Meninjau Ulang Tri Dharma PT
Hendra Gunawan ; Guru Besar FMIPA ITB
|
KOMPAS,
25 Januari 2014
SEBAGIAN masyarakat, khususnya
mereka yang berkecimpung di lingkungan perguruan tinggi, telah akrab dengan
slogan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Namun, tak banyak yang tahu bahwa
sebelumnya—persisnya pada 1962—Soehadi Reksowardojo, Guru Besar Teknik Kimia
Institut Teknologi Bandung, merumuskan apa yang ia sebut Tri Soko Guru.
Rumusan yang menyangkut pendidikan-ilmiah, penelitian-ilmiah, dan
afiliasi-industri tersebut sebagai landasan pengembangan ITB ketika itu.
Konon, slogan itulah yang kemudian
dirumuskan ulang oleh Tojib Hadiwidjaja—Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu
Pengetahuan (PTIP) pada Kabinet Kerja III di era kepemimpinan
Soekarno—sebagai Tri Dharma PT: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat.
Rumusan Tri Dharma PT sebetulnya
bukan sesuatu yang benar-benar baru. Dalam Kongres Permusjawaratan Pendidikan
Indonesia di Surakarta pada 1947, Soepomo menyatakan bahwa fungsi perguruan
tinggi di Indonesia adalah sebagai badan pusat ilmu-ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, sekaligus sebagai badan untuk mendidik para calon pemimpin yang
memerlukan pendidikan tinggi guna kepentingan masyarakat dan negara.
Pada kongres yang sama, Soenaria
Kalapaking juga punya pandangan sama dengan Soepomo. Menurut Kalapaking,
fungsi universiteit (baca: PT) adalah jadi koordinator dan
pendorong usaha mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan dan
memberi penerangan kepada masyarakat dalam membangun kebudayaan baru dan tata
negara baru. Selain itu, juga mendidik tenaga-tenaga yang dibutuhkan
masyarakat dan perlu mendapat didikan secara ilmu pengetahuan. Apa yang
diusulkan Kalapaking jelas mencakup tiga misi PT yang kemudian disebut
sebagai Tri Dharma PT itu.
Apa yang dituai
Namun, dalam tulisan ini, saya
tidak ingin mengulas kronologis Tri Dharma PT. Yang lebih menarik dan
memerlukan renungan adalah isi pesan dari slogan tersebut. Dalam Tri Dharma
PT, yang pertama disebutkan adalah pendidikan, baru penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat. Sementara itu, fungsi PT yang disebutkan
pertama oleh Soepomo dan Kalapaking adalah mengembangkan ilmu pengetahuan
(baca: melakukan penelitian). Bila urutan penting, mana yang seyogianya
didahulukan?
Sebelum kita menjawab pertanyaan
sederhana tapi mendalam tersebut, mari kita evaluasi apa yang kita tuai
setelah sekian puluh tahun menyelenggarakan Pendidikan Tinggi (perhatikan
huruf besar, yang maknanya setara dengan Tri Dharma PT)? Yang kita amati,
kita tertinggal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenapa?
Karena rupanya ribuan PT di Indonesia hanya melaksanakan pendidikan tinggi
(huruf kecil, dharma pertama saja). Bahkan, yang terjadi pada umumnya lebih
parah lagi: bukannya pendidikan yang berlangsung, tetapi pelatihan, yang
hasilnya pun belum tentu merupakan tenaga-tenaga terampil yang siap kerja.
Dalam Rencana Strategis Kemdikbud,
salah satu program yang dicanangkan adalah peningkatan angka partisipasi
kasar (APK) PT, yang saat ini baru sekitar 30 persen. Untuk itu, PT yang
ada—khususnya PTN—dipacu menerima mahasiswa lebih banyak dan beasiswa pun
dikucurkan. Seiring dengan itu, PT baru pun didirikan, antara lain Institut
Teknologi Sumatera dan Institut Teknologi Kalimantan. Bagaimana dengan
penelitian? Bagaimana pula kualitas dosennya? Prioritas nomor dua!
Padahal, tanpa ditopang
penelitian, kita patut bertanya: apa yang diajarkan? Kemampuan dan sikap apa
pula yang dikembangkan? Tanpa penelitian, ilmu yang diajarkan adalah ”ilmu
kebatinan”, sesuatu yang hanya bersifat ”katanya” dan diamini para dosen dan
mahasiswa. Materi yang diajarkan merupakan hasil penelitian orang lain,
mungkin sudah basi, yang diteruskan oleh dosen kepada mahasiswa begitu saja. Syukur kalau disertai dengan pemahaman akan asal-usulnya, serta relevansinya
dengan kehidupan masa kini.
Tanpa pengalaman yang membekas
dalam penelitian, bagaimana dosen akan menanamkan kepada mahasiswa bahwa
kemampuan memecahkan masalah itu, misalnya, adalah sesuatu yang penting?
Dengan tak aktifnya dosen dalam penelitian, bagaimana pula ia bisa
menumbuhkan sikap gigih dan tekun, misalnya, kepada mahasiswa?
Dengan argumen dan beberapa
pertanyaan di atas, saya mengajak para pelaku Pendidikan Tinggi (huruf besar
lagi) untuk merenungkan kembali rumusan Tri Dharma PT. Menurut hemat saya,
bila urutan makna penting, maka Tri Dharma PT seyogianya berbunyi:
penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Pesannya jelas:
pelajari dan kembangkan dahulu ilmu pengetahuan, hasilnya itulah yang kita
ajarkan kepada para mahasiswa dan kita abdikan kepada masyarakat luas.
Pertanyaannya kemudian: ilmu
pengetahuan apa saja yang telah kita kembangkan? Ada, tapi belum banyak.
Karena itu, pengembangan ilmu pengetahuan (baca: penelitian) haruslah menjadi
prioritas pendanaan yang tak kalah pentingnya daripada penyelenggaraan
pendidikan itu sendiri. Termasuk di dalamnya adalah perekrutan dan
pengembangan dosen yang berkemampuan meneliti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar