Ketika
Hukum Menjadi Tawanan Politik
Sudjito ; Guru
Besar Ilmu Hukum, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 03 Januari 2014
Mencermati
dengan seksama proses-proses hukum yang terjadi sepanjang 2013, memunculkan
pertanyaan mendasar, kapankah hukum di negeri ini dapat keluar dari tawanan
politik? Secara sistemik, utuh dan menyeluruh, hukum sebagai tatanan (order)
mencakup transcendental order, social order dan political order (Rahardjo,
2000).
Akan tetapi pada tataran praksis, kehadiran political order terasa sangat dominan, bahkan mampu menggeser dan menggusur dua tatanan yang lain. Akibatnya, hukum hanya ada atau menjadi tiada ketika sengaja diadakan atau ditiadakan oleh politisipolitisi melalui kekuatan politiknya yang terhimpun di dalam partaipartai politik dan tersalurkan melalui fraksifraksi di lembaga legislatif. Sudah tentu, segalanya dilatarbelakangi kepentingan tertentu, utamanya agar kekuasaannya lebih besar dan dapat bertahan selama mungkin. Apabila kita berani melihat secara jujur realitas hukum tersebut, maka nalar sehat semestinya membawa kita pada sikap untuk tidak menerima hukum sebagai sesuatu yang mutlak, absolut, otonom, dan tanpa cacat. Justru kita wajib bersikap kritis terhadap hukum, boleh mengubah konstruksi, membuat konstruksi baru, mendekonstruksi bahkan sampai mematahkannya (rule breaking) bila hukum tersebut menjauhkan kita dari cita-cita bernegara. Dalam pengamatan saya, hukum sebagai political order dari waktu ke waktu semakin sarat dengan nilai-nilai imperialisme finanz capital. Apa itu? Menyitir pidato Bung Karno pada kursus pendahuluan tentang Pancasila 26 Mei 1958, apa yang disebut imperialism finanz kapital adalah imperialisme penanaman uang. Para politisi menjadikan rakyat dan wilayah negara kita yang gemah ripah loh jinawi, sebagai objek yang terus-menerus diperas, dieksploitasi, dikuras habis-habisan untuk memantapkan kapitalismenya masing-masing. Rakyat diperas dengan berbagai kewajiban membayar pajak atau retribusi, dengan alasan untuk peningkatan anggaran agar pelayanan publik dapat terus ditingkatkan. Nyatanya, omong kosong. Besaran dan macam pajak terus bertambah, tetapi pelayanan publik jauh dari memuaskan. Sumber daya alam dikuras habis, bahkan “digadaikan” kepada cukong (calon investor) untuk biaya pemilihan kepala daerah (pilkada). Akibatnya, rakyat sangat sulit mendapatkan jatah tanah garapan, lahan pertambangan, ataupun areal penangkapan ikan yang subur dan aman. Apakah uang yang diperoleh para politisi secara legal melalui politisasi hukum dan secara ilegal melalui korupsi itu disimpan, dicelengi, dan dikembangkan sebagai usaha produktif demi bangsanya? Tidak. Uang-uang “panas” itu sebagian disimpan di luar negeri, dan sebagian lainnya diatasnamakan saudaranya, istri-istrinya, dan sopirnya. Ada pula yang mencoba ditanamkan dalam berbagai obyek usaha, seperti perkebunan kelapa sawit, hotel, industri. Jadi, rakyat dijadikan sebagai buruh sekaligus konsumennya, dan wilayah negara digunakan untuk pasar bagi produk-produk pabriknya. Agar imperialisme finanz kapital dapat terus berjalan dengan aman, disediakanlah berbagai perangkat pengamannya. Di sinilah, hukum sebagai political order itu dibuat sedemikian rupa agar isinya berpihak kepada politisi dan investor, sekaligus memudahkan bagi kelangsungan usaha-usahanya. Pada tataran ini, menjadi sangat pas ketika dikatakan hukum adalah produk politik dan kadar kualitasnya ditentukan atas dasar transaksi, wani piro, atau mau membayar berapa untuk sebuah pasal yang diinginkan. Kita dapat cermati sedemikian banyak peraturan perundang-undangan yang memberi kemudahan kepada investor sebagai sahabat politisi untuk mendapatkan tanah dari rakyat, dengan dalih demi pembangunan infrastruktur. Agar ganti kerugian dapat ditekan serendah mungkin, lembaga pertanahan diberi kewenangan menentukan siapa juru penilainya. Bila harga ganti kerugian tidak dicapai kata sepakat, hal demikian tidak menghalangi bagi investor untuk segera memulai kegiatannya, sementara bagi pemilik tanahnya dipaksa mengambil ganti kerugian di pengadilan. Laba perusahaan yang tinggi, senantiasa diincar, sehingga tidak sedikit badan usaha milik Negara terpaksa menjadi “sapi perahan” politisi. Salah satu watak bengis dari imperialisme finanz kapitaladalah senantiasa mempertahankan keberadaan rakyat dalam keadaan miskin, tetapi tidak boleh sampai mati. Dalam watak demikian, ketika politisi masuk ke wilayah perburuhan maka dapat dipastikan akan ikut menekan agar upah buruh rendah. Buruh dijadikan minimum lijdster. Segalanya— baik makan, minum, pakaian, perumahan— selalu dalam batas minimum. Bahkan, diupayakan jangan sampai terpikirkan oleh buruh bahwa kelak mereka bisa berubah menjadi majikan. Sekali buruh ya tetap buruh. Realitas inilah yang dulu disebut sebagai bangsa bermental jongos. Perubahan pemerintahan melalui pemilihan umum 2014, saya prediksi tidak akan mampu mengubah dominasi politik atas hukum, dan oleh karenanya imperialisme finanz kapital masih akan berkelanjutan. Akankah rakyat dan siapa pun yang peduli pada rakyat pasrah terhadap keadaan? Tidak boleh demikian. Bung Karno, memberi wejangan, bahwa gerakan melawan imperialisme finanz kapital adalah gerakan dari segala golongan yang kecil. Golongan kecil itu terdiri dari rakyat jelata, buruh, tani, nelayan, pedagang, tukang becak, tukang batu, dan sejenisnya. Mereka memiliki kekuatan. Para aktivis dan pejuang sejati mesti aktif menghimpun kekuatan mereka, sehingga kita berada dalam satu hikmat persatuan. Atas dasar persatuan Indonesia dan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kita perangi imperialisme finanz kapital di negeri ini. Saya yakin, di lembaga-lembaga negara, lembaga-lembaga adat, dan lembaga agama masih cukup banyak pejuang sejati berwatak Pancasila. Semoga mereka segera bangkit dan mampu memotivasi rakyat jelata untuk mengatasi keterpurukan negara hukum ini. Wallahu’alam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar