Masa
Depan Mesir Pascareferendum
Mohamad Guntur Romli ; Pengamat Politik
Timur Tengah
|
KOMPAS,
23 Januari 2014
RAKYAT
Mesir baru selesai memberikan pilihan atas konstitusi baru yang diajukan
dalam referendum, 14-15 Januari lalu.
Menurut KPU Mesir
melalui website resmi (www.elections.eg), sebanyak 98,1
persen rakyat Mesir memilih muwafiq (setuju), sedangkan sisanya
menolak. Partisipasi pemilih hanya 38,6 persen atau 20 juta lebih yang
memberikan suaranya dari 53 juta pemilih yang terdaftar (18/1).
Pertanyaan yang penting diajukan:
apakah referendum ini merupakan arus balik dari proses demokratisasi di Mesir
yang sem- pat diintervensi militer Mesir atau hanya arus pendorong bagi suksesnya
calon pemimpin militer yang disebut-sebut berpotensi diktator seperti
Jenderal Abdel Fattah Sisi yang menggulingkan Presiden Muhammad Mursi pada
Juli 2013?
Untuk waktu yang pendek, hasil
referendum ini tidak mengubah kondisi psiko-politik Mesir yang tetap dalam
pusaran ”harap dan cemas”. Meski ada harapan referendum ini bisa menghentikan
konflik berdarah dan korban jiwa yang terus berjatuhan, kecemasan tetap saja
menghantui karena partisipasi pemilih yang rendah tak akan menjanjikan banyak
pada legitimasi dan stabilitas pemerintahan.
Namun, rendahnya partisipasi
rakyat Mesir dalam referendum konstitusi bukan hanya pada tahun ini saja.
Apalagi referendum ini tengah diboikot kubu oposisi: kelompok Ikhwanul
Muslimin (IM) dan pendukung Muhammad Mursi, presiden yang dimakzulkan.
Jika kita membandingkan hasil
Referendum 2014 dengan Referendum Konstitusi 2012 yang digelar pada era
Mursi, hasilnya lebih dua kali lipat. Dalam referendum kala itu,
partisipasi pemilih hanya 32 persen atau hanya 17 juta rakyat Mesir yang
memilih dari 52 juta orang yang punya hak suara. Hasilnya: 10 juta (63
persen) mendukung, 6 juta lebih (36 persen) menolak. Adapun pada
Referendum 2014 hampir 20 juta orang rakyat Mesir setuju.
Rendahnya partisipasi pada
Referendum 2012 dan kecilnya jumlah pendukung Presiden Mursi, yang berarti
hanya 10 juta (20 persen) dari 52 juta rakyat Mesir yang punya hak suara,
membuat kepemimpinan Mursi pada posisi titik nadir. Akhirnya ia dan
kelompoknya, IM, terpental dari kursi kekuasaan.
Kita bisa membandingkan hasil
Referendum 2014 dengan Referendum 2011, saat itu rakyat Mesir masih bersatu
dan mengalami euforia dengan tumbangnya rezim Mubarak. Partisipasi rakyat
Mesir hanya 41,9 persen. Geliat partisipasi rakyat Mesir baru terlihat pada
pemilu legislatif (54 persen) dan pemilihan presiden (51,8 persen).
Bagi kubu pendukung penggulingan
Mursi yang kini memilih ”setuju” untuk konstitusi baru, hasil referendum ini
dimaknai sebagai pencerabutan legitimasi pemerintahan Mursi dan kelompok IM.
Menurut Nadir Bakar, juru bicara Partai an-Nur yang salafi dan oportunis,
hasil referendum ini menunjukkan kekalahan politik kelompok IM dan ia pun
meminta agar mereka melakukan introspeksi dan koreksi (al-Ahram, 18/1).
Alaa Aswany, seorang novelis dan
aktivis yang paling vokal, mengkritik pemerintahan Mursi dalam sebuah
kolomnya di almasryalyoum.com (13/1). Ia
menyatakan bahwa pilihan ”setuju”
pada Referendum 2014 tidak hanya setuju pada Konstitusi baru, tetapi juga
dukungan pada penggulingan Mursi yang hakikatnya berasal dari gerakan rakyat
Mesir dan bukan kudeta militer.
Mencemaskan
Namun, kondisi ini sekaligus
mencemaskan. Dengan popularitas Jenderal Abdel Fattah Sisi, Menteri
Pertahanan, Panglima Angkatan Bersenjata Mesir, dan Wakil Perdana Menteri
yang semakin moncer, tidakkah ini tanda munculnya pemimpin militer
yang diktator seperti presiden-presiden Mesir sebelumnya?
Inilah tantangan ke depan bagi
kelompok prodemokrasi di Mesir untuk terus mengawal revolusi Mesir agar tidak
terjatuh kembali pada kepemimpinan diktator, baik atas nama agama—dengan
tergulingnya Mursi dan IM—maupun dalam bentuk militerisme.
Bagi Alaa Aswany, tidak ada
pilihan bagi Jenderal Sisi jika hendak maju sebagai presiden: harus
mengundurkan diri dari militer. Ia juga harus mengikuti prosedur pemilihan:
menyatakan mencalonkan, menyiapkan program, menawarkan kepada rakyat, dan
bersedia menjadi pelayan rakyat. Sisi tidak bisa bersikap munafik seperti
Mubarak dulu, pura-pura tidak bersedia mencalonkan sebagai presiden setelah
masa baktinya purna dengan membangun kerumunan dukungan massa dengan cap
darah (yang kemudian terbongkar darah itu dari ayam, bukan jempol manusia).
Konstitusi Mesir yang baru pun
memberikan jaminan tidak akan muncul diktator baru. Selain masa jabatan
presiden dibatasi hanya dua periode, kewenangannya tidak sebesar seperti era
Mursi sebelumnya. Presiden tidak memiliki kewenangan membubarkan parlemen
atau memutuskan sebuah referendum kecuali atas persetujuan parlemen.
Sebaliknya parlemen bisa
mengajukan mosi tidak percaya kepada presiden dan menuntut pemilihan dini.
Aturan ini tidak ada dalam Konstitusi 2012. Melalui konstitusi baru,
sistem pemerintahan Mesir menjadi semipresidensial. Presiden pun berbagi
kekuasaan tidak hanya dengan lembaga legislatif dan yudikatif, tetapi juga dengan
perdana menteri.
Pengalaman rakyat Mesir yang
berkali-kali dipimpin diktator tampaknya menjerikan mereka dengan menyusun
sebuah konstitusi yang tidak memberikan kesewenangan yang absolut kepada
penguasa.
Dengan kondisi psiko-politik Mesir
yang masih rawan dan konstitusi baru yang tidak memberi kekuasaan mutlak pada
presiden serta gelombang protes rakyat Mesir yang mudah pasang, Jenderal Sisi
atau siapa pun yang akan mencalonkan diri sebagai presiden Mesir nanti akan
menemui jalan buntu jika ingin menjadi seorang diktator. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar