. Nilai ADD mendominasi sebesar Rp 105,9 juta atau 41,7 persen. Jumlah ADD seluruhnya diperkirakan hanya Rp 7,4 triliun.

Undang-undang ini akan melipatgandakan ADD hingga 14 kali hingga mencapai sekitar Rp 1,4 miliar per desa dalam setahun. Selain sesuai tuntutan demonstrasi perangkat desa, pemerataannya berpotensi meningkatkan pembangunan 3-30 kali lipat.

Uang dan adat

Aturan peruntukan 30 persen untuk operasionalisasi pemerintahan desa (sesuai Surat Edaran Mendagri, 17 Agustus 2006)  hanya cocok saat ADD bernilai Rp 300 juta, sesuai kondisi sekarang. Lebih dari angka tersebut akan menggemukkan tunjangan perangkat. Peningkatan nilai ADD melonjakkan rata-rata honor/tunjangan perangkat dari Rp 100 juta menjadi hampir Rp 500 juta per desa dalam setahun. Tunjangan juga diperluas bagi seluruh perangkat desa hingga dusun serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Sayang, pada saat bersamaan pemekaran desa pun marak sehingga momentum emas ADD mungkin segera menurun. Diperkirakan tahun 2050 jumlah desa meningkat tiga kali lipat.

Secara khusus undang-undang ini memikirkan peluang desa adat (Bab 13, Pasal 96-111). Perbedaannya dari desa pada umumnya berupa penggunaan sejarah dan aturan adat sebagai basis teritorial dan struktur pemerintahan. Ruang bagi adat memang harus ada agar tercipta landasan legal untuk menurunkan UUD 1945, Pasal 18, yang hanya menyebut kesatuan masyarakat hukum adat.

UUD 1945 disusun sebelum masuknya Papua sehingga hanya mencantumkan sekitar 250 kesatuan masyarakat adat yang kini hendak diklaim sebagai desa (adat). Padahal, BPS menemukan 746 suku dominan di seluruh desa, 450 di antaranya tumbuh di desa-desa di Papua.

Menggunakan data BPS tahun 2003, desa yang terdiri atas satu suku hanya 38 persen. Desa yang tanpa perkawinan antarsuku hanya 35 persen. Lembaga adat terdapat di 39 persen desa.

Jelaslah, pembentukan desa adat mestinya selalu berupa penggabungan desa-desa. Peta juga memperlihatkan lokasi desa-desa sesuku senantiasa berdampingan. Berkaca dari penggabungan rata-rata empat desa menjadi satu nagari di Sumatera Barat, perlu diantisipasi persaingan antarmantan kepala desa lama dan persaingan memperebutkan dana pembangunan di tingkat desa adat.

Perlu diwaspadai konservatisme politik dalam undang-undang ini. Bertambah satu periode, kepala desa boleh dipilih hingga tiga masa jabatan atau 18 tahun alias sekitar separuh masa manusia dewasa. Dana operasionalnya dari ADD turut menanjak. Sementara itu, BPD tak kuasa meraih kembali wewenangnya untuk menurunkan kepala desa sebagaimana dalam UU No 22/1999.

Alih-alih mendukung desentralisasi, Undang-Undang Desa justru melegitimasi pemerintah pusat langsung mendanai program pembangunannya ke desa (Pasal 72). Pola yang dibangun undang-undang ini adalah mempercepat pembangunan ekonomi, sosial, dan budaya di atas landasan kestabilan politik. Dikhawatirkan pola serupa periode 1970-an hingga 1980-an ini menghasilkan pedesaan otoriter birokratik pembangunan versi baru.

Sebaiknya perbaikan diupayakan saat operasionalisasi undang-undang ke dalam peraturan pemerintah. Apalagi undang-undang ini ditetapkan seusai penyusunan anggaran 2014 sehingga diperkirakan baru efektif mulai tahun berikutnya. Amanat pembentukan peraturan pemerintah meliputi pemilihan dan pemberhentian kepala desa, perangkat desa dan BPD, musyawarah desa, keuangan, dan kekayaan desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar