Minggu, 26 Januari 2014

Sial di Media Sosial

Sial di Media Sosial

Reza Indragiri Amriel  ;    Alumnus Fakultas Psikologi UGM; Analis di PoliticaWave 
MEDIA INDONESIA,  25 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
SEPERTINYA semua setuju, kaum hawa adalah figur peneduh, pengasuh, dan pengasih. Rentetan julukan tersebut tampaknya dilandaskan pada asumsi bahwa kendali diri perempuan lebih baik. Stabilitas emosi mereka pun demikian. Tapi banyak riset justru menyimpulkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami stres berkadar lebih tinggi ketimbang lelaki. Bahkan pada kenyataannya, anggapan sedemikian rupa terhadap perempuan justru mempertinggi bobot stres mereka. Itu karena kemudian seakan merupakan tabu besar bagi kaum hawa untuk mengekspresikan perasaanperasaan negatif mereka. Dengan kata lain, sudah rentan terkena stres, perempuan masih harus menekan ataupun mengabaikannya pula.

Situasi kian buruk ketika kaum yang lebih berisiko mengalami stres itu menjadi pusat perhatian publik. Dengan status sebagai istri presiden, misalnya. Beratnya beban suami, mau tak mau, juga menggelayuti batin sang fi rst lady. Keluarga istana niscaya juga dituntut publik menjadi contoh keluarga idaman dan rumah tangga teladan. Konsekuensinya, nyonya presiden harus berikhtiar membangun nama baik keluarganya agar selaras dengan standar ideal yang masyarakat tetapkan.

Presiden stres, istri presiden juga stres. Dan stres bisa diungkapkan dalam bentuk kekerasan lisan. Cacian bahkan sumpah serapah pada dasarnya memang juga bisa bermanfaat, yakni memunculkan perasaan berkuasa dan mampu mengontrol keadaan. Agresi verbal juga menunjukkan kepada pihak lawan bahwa korban memiliki kekuatan untuk menyerang balik.

Sayangnya, walau sama-sama bisa stres dan menjulurkan lidah setajam sembilu, efek yang diterima presiden dan istrinya akan berbeda.

Ketika seorang presiden naik pitam, sekalipun dilakukan di hadapan jutaan pasang mata, amarah sang presiden akan ditindaklanjuti para bawahannya. Jadi, berkat otoritas besarnya selaku orang nomor satu di sebuah negara, presiden yang memperlihatkan tanduk dan napas apinya di hadapan khalayak luas tetap berpeluang mendapat perasaan adem pascangomel.

Lain cerita ketika istri presiden yang naik darah! Apalagi jika ledakan emosi itu berlangsung di ruang publik, siapa pun akan serta-merta mencibir, “Anda siapa?” Akibatnya, alih-alih batin menjadi lapang, si istri presiden justru semakin naik darah karena ekspresi kekesalannya tidak memberikan efek peredaan amarah seperti yang diharapkan. Sudah perempuan, berisiko tinggi didera stres, berstatus sebagai first lady pula. Tekanan batin semakin menjadi-jadi!

Netizen

Seiring tuntutan milenium, first lady juga harus melek teknologi. Serbaneka gadget harus menjadi amunisi seharihari. Tidak mau tertinggal, ia pun harus mengakrabkan diri dengan berbagai platform di media sosial (social media). Bermedia sosial sejenak terasa mengasyikkan karena di situ ada kebebasan, ruang tanpa perbatasan, berikut kesempatan untuk terus bahkan kian memperoleh perhatian khalayak. Si nyonya presiden kini menyandang status baru yang mentereng, yakni netizen.

Oleh si netizen tersebut, akun Facebook, Twitter, Instagram, dan banyak lainnya dilongok secara teratur. Status diperbarui, koleksi foto ditambah, pengalaman pribadi dibagikan. Karena yang dinaikkan ke media sosial ialah segala hal-ihwal yang serba baik, respons para netizen lainnya diharapkan juga akan baik. Namun, kenyataan tidak linier dengan harapan. Posting baik ditanggapi buruk. Posting buruk `disikat' habis-habisan semakin buruk.

Tidak pelak, perempuan yang dikenal sebagai ibu presiden sekaligus netizen itu menjadi korban pelecehan dalam jaringan (daring). Privasinya dikoyak-koyak. Semua perundungan itu berlangsung di media sosial.

Kondisi semacam itu sebangun dengan studi-studi lainnya, bahwa alih-alih menghadirkan dunia interaksi tanpa risiko, media sosial justru memperparah stres atau-setidaknya--mendatangkan sumber stres baru. Sedemikian seriusnya stres akibat menjadi bagian dari komunitas media sosial, kini diperkenalkan istilah psikologi populer (bukan psikologi klinis), yaitu social media anxiety disorder (SMAD) ataupun social media stress disorder (SMSD).

Simtomnya, ambil misal, kegundahan berlebihan seorang netizen akan respons para netizen lainnya atas teks, foto, dan video yang telah dinaikkan ke akun-akun di media sosial. Kegundahan tersebut membuat si netizen mudah tersinggung. Ini, pada gilirannya, melatarbelakangi meletupnya tingkah laku impulsif. Termasuk yang mewujud dalam bentuk tulisan-tulisan agresif yang dimuntahkan ke dalam media sosial.

Diperburuk pula oleh dua kemungkinan. Pertama, nothing to lose attitude. Dilisankan, “Aku tidak peduli, karena besok aku bukan first lady lagi.“ Bisa pula, kedua, everything to lose attitude, alias kecemasan tersembunyi bahwa segala status selaku bagian dari orang nomor satu akan lenyap. Persis indikasi postpower syndrome.

Lalu, ketika gejala-gejala SMAD atau SMSD sang first lady muncul berulang di media sosial hingga dinilai publik telah mencapai level di luar kepatutan, apa yang perlu nyonya presiden mafhumi guna mengatasi `masalahnya' tersebut? Pertama, media sosial senyatanya merupakan dunia dua arah. Muskil untuk berharap bahwa kedua arah itu akan selalu paralel. Bisa saja menyilang atau lainnya. Karena sulit terprediksi, dan tidak mungkin memaksa netizen lain untuk merespons seperti yang diharapkan, maka pengendalian lebih mungkin dilakukan terhadap diri sendiri. Yaitu, khususnya, pengendalian terhadap kemungkinan munculnya stres akibat keterlibatan dalam percakapan di media sosial.

Kedua, walau mata dibuat sepet dan kejengkelan sulit dibikin mampat, ada formula bahwa cara paling jitu untuk menanggapi posting (baik substansi maupun sentimen) negatif di media sosial ialah dengan tidak menanggapinya.

Begitu reaksi negatif semisal umpatan yang keluar, itu akan dikunyah sebagai santapan empuk oleh pihak lawan dengan memanfaatkan fitur share, comment, retwitt, dan lainnya. Kembali, ketika yang mengumpat adalah seorang first lady, umpatan itu akan menghantam dirinya dengan magnitude jauh lebih hebat.

Ketiga, ini aji pamungkas bagi nyonya presiden yang telanjur mengalami SMAD atau SMSD, yaitu setop berselancar di dunia maya.

Allahu a'lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar