Membangun
Industri Nasional
Davy Hendri ; Dosen IAIN Imam Bonjol, Padang;
Mahasiswa Program Doktoral pada
Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
22 Januari 2014
ANJLOKNYA
neraca perdagangan Indonesia merupakan masalah serius. Gara-gara terlena
terus mengandalkan ekspor produk primer, neraca perdagangan Indonesia defisit
sejak 2012 begitu harga komoditas anjlok dipukul krisis ekonomi global. Hal
ini ditengarai lewat tekanan defisit transaksi berjalan di Indonesia yang
lebih bersifat struktural.
Booming ekspor komoditas
menyebabkan pemerintah lalai meningkatkan kapasitas industri dalam negeri
untuk menghasilkan bahan baku.
Dari catatan data investasi asing
yang masuk, sebagian besar menerjuni industri manufaktur barang akhir yang
produknya dipasarkan di dalam negeri, sementara bahan bakunya didatangkan
dari luar negeri karena manufakturnya tidak dibangun di sini.
Strategi industrialisasi
Fakta ini menegaskan bahwa daya
saing ekonomi dan pertumbuhan terletak pada pelaksanaan industrialisasi yang
kuat, dari hulu hingga hilir.
Persaingan bangsa ke depan akan
ditentukan keunggulan industri manufaktur berteknologi tinggi, hingga produk
menembus pasar ekspor.
Oleh karena itu, program industrialisasi
yang tepat harus menjadi agenda utama. Apalagi, sumbangan sektor industri
terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional kian turun (ancaman
de-industrialisasi).
Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun
2008 tentang kebijakan industri nasional pada dasarnya berfokus pada
pertumbuhan kluster industri prioritas yang analisis daya saing internasional
serta pertimbangan besarnya potensi (lokal) Indonesia.
Konsep ini mengintroduksi strategi
pengembangan jaringan (networking)
industri dengan bertumpu pada keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai (value chain) dari industri, termasuk
kegiatan dari industri pendukung (supporting
industries), industri terkait (related
industries), industri penyedia infrastruktur, dan industri jasa penunjang
lainnya.
Sebuah strategi komprehensif yang
mempertimbangkan berbagai prasyarat utama menuju keberhasilan
industrialisasi.
Agaknya, strategi hanya indah di
atas kertas. Konsistensi dan implementasi jauh panggang dari api.
Misalnya, seharusnya saat ini
Indonesia sudah menjadi eksportir utama produk cokelat olahan (bukan biji
cokelat) dan turunannya, sebagai industri unggulan dalam kluster industri
makanan dan minuman.
Kenyataannya, bubuk cokelat (cocoa powder) berkualitas sebagai
prasyarat keterjaminan rantai pasok (supply
chain) produk cokelat dan turunannya yang berorientasi ekspor tadi tidak
kunjung tersedia.
Meskipun tanaman cokelat
berlimpah, Indonesia ”lebih memilih” menjadi eksportir biji cokelat (cacao bean) ketiga terbesar di dunia.
Kemampuan petani lokal untuk menyediakan
biji kakao terfermentasi dengan kualitas baik yang nilai mentahnya dalam
sebatang cokelat cuma sekitar 18 sen dollar AS dan riset serius dalam
pengolahan biji cokelat sampai produk akhir berupa cokelat batangan seharga
70 sen dollar AS (Dayo Mejabi, 2012) masihmissing link sampai saat ini.
Pelajaran dari China
China dikenal ketat dalam
penerapan konsep kandungan lokal untuk membangun industrinya (local contentism). Bagi China,
kandungan lokal bukan hanya sekadar stempel tingkat komponen dalam negeri
(TKDN) versi Indonesia seperti dalam kasus cokelat.
China telah mengembangkan peta
pembangunan kandungan lokal sejak 1990-an terutama dengan bertumpu kepada
pengembangan kemampuan lokal sebagai faktor penting.
China amat menyadari pertumbuhan
industri merupakan hasil keterkaitan antara tuntutan kebutuhan didirikannya (demand) dan kemampuan memenuhi suatu
industri (supply).
Kemampuan lokal seperti
pendidikan, keterampilan dan pengembangan keahlian, transfer teknologi
dan know-how, serta penelitian aktif merupakan portofolio
pengembangan sektor manufaktur dan jasa dari perusahaan lokal.
Begitu pentingnya hal ini bagi
China sehingga adagium yang dibangun adalah technology for market dan short-term sales for long-term competition.
Intinya, China membukakan pintu
pasar domestiknya selebar-lebarnya bagi perusahaan MNC dari mana pun asal mau
membagi ilmu dan teknologinya kepada buruh dan perusahaan lokal China.
Sampai hari ini, banyak perusahaan
MNC telah bersedia untuk transfer teknologi di China. Mulai dari Motorola Incorporated yang menanam
lebih dari 300 juta dollar AS ke 19 pusat penelitian teknologi di China.
Microsoft
Corporation
memiliki pusat riset di Beijing dengan mempekerjakan lebih dari 200 peneliti.
Siemens AG juga menghabiskan lebih dari 200 juta dollar AS sejak tahun 1998
bekerja sama dengan lembaga akademis China untuk mengembangkan teknologi
ponsel untuk pasar China (Kranhold,
2004).
Strategi kandungan lokal ”abu-abu”
ini menghindarkan China, yang baru bergabung sebagai anggota World Trade Organization (WTO) ke-143
pada tahun 2001, dari tudingan pelanggaran beberapa pasal di dalam General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT).
Seperti pasal mengenai perjanjian
tentang Subsidies and Countervailing
Measures (SCM), Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) dan Trade-Related Investment Measures (TRIMs).
China tentu bukanlah satu-satunya
negara berkembang yang mendorong transfer teknologi asing. Namun, ukuran
pasar yang luar biasa menjadikan perusahaan MNC ”takluk di bawah kaki” China.
Taktik cerdik dan
penggunaan senjata pamungkas yang sebagian besar negara lain tidak
memilikinya, menjadikan China pemenang perang dagang dengan beberapa negara
kompetitor dan WTO pada hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar